Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i
"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil memandang Alfian yang masih memandang cermin.Alfian menoleh, "Tanya?" Pemuda itu duduk di tepi ranjang menatap wajah Jihan yang tampak serius, "Tanya apa?""Safitri belum menikah 'kan?" "Belum.""Dia belum menikah tapi kenapa dia sudah ha—""Kamu tahu Safitri hamil? Dari siapa?" Potong Alfian dengan mata membelalak.Jihan menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pertanyaan yang selama ini dia pendam kini sudah keluar dari mulutnya. Wanita itu terus saja di hantui rasa takut akan suami pura-pura nya lah lelaki jalang itu.Rasa panas dingin di rasakan olehnya ketika menunggu jawaban dari Alfian, perlahan matanya memandang Alfian yang kini masih duduk di depannya."Aku, aku enggak sengaja buka chat kamu kemarin. Kepo aja nomor kakek dan nenek," jawab Jihan beralasan."Jadi kamu buka aplikasi hijau milikku? Bukannya penyimpanan nomor itu di kontak telepon?" Tanya Alfian kesal.Alfian beranjak dari duduknya, pemuda it
"Ih, ngaco kamu," ucap Jihan dengan bibir manyun.Gelak tawa Alfian menggelegar, tak pernah di bayangkan pemuda itu bisa berkenalan dengan wanita secantik dan sebaik Jihan. Sungguh beruntung hidupnya setelah bertemu Jihan, kini dia tidak lagi pusing memikirkan keperluan nenek dan kakeknya yang ada di kampung karena semua fasilitas dan kebutuhan sudah di penuhi oleh Jihan, bahkan setiap bulannya Jihan mampu mengirimkan uang yang lebih dari yang sebelumnya di kirimkan oleh Alfian untuk nenek dan kakeknya..."Sayang, nanti kalau kamu sudah pulang, telpon aku, ya. Jangan naik angkot," ujar Alfian sambil mengunyah."Memangnya kamu mau pulang jam berapa?" Tanya Jihan sambil memandang suaminya yang ada di samping."Ya, seperti biasanya," jawab Alfian sambil menelan makanan yang baru di kunyah.Sarapan pagi ini tampak ada yang kurang, di mana kursi milik Sandra masih kosong. Sedari tadi Jihan sesekali memandang ke arah kamar sang mama namun kamar itu masih tetap tenang dengan posisi tertutu
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
“Tuhaaaaaan ... Tolong keluarkan aku dari masalah ini! Tolong keluarkan aku dari jeratan mereka semuaaa ...” Teriak Jihan ketika berada di atas motor.Hujan mulai turun, namun, Jihan tetap mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Tak di hiraukan orang-orang yang mulai menepi menghindar dari guyuran hujan, dia tetap menarik gas motor.Guyuran hujan di kota Bogor mulai deras, Jihan tidak lagi bisa melihat dengan jelas jalan yang dia tempuh, entah seberapa jauh dan entah di mana sekarang berada pun tak tahu. Hanya saja dia mengikuti jalan yang ada di depan matanya.“Tuhaaaann, tolong akuuuu,” teriaknya lagi dengan kepala mendongak ke atas dan mata yang terpejam.Duuuaaarrrr!!! Tabrakan pun terjadi. Sebuah mobil Alphard berwarna hitam yang menabrak tak peduli dengan keadaannya. Sisi mobil berada tepat di samping tubuh Jihan, namun perlahan pergi begitu saja.Di keheningan malam hanya terdengar suara derasnya hujan, Jihan tergeletak di tepi jalan tanpa ada satu orang pun yang lewat d
“Tenang, aku enggak akan berbuat jahat. Hanya saja aku ingin Hanum tahu kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.”Motor Alfian melaju kencang, jalanan masih terlihat basah setelah beberapa jam yang lalu di guyur hujan. Tanpa segan Jihan memeluk Alfian dari belakang seolah mereka adalah sepasang kekasih.Setelah menempuh perjalanan selama enam jam, Alfian menepikan motornya di warung makan yang ada di tepi jalan. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi namun sudah terlihat beberapa penjual makanan berjejer di sana.“Al, masih jauh?” Tanya Jihan sambil mengucek mata.“Enggak. Sebentar lagi kok, sini duduk,” ujarnya sambil menepuk bangku yang ada di sampingnya.Jihan duduk di samping Alfian dengan bermalas-malasan karena menahan kantuk. Kepalanya di letakkan di atas meja dengan beralaskan lengannya.Sesekali mata Jihan mengatup, tak pernah dia bayangkan akan selelah ini jika bepergian jauh dengan mengendarai sepeda motor.“Ji, di makan dulu itu nasinya, ini enak loh,” ujar Alfian dengan mata s
"Bojone deweke lah, masa bojone uwong." Tiba-tiba panggilan berakhir ...Wanita tua berambut putih yang di sanggul itu memandang Jihan dengan penuh kasih sayang sambil tersenyum."Cucuku ki elek kok yo ulih bojo ayu tenan," ucapnya sambil berdiri dan melangkah menghampiri Jihan yang sedari tadi masih tetap berdiri. "Sini duduk, namanya siapa?" Sapa sang nenek."Jihanna, Nek, panggil saja Jihan," ujarnya."Jihan, ayu temen to cah cah," puji sang nenek sambil memperhatikan wajah Jihan yang berbentuk oval. Jihan yang tak tahu artinya hanya bisa meringis bingung serta penasaran dengan arti yang baru saja di ucapkan sang nenek.Seketika Alfian terdiam ketika mengingat hari ini adalah hari pernikahan sang kekasih, denyutan dalam dada terasa sangat dan amat perih untuknya.Bibir Jihan yang tadinya merekah lebar seketika mengerut melihat ekspresi wajah Alfian yang murung, wanita itu mengira bahwa ucapan sang nenek tidaklah baik untuknya."Assalamualaikum," ucap salam dari sang kakek."Waalaik