Share

BAB 02

“Ambil yang banyak airnya! Buat mandi juga!” pinta Ibu lagi. Azlan hanya mengembuskan napas menerima perintahnya, mau tidak mau Azlan harus melakukan apa yang diperintahkan Ibu mertuanya.

“Iya Bu!” balas Azlan sambil berjalan ke arah sumur.

“Kamu jadi ‘kan nyari pekerjaan hari ini?!” tanya Ibu sarkas.

“Iya Bu, jadi, nanti setelah sarapan aku langsung pergi nyari kerja.”

“Kerja dulu ngasilin uang baru makan! Ngasih uang nggak malah enak-enakan makan! Yang ada makanan di rumah ini habis karena nampung pengangguran seperti kamu!"

“Apaan sih Bu ngomongnya! Perhitungan banget sama anaknya sendiri,” bela Nauma.

“Anak?! Siapa?! Dia?! Nggak sudi Ibu menganggap dia anak, pokoknya Ibu nggak mau tahu, tidak ada uang tidak ada makanan untuk kamu!”

“Ini uangnya, aku yang ngasih ke Ibu, ini juga uang Akang kok,” ucap Nauma memberikan uang yang dia punya.

“Ini uang kamu bukan uang dia, kalau sudah diberikan ke kamu, itu tandanya ini uang kamu, Ibu maunya uang dari hasil kerjanya!”

“Sama saja Bu, kasian kalau suamiku tidak makan, gimana mau nyari kerja kalau tenaganya saja Ibu kuras seperti ini? Dia juga butuh energi Bu.”

“Sudah Neng biar saja, nanti aku cari kerjaan di luar, yang penting kamu bisa makan, aku sudah kenyang kok,” timpal Azlan.

“Akang kenyang makan apa? Dari bangun tidur tadi Akang belum makan.”

“Makan hati! Neng,” balas Azlan sambil melirik Ibu.

“Anak nggak punya sopan santun kamu ya! Ngapain kamu ngelirik saya?!” tanya Ibu sambil melotot.

“Nggakpapa, Ibu cantik, makanya aku pandangi,” balasnya, ‘Lebih cantik kalau diem, nggak banyak omong,” batin Azlan.

Setelah menerima pujian palsu dari Azlan, Ibu langsung masuk ke dapur dengan menghentakkan kakinya. Mulut pedasnya pun tidak henti-hentinya memaki. Azlan hanya tersenyum saja, Azlan tidak mau Nauma merasa sedih, dia sadar diri kalau dirinya hanya menumpang di rumah ini.

“Mau Neng bantu Kang?” tanya Nauma.

Azlan tertawa, “Tidak usah Neng, kamu senyum saja sudah membuat Akang semangat lagi."

“Ya ampun kalian ini! Bukannya mengisi air malah mesra-mesraan! Masih pagi sudah tebar pesona saja, kapan airnya penuh Lan?! Nih! Yang ini juga di isi, jangan gangguin Nauma terus!” bentak Ibu. Dia juga memberikan ember dengan cara dilempar.

“Ini nggak salah Bu? Banyak banget yang mau di isi.”

Azlan terkejut dengan Ibu yang memberikan begitu banyak ember untuk diisi. ‘Pantas saja Bapaknya Nauma memiliki tangan yang super kekar, teryata ini rahasianya,’ batin Azlan.

“Nggak! Nggak ada yang salah! Biasanyanya juga Nauma yang nimba kalau Bapak sakit, kenapa?! Kamu nggak bisa?!” tanya Ibu meremehkan.

“Lemah banget jadi cowok,suami aku aja bisa ngisi bepuluh-puluh ember, susah sih ya kalau sudah nyaman jadi pengangguran,” sindir tetangga sebelah sambil menjemur pakaiannya.

“Denger tuh! Ibu malu punya menantu kayak kamu! Bisa nggak ngisi ini semua?! Kalau nggak bisa jadi bencong aja sana!”

“Bisa Bu, segini doang mah kecil,” balas Azlan sambil menjentikkan kedua jari.

“Kecil ya? Yasudah, kamu tunggu di sini dulu.” Ibu pergi dari hadapan mereka, lalu dia masuk ke dapur lagi.

Tidak berselang lama, Ibu Nauma datang dengan banyak ember yang ditumpuk, dia meletakkan ember-ember itu di hadapan Azlan.

“Ini diisi juga!! Harus sampai penuh!!” timpal Ibu dengan memberikan delapan belas ember besar.

Azlan semakin terkejut dengan pemandangaan yang ada di hadapannya. Ember-ember ini kalau dihitung ada banyak sekali, sekitar tiga puluh ember. Azlan merasa tidak yakin bisa mengisinya atau tidak.

“I-iya Bu,” balas Azlan sambil menelan ludah.

“Bagus! Yasudah isi semua sampai penuh, kalau sudah penuh kamu pindahkan semuanya ke dalam,” ucap Ibu sambil menutup kepala Azlan dengan ember.

Azlan menimba air dengan keringat yang terus saja bercucuran, telapak tangannya sudah perih, bahkan berubah menjadi kemerahan. Sudah dua belas ember dipenuhi dengan air dan Azlan memilih untuk mengistirahatkan tubuhku dahulu.

Azlan melanjutkan menimba air dan mengisi ember-ember yang masih kosong. Setelah semua ember terisi penuh, Azlan memindahkan semua ember ke dalam dapur, seperti yang diperintahkan oleh Ibu mertuanya.

“Azlan!! Apa yang kau lakukan?!” bentak Ibu saat melihat lantai yang basah karena tumpahan air.

“Maaf Bu, aku tidak sengaja,” balasnya cuek.

“Bisa-bisanya Nauma menikahi kamu yang tidak becus bekerja ini?! Bisa-bisa anak saya sengsara jika hidup bersama kamu!”

Wajar kalau air ini tumpah, Azlan sudah sangat lelah mengangkat banyak ember yang berisi air. Langkah kakinya tidak seimbang, sehingga air yang ada di dalam ember keluar, dan membasahi lantai. Tubuhnya juga sudah bergetar karena belum sarapan.

“Akang sudah selesai?” tanya Nauma sambil berjalan ke arahnya.

“Hati-hati Neng! Lantainya licin!” Azlan berlalari ke arah Nauma karena Azlan takut Nauma terpeleset.

Brukk, Degh! ‘mampus gue.’ Batin Azlan.

“Akang!... Akang ngapain?” teriak Nauma.

“Azlan” bentak pria yang ada di ambang pintu.

Pria paruh baya yang tadi membeentak langsung berjalan mengahampiri Azlan sambil memainkan kumisnya. Azlan terjatuh dan menimpah tubuh Ibu, ditambah lagi Azlan tidak sengaja mencium pipi Ibu mertuanya.

“Apa yang kalian lakukan, hah?!” tanya Bapak sambil melinting kumisnya.

Sontak Azlan langsung berdiri, Nauma hanya terdiam melihat Azlan yang sedang ketakutan. Azlan takut Bapak berpikir buruk dengan apa yang dilihatnya barusan.

“A-anu Pak, tadi aku nggak sengaja terpeleset, aku juga nggak sengaja menimpah Ibu,” balasnya.

“Ibu juga ngapain?! Enak ya di timpah Azlan?! Apa Bapak sudah tidak menarik lagi?!”

Azlan terpana mendengar ucapan Bapak. Azlan yakin sekali pasti akan ada perdebatan yang sangat menarik. Tangannya langsung ditarik oleh Nauma, dan dia membisikkan sesuatu.

“Bapak itu cemburuan Kang, aku takut kalau Bapak marah sama Akang,” bisik Nauma dengan nada cemasnya.

“Jangan mulai deh Pak! Ibu juga tidak tahu kalau mau ditimpah gitu! Salahin saja mantu kamu yang sembrono itu!” Ucap Ibu menyalahkan Azlan.

“Tapi kenapa kamu tidak langsung mendorong Azlan? Kamu senang ya ditimpah gitu?!”

“Ya ampun Pak! Kumis aja dipanjangin, tapi otaknya gak dipelihara, mana mungkin Ibu senang, sudah! Sudah! Jangan dibahas lagi.”

“Bapak ‘kan jadi mikir macem-macem Bu lihat Ibu kayak gitu, nanti tau-tau Ibu suka lagi sama Azlan, seperti yang di berita-berita itu, Ibu mertua main serong dengan menantunya.”

“Kenapa Bapak jadi korban berita sih? Bapak nggak percaya sama Ibu?! Gara-gara kamu nih saya jadi bertengkar dengan suami saya!!” ucap Ibu sambil menunjuk Azlan.

“B-bapak percaya Bu, maafkan Bapak ya sudah menuduh Ibu macam-macam,” balas Bapak sambil memeluk Ibu.

“Yah… segitu doang, kirain mah bakalan seru,” celetuk Azlan.

“Ngomong apa kamu, hah?! Kamu senang lihat kami bertengkar seperti ini?!” tanya Bapak sambil berkacak pinggang,

‘Mampus dah gue, nih mulut ngapa nggak bisa ngerem sih? Bapak jadi ngereog ‘kan,' batinnya, Azlan langsung berdiri dengan gugup lalu membalas pertanyaan Bapak.

“Nggak kok Pak, aku sukanya Ibu sama Bapak baikan, apalagi kalau lihat Ibu sama Bapak pelukan seperti tadi, aku senang melihatnya, seperti Teletubis yang di TV itu Pak, hehehe.”

“Loh, kok kamu malah ngeledek Bapak dan Ibu? Pakai ngatain mirip Teletubis lagi, sini kamu!”

“Ampun Pak ampun, aku hanya bercanda saja Pak.” Bapak mencapit kepala Azlan dengan ketiaknya.

Azlan langsung menahan napas. Ketiak Bapak bau sekali bahkan lengket dengan keringat, Azlan sampai mau muntah mencium bau ketiaknya. Sedangkan Nauma, dia berusaha melepaskan suaminya dari capitan Bapak.

“Lepasin Kang Azlan Pak, dia ‘kan Cuma bercanda saja, baper banget sih!” bela Nauma. Nauma juga membantu dengan menarik tubuh Azlan agar terlepas dari capitan Bapak.

“Nyesel Bapak menikahkan kalian seperti ini! Banyak tetangga yang mencemooh Bapak, nikah modal Tampang saja betingkah!!” ucap Bapak setelah melepaskan capitannya.

“Neng, mual banget Neng,” ucap Azlan sambil menahan rasa mual. Azlan langsung lari ke kamar mandi dan memuntahkan semua muntahan yang sedari tadi di tahan, Azlan tidak tahan sekali dengan aroma tubuh Bapak.

Setelah Azlan selesai mengeluarkan semua muntahan yang ada di perutnya, Azlan keluar dengan kondisi yang sangat lemah . Pagi ini belum ada sedikitpun makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Azlan melihat Nauma sedang menyediakan sarapan di atas meja dan itu membuatnya merasa sangat lapar.

“Waah… Makanan ini sepertinya enak sekali, aku jadi tidak sabar untuk menyantapnya,” ucapnya sambil menggosok-gososkan tangan. Cacing di dalam perut sudah protes dan sudah tidak sabar untuk melahap makanan yang ada di atas meja.

“Sini Kang makan dulu,” ajak Nauma.

“Enak saja makan! Sudah Ibu bilang tidak ada makanan untuknya, sekarang kamu ke pasar belikan belanjaan Ibu.”

“Tapi Bu, Akang Azlan belum makan sama sekali, Ibu ini sudah seperti tidak punya hati saja,” protes Nauma.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kalila Firman
di satu sisi, wajar ibunya marah. namanya nikah setidaknya Azlan harus punya kerjaan, dong! tapi di sisi lain kebangetan juga ini si ibuk. kalau emang gak suka, kenapa gak direstui aja dari awal, ibuuuk? Malah gak dibolehin makan.🥲
goodnovel comment avatar
Ahda Faizan
kasina amat sih nggak boleh makan 🥲
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status