"Maaf Nyonya. Semua biaya atas nama Axcel sudah dilunasi," ucap petugas administrasi saat Nauma ingin membayar tagihan rumah sakit."Siapa yang telah membayarnya?" tanya Nauma penasaran."Pria yang mendonorkan mata untuk anak anda."Nauma terkejut dengan apa yang ia dengar. Azlan menjalankan peran sebagai Orangtua yang sesungguhnya dengan menjaga Axcel tanpa sepengetahuannya. Bahkan biaya operasi yang terbilang mahal pun Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, terima kasih."Nauma pergi dengan tatapan kosong, ia masih memikirkan Azlan di hatinya. Nauma pun merogoh tas kecil yang ia bawa dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor Azlan hendak menelpon dan mengucapkan rasa terima kasihnya."Kenapa nomornya tidak aktif?" gumam Nauma.Nauma kembali menelpon Azlan dengan nomor yang dulu Azlan gunakan sebagai Mr. A, tapi tetap saja nomor itu tak aktif sama sepeti nomor sebleumnya. "Kenapa nomor ini juga tak aktif? Apakah ia mengganti nomornya?" gumam Nauma."Ada apa?" tanya Mr. Jhon menghamp
"Kenapa Azlan, Nak?" tanya Ibu Tomi sambil berlari karena mendengar teriakan anaknya."Kak Azlan tak sadarkan diri, Bu. Lebih baik kita bawa ke rumah sakit sekarang," balas Tomi cemas.Tomi dan ibunya membawa Azlan ke rumah sakit terdekat, sepanjang perjalanan ia merasa cemas karena keadaan Azlan. Wajahnya sudah terlalu pucat, mata menghitam dan terlihat lebih kurus dari biasanya.Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh tanpa memperdulikan makian pengguna jalan lainnya. Ibu Tomi pun merasa cemas karena tak biasa berada di jalan raya dengan kecepatan seperti ini."Hati-hati, Nak," ucap Ibu Tomi memperingati anaknya.Begitu sampai di rumah sakit mereka langsung melarikan Azlan ke ruang UGD. Dalam perjalanan menuju UGD mereka bertemu dengan Fero yang kebetulan sedang syuting di rumah sakit untuk film terbarunya. Fero pun membantu Tomi mendorong brangkar pasien."Apa yang terjadi? Mengapa ia jadi seperti ini?" tanya Fero."Nanti aku ceritakan, yang penting kondisi Kak Azlan membaik dulu
"Kenapa saat hatiku sudah memilihmu jusrtu kau yang menghilang?" gumam Nauma sambil berjalan mencari taksi.Rumah Azlan yang ia datangi ternyata sudah dijual, tapi ia tak putus asa. Nauma mengunjungi Strar Entertaint, agensi tempat Azlan bekerja. Nauma pikir Azlan masih menjadi artis dan bekerja dengan Agnes."K-kamu Nauma?" tanya Fero yang tak sengaja melihat Nauma memasuki lobi kantornya."Ya, ini aku. Sudah lama kita tak bertemu," balas Nauma."Kau sudah berubah sekali, semakin cantik dan mempesona. Oh ya, untuk apa kau ke sini?" tanya Fero."Apakah Azlan ada di sini? Aku mencari ke rumahnya tapi ia tak tinggal di sana lagi, nomor ponselnya pun sudah tak aktif lagi," tanya Nauma.Fero mengembuskan napas saat mendengar pertanyaan Nauma. "Dia sudah tak bekerja di sini lagi, sekarang dia tak memiliki pekerjaan, semua harta yang diberikan Mr. Jhon pun sudah diambil dan dia sudah tak memiliki apapun. Tapi untuk apa kau mencarinya, bukankah kau sudah menikah dengan Mr. Jhon?" tanya Fero
“Cepat keluar!! Nauma, bangun dong! Bantu ibu masak. Sekalian itu suami kamu suruh kerja, jangan tidur aja! Masa udah jadi kepala keluarga malas-malasan sih!" teriak Ibu dengan nada membentak, dan dia terus saja menggedur pintu kamar mereka. Baru juga ingin bermanja dengan sang istri tercinta, tetapi Ibu mertua Azlan sudah menggedur kamar mereka dengan sangat kencang. Saking kencangnya, engsel pintu hampir terlepas. “Iya, Bu!” balas Nauma dengan berteriak. “Ibu kamu masih tidak suka ya Neng sama aku?” “Akang jangan mikir macam-macam ya, Ibu memang orangnya seperti itu, aku keluar dulu takut Ibu tambah marah.” Nauma keluar dengan langkah tertatih, mungkin masih ada rasa nyeri akibat pergulatan mereka semalam. “Ada apa sih, Bu? Jangan bicara keras-keras ih, kasian Akang Azlan, baru bangun tidur juga,” ucap Nauma pada ibunya saat baru membuka pintu. “Ngapain sih, kamu kasian sama suami kayak gitu? Dasar suami malas! Mana janji dia yang bilang mau cari kerja? Cuman segitu aja bicara
“Ambil yang banyak airnya! Buat mandi juga!” pinta Ibu lagi. Azlan hanya mengembuskan napas menerima perintahnya, mau tidak mau Azlan harus melakukan apa yang diperintahkan Ibu mertuanya. “Iya Bu!” balas Azlan sambil berjalan ke arah sumur. “Kamu jadi ‘kan nyari pekerjaan hari ini?!” tanya Ibu sarkas. “Iya Bu, jadi, nanti setelah sarapan aku langsung pergi nyari kerja.” “Kerja dulu ngasilin uang baru makan! Ngasih uang nggak malah enak-enakan makan! Yang ada makanan di rumah ini habis karena nampung pengangguran seperti kamu!" “Apaan sih Bu ngomongnya! Perhitungan banget sama anaknya sendiri,” bela Nauma. “Anak?! Siapa?! Dia?! Nggak sudi Ibu menganggap dia anak, pokoknya Ibu nggak mau tahu, tidak ada uang tidak ada makanan untuk kamu!” “Ini uangnya, aku yang ngasih ke Ibu, ini juga uang Akang kok,” ucap Nauma memberikan uang yang dia punya. “Ini uang kamu bukan uang dia, kalau sudah diberikan ke kamu, itu tandanya ini uang kamu, Ibu maunya uang dari hasil kerjanya!” “Sama saja
“Sudah jangan banyak protes, suami pengangguran saja dibela terus!” Mau tidak mau mereka menuruti permintaan Ibu, Azlan langsung ke kamar dan mengganti pakaiannya. Azlan mengenakan kaos putih polos dan celana denim pendek, begitu dia melihat ke cermin, Azlan terpesona dengan ketampanannya sendiri. Sontak Azlan pun langsung menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sendiri di cermin. “Hehehe, ternyata gue tampan sekali, pantas saja Nauma tergila-gila, menantu ganteng gini kok dihina? Harusnya bangga dong,” gumamnya sambil memegang dagu. “Kang udah siap belum? Nanti keburu Ibu marah-marah lagi,” ucap Nauma yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. “Ganteng nggak Neng?” “Ganteng banget Kang, dah yuk Kang berangkat, jangan ngaca terus, nanti kacanya jatuh cinta lagi sama Akang,” ledek Nauma. “Bisa aja ngeledeknya Neng, yuk ah berangkat,” ajaknya sambil merangkul pundak Nauma. Dan melangkahkan kaki ke parkiran motor. “Akang jangan ganteng-ganteng ya, di sini banyak janda kegatelan
"Apa lo bilang?!" bentak Azlan. Amarahnya sudah diambang batas, pria yang ada di hadapannya ini harus diberi pelajaran, agar mulutnya berhenti berucap. Azlan melontarkan tinju ke wajah Aldo, dan itu memnbuat Aldo terpental ke belakang. Bukkkk bukkk bukkk “Mampus lo! Lo pikir Lo siapa bisa merendahkan gue kayak gitu?! Hah?!” bentak Azlan setelah menghajarnya. “Akang! Sudah Kang! Ayo kita pulang saja,” ajak Nauma. Nauma menarik tangan Azlan hingga mereka sampai di samping motornya. “Kenapa kamu belain dia Neng?” tanya Azlan dengan nada kesal. “Aku tidak membela dia Kang, aku hanya tidak mau ada keributan di sini, aku takut malah Akang yang dikeroyok oleh orang pasar, Bapaknya Aldo itu preman di pasar ini Kang,” bisik Nauma. “Serius Neng? Yaudah yuk buruan pergi, kenapa kamu nggak bilang dari tadi sih?” Kalau urusannya sudah dengan preman pasar jelas Azlan mundur, dia tidak punya keahlian bela diri. Belajar saja hanya sebentar, sebelum almarhum bapakanya meninggal. Setelah mengeta
“Aku tanya kepada Akang, apakah Akang yakin bisa membawa keluarga kecil kita menjadi keluarga yang bahagia? Apakah Akang yakin kalau Akang bisa menghidupi keluarga kecil kita?” Nauma malah balik bertanya pada Azlan, jelas Azlan yakin kalau dia mampu membahagiakannya. Apapun akan dilakukan demi membuat Nauma bahagia, pekerjaan apapun akan dilakukan asalkan halal. “Tentu saja aku yakin, aku yakin bisa membahagiakan kamu, pekerjaan apapun akan aku kerjakan asal ada kamu yang selalu tersenyum kepadaku,” balasnya. “Kalau Akang yakin, maka aku juga yakin Kang, aku juga bisa membantu Akang mencari uang, siapa tahu di kota nanti ada yang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita yang sudah menikah, jadi buruh cuci pun aku rela.” “Tidak! Aku tidak setuju kalau kamu bekerja, biar aku saja yang mencari uang, aku menikahi kamu bukan untuk membuat kamu sengsara, sudah ya Neng, kamu yakin saja sama aku. Aku janji, kalau aku akan terus membuat kamu bahagia.” Azlan tidak setuju dengan apa yang