Ingatan Firhan lantas kembali pada saat dia menemukan selembar surat di atas tempat tidurnya. Dia baru saja datang khusus untuk acara pernikahan adiknya itu, tapi bukannya dia mengucapkan selamat atas pernikahan Arman, justru dia yang jadi terjebak dalam pernikahan dengan calon adik iparnya.
"Kamu jangan gila, Arman! Kembali cepat!" murka Firhan setelah membaca goresan tangan Arman di surat yang ditulis untuknya. Namun percuma karena setelah menjelaskan kalau dia tidak bisa mengubah keputusannya, Arman lantas memutuskan sambungan teleponnya. Dengan amarah juga kebingungan yang memenuhi kepala, Firhan berjalan menuju ke kamar Arman. Langkah tergesa Arman yang baru saja sampai, membuat Rudi dan Lidya yang tengah melihat kelengkapan hantaran untuk esok, bertanya. "Bang, istirahat dulu. Biarkan Arman--" "Arman nggak ada, Ma, Pa! Anak itu pergi!" sela Firhan dengan menahan kekesalan juga amarah. "Apa? Pergi gimana maksudnya?" Lidya langsung mendekat Pada Firhan. Dia tahu Arman memang pamit padanya untuk keluar tadi siang, mau bertemu temannya dia bilang. Jadi tentu saja Lydia tak memiliki kecurigaan apa pun. Terlebih mengira Arman pergi dengan sengaja menghindari pernikahannya sendiri. "Ini, Ma. Dia meninggalkan surat ini buat Abang!" Firhan menunjukan surat yang dipegangnya, usapan kasar di wajahnya menunjukan bahwa dia tengah kalut saat ini. Tangan Lidya bergetar setelah membaca satu demi satu huruf yang tertulis di sana, hingga akhirnya selembar kertas itu melayang jatuh, sementara tangan sudah menutup mulut tak percaya. Tanpa banyak tanya, namun dirinya sudah bisa menebak ada yang tidak beres sudah terjadi, Rudi segera mengambil surat yang terjatuh itu. Sama seperti istri dan juga anak sulungnya, Rudi pun langsung merasa lemas setelah semua tulisan Arman selesai dia baca. "Astagfirullah haladzim." "Bagaimana ini, Pa?" tanya Lidya yang pipinya sudah bersimbah air mata. "Telepon dia!" geram Rudi. "Sudah, Pa. Arman hanya bilang tidak bisa meneruskan pernikahan, dan ... dan minta Firhan menggantikan posisinya besok," jawab Firhan diakhiri dengan lesu. "Tak tau diri!" "Apa pernikahan dia adalah perjodohan, Pa, Ma? Apa dia tidak menginginkan pernikahan ini?" tanya Firhan ingin mengetahui secara detail. Dia yang tinggal berbeda kota, jelas tidak mengetahui semuanya. "Tidak. Maya adalah pilihan dia sendiri. Dia juga yang meminta kami melamarnya meski belum lama mengenal gadis itu. Tapi sekarang ...." "Kita periksa kamarnya!" ucap Rudi lantas menderap langkah menuju kamar Arman. "Firhan!" Panggilan dari Lidya menarik lamunan Firhan, laki-laki itu lantas memenuhi panggilan sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamar. "Ya, Ma. Maya sudah sadar?" tanya Firhan mendekat. "Sudah. Masuklah. Jelaskan dengan pelan-pelan, ya? Tadi Mama sudah bicara sedikit. Kamu beri penjelasan yang lengkap," ujar Lidya yang diangguki Firhan. Tak seperti saat tadi masuk, saat keluar kamar Lani menepuk pundak Firhan lembut. Selarik senyum tipis diberikan oleh ibu mertuanya itu. Melihat itu, Firhan sedikit lega, setidaknya dia sudah mendapat sikap manis dari mertuanya. "Tolong jaga Maya, Nak Firhan," kata Lani dengan menutupi perasaan getir. Firhan mengangguk, meski dia pun tak yakin Maya akan bersikap ramah seperti ibunya. Firhan duduk di dekat tempat tidur, sedang Maya bersandar di kepala ranjang dengan tatapan kosong. Roncean melati yang tadi tersampir cantik di rambutnya, kini sudah teronggok di meja rias bersama dengan aksesoris lainnya. Firhan menghela napas panjang. Tak menyangka dia akan berada di situasi sekarang ini. Menjadi pengantin pengganti untuk gadis yang baru dua kali dilihatnya itu. "Dik Maya," panggil Firhan lembut, mencoba mencari perhatian Maya dari lamunannya. Air mata Maya kembali luruh, hati dan pikirannya masih mencari alasan yang tepat, kenapa sampai Arman tega meninggalkannya seperti itu. Namun, nihil. Dia tak mendapat jawaban dari semua pertanyaannya. "Saya ...." "Kenapa abang mau menggantikan Arman, Bang?" tanya Maya dengan suara yang sangat pelan. Lirih, namun terdengar jelas di telinga Firhan. "Abang tidak--" "Aku lebih baik malu tidak jadi menikah, daripada harus menikah tanpa tahu kalau pengantinku sudah berganti, Bang!" ujar Maya dengan sorot mata yang menajam. "Aku bukan barang yang seenaknya dipindah kepemilikkan. Aku--" "Maya, dengarkan penjelasan saya." Firhan memotong cepat. Maya membuang muka. Laki-laki di depannya itu jelas lebih dewasa dari Arman. Bahkan dari cerita Arman, Firhan adalah seorang duda. Dua kali diajak Arman bertemu dengan Firhan, setahunya laki-laki seorang yang tidak banyak bicara namun tegas. Lalu bagaimana bisa dengan begitu saja menerima permintaan Arman untuk menggantikan menikah dengannya? Tak masuk di akal. "Bang, pernikahan ini tidak sah, kan? Kita masih bisa membatalkan pernikahan ini, kan?" Lotaran pertanyaan Maya menghentak dada Firhan.Seperti rencana semula, acara resepsi pernikahan Maya dan Firhan pun digelar dua minggu kemudian. Yang awalnya berniat digelar sederhana, akhirnya pesta itu pun berlangsung cukup meriah. Firhan mengundang semua kenalan juga rekan kerjanya. Begitu juga dengan Maya meskipun dia sudah tidak lagi bekerja. Mereka mau datang, syukur. Tidak pun tak jadi masalah untuk Maya. Apalagi acara tersebut digelar di kota tempat tinggal Firhan, kemungkinan teman-teman Maya yang bekerja di perusahaan cabang, tentu sangat kecil bisa datang. Namun Maya tak berkecil hati, cukuplah dengan adanya Nova sebagai temannya yang hadir di hari bersejarah untuknya itu. Ucapan selamat juga doa restu mengalir dari para tamu. Maya terlihat anggun dengan gaun putih panjang dan jilbab yang menutup rambutnya. Ya, Maya memutuskan untuk berhijab seperti niatnya dulu. Dia akan menggunakan penutup aurat itu saat dirinya sudah menikah. Jadi tak ada alasan lagi untuk menunda niat baiknya. "Ih, cantik banget kamu pake j
"Ap-apa maksud kamu, Man?" Anna memucat wajahnya, apalagi tatapan semua orang kini tertuju padanya. "Kamu tidak pernah kehilangan ingatan kamu kan, Anna?! Kamu sudah membohongi aku hingga aku merasa bersalah, dan meninggalkan dia yang seharusnya menjadi istriku saat ini!" Arman berteriak lantang, semua kata yang sudah dia ucapkan tentang keikhlasan atas gagalnya pernikahan dengan Maya, kini seakan disesalinya begitu sadar Anna sudah membohonginya. Menipunya mentah-mentah. Siapa yang bodoh sebenarnya? "Man, bicarakan baik-baik." Lidya menghampiri Arman, mengusap punggungnya dengan lembut berharap Arman bisa menahan kemarahannya. "Anna tidak mengerti apa yang Arman katakan, Mama," kata Anna mencari simpati Lidya, sayangnya Arman sudah tidak percaya. "Bohong," desis Arman. "Kita bicarakan nanti. Tak enak dengan pak Idham dan bu Lani." Rudi menyela, "Nak Angga, bisa antar Anna pulang, Nak? Arman butuh menenangkan diri," lanjutnya pada Angga yang dengan sigap mengangguk. "Ten
Tanah Merah itu masih basah. Raga yang terbaring di dalam sana kini sudah tak merasakan sakit lagi. Segala beban dan masalah yang dirasakannya selama hidup sirna sudah, meninggalkan seseorang yang baru mengenalnya tapi justru kini dipaksa pisah lebih jauh lagi. Tak ada kesempatan bertemu, tak ada kesempatan bertanya kenapa dulu dirinya seakan dibuang. Arman terpekur dengan mata sembabnya, menatap kayu nisan yang bertuliskan nama wanita yang baru diketahuinya sebagai ibunya. Ada Anna, Angga, juga keluarga yang selama ini dikenal sebagai orang tua dan kakak lelakinya. Tanpa keberadaan Maya. Pencariannya dalam menemukan sang ibu berhasil, namun saat hendak mempertemukan ibu kandungnya dengan Lidya dan Rudi, kecelakaan malah menghentikan rencana mereka. Mobil Arman ditabrak oleh truk yang melaju kencang, saking kerasnya benturan membuat sang ibu yang tidak mengenakan sabuk pengaman, terpental keluar, hingga nyawa pun terlepas di tempat kejadian. Arman terluka cukup parah, tiga hari
Hening. Hingga beberapa saat kemudian tautan bibir keduanya terlepas. Maya langsung menunduk, namun Firhan menahan dagunya agar Maya terus bersitatap dengannya. "Apa abang bisa meminta hak dan memenuhi kewajiban abang sekarang?", tanya Firhan dengan tatapan mulai berkabut. Maya menenangkan debaran jantungnya yang menggila, namun dia pun tak bisa mengatakan tidak, hingga anggukan kepalanya sebagai izin yang diberikan, membuat Firhan kembali melabuhkan kecupan di bibirnya. Tak lama tubuh Maya pun melayang saat Firhan menggendongnya, membawanya menuju peraduan. Maya terpekik lirih, dengan sigap dia memeluk leher Firhan dengan mata keduanya yang terus bertukar tatap, senyuman terus Firhan sunggingkan, seakan menenangkan Maya bahwa semua akan baik-baik saja. "Percaya pada abang, kita akan bersenang-senang. Ibadah." Maya mengangguk dan mempercayakan semuanya pada Firhan. Membiarkan semua mengalir seperti apa harusnya. Dia hanya pasrah, saat apa yang dia jaga selama ini dan akan
"Sampe kaget gitu," ledek Maya menertawakan Firhan, padahal dia sendiri tengah mencoba menenangkan dirinya imbas perkataannya sendiri. "Harus minggir dulu, biar bisa fokus." Firhan menepikan mobil, lalu menatap Maya yang sudah memerah wajahnya. "Coba bilang sekali lagi ... yang jelas," kata Firhan menggenggam lembut tangan Maya, matanya lekat menatap manik mata sang istri. "Apaan sih, Bang. Ayo jalan lagi, katanya mau ke rumah bapak?" elak Maya menahan senyum. Firhan menggeleng merasa dipermainkan Maya. "Nggak jadi. Mau ajak ke hotel aja." "Ya ayo! Kemana aja abang mau bawa Maya, Maya ikut," balas Maya. Firhan tersenyum lebar, diciuminya tangan Maya. "Yakin?" Firhan masih mencari celah apa kebohongan itu ada. Maya menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan sangat yakin meski wajahnya kini semakin merah saja. "Beneran sudah siap jadi istri abang sepenuhnya?" lirih Firhan membelai pipi Maya, gadis itu merasakan tubuhnya panas dingin. "Y-ya," sahut May
"Kamu pulang ke mana, May?" tanya Nova saat jam kerja habis. Setelah semua orang tahu tentang status pernikahannya dengan Firhan, Nova yakin Maya tidak akan tinggal di mess lagi. "Rumah abang," jawab Maya dengan malu. "Udah aku tebak, sih. Huh, aku jadi nggak ada temen ngegosip. Sepi," keluh Nova sedih namun dibalut canda. "Maaf, ya?! Abis mau gimana lagi?" ucap Maya, mereka tengah berjalan menuju keluar bangunan produksi, dia sudah tidak terlalu menjadi perhatian setelah para karyawan tahu dirinya istri Firhan, meski tentu saja sikap Rima jadi berubah drastis padanya. Atasannya itu jadi judes, sangat menyebalkan. Tapi Maya memilih abai, selama Rima tak membuat kontak fisik untuk menyakitinya, meski jadi suka membentak kalau memberikan perintah padanya. Biarlah, mungkin Rima sangat berharap pada Firhan sebelumnya, jadi begitu tahu laki-laki yang disukainya ternyata sudah menikah, dia jadi kecewa dan patah hati. "Loh, ya nggak papa, May. Aku paham, kok. Emang seharusny