Kata-kata penuh pertanyaan Maya menyentil ego Firhan. Dia tahu dia tak diinginkan oleh gadis itu. Begitu pun dengan dirinya yang merasa terpaksa mengikuti keinginan adiknya, untuk menjadi pengantin pengganti. Namun pantang bagi Firhan mempermainkan satu hubungan. Pernikahannya dengan Maya jelas sah secara agama juga negara, meskipun buku tanda statusnya kembali menjadi seorang imam, belum ada dalam genggaman.
Lantas, akankah dia mengikuti keinginan Maya yang ingin ikatan suci mereka dibatalkan? "Kamu sadar dengan apa yang kamu tanyakan, Dik?" tanya Firhan dengan tatapan tajam, berbeda dengan sorot mata tadi yang menatapnya penuh rasa bersalah. "Memangnya Abang berniat serius dengan pernikahan ini? Kita sama-sama terpaksa, Bang! Abang dengan paksaan Arman." Maya memejamkan mata saat harus mengucapkan nama itu, nama yang selama lima bulan terakhir selalu ada dalam hati dan pikirannya. Namun nama itu yang sekarang sangat enggan dia sebut untuk satu alasan pun. "Dan aku yang merasa ditipu oleh kalian," lanjut Maya yang membuat Firhan melembutkan lagi sorot matanya. Ya, benar kata Maya, dia dan kedua orang tuanya, juga orang tua Maya jelas sudah menipunya. Tak memberitahu secara gamblang kalau pengantinnya sudah digantikan orang lain. "Saya minta maaf untuk itu. Bukan maksud ingin menipu. Tapi semua demi kebaikan semuanya. Kebaikan keluarga kita." "Tapi tidak untuk kebaikan aku, Bang!" bantah Maya yang kembali membuat Firhan diam. "Bisakah kita tidak membahas ini untuk sementara waktu, Dik?! Kepala saya rasanya pusing memikirkan semua ini. Saya hanya akan menjelaskan kenapa Arman--" "Tak perlu, Bang! Aku sudah tidak membutuhkan penjelasan apa pun lagi tentang apa alasan dia pergi. Dengan dia pergi seperti ini, itu artinya aku memang tidak diinginkan olehnya lagi. Percuma. Aku hanya ingin pernikahan ini dibatalkan saja." Maya kembali mengusap kasar air mata yang kembali turun. Betapa menyakitkan mengingat semua kata-kata cinta yang diucapkan Arman, tapi dengan mudah meninggalkan dirinya di pelaminan. "Apa arti cintamu, Arman?" Batin Maya nelangsa. "Baiklah kalau memang kamu tidak ingin mendengarkan penjelasan dari saya. Tapi seperti yang saya bilang tadi, saya tidak ingin membahas tentang pembatalan pernikahan. Saya serius dengan pernikahan ini terlepas dari bagaimana pernikahan ini terjadi. Saya akan buktikan," ucap Firhan lantas berdiri. "Setidaknya, sampai Arman kembali pernikahan ini akan aku pertahankan." Batin Maya, dia menatap laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu keluar kamar. Dia tak tahu akan seperti apa kelanjutan pernikahan tak diinginkannya itu. Apalagi tadi Firhan mengatakan akan serius dengan pernikahan mereka. Akankah dia memberikan dirinya kesempatan juga, atas pernikahan yang terjadi hampir satu jam yang lalu itu? *** "Bagaimana, Bang?" tanya Rudi, rumah itu sudah sepi dari para tetangga dan kerabat Maya. Entah akan seperti apa berita yang beredar di luar sana, atas gagalnya pernikahan Maya dan Arman. Bukan hanya Rudi yang penasaran, Lidya, Idham, dan Lani pun sama penasarannya dengan apa yang sudah dibicarakan Firhan dan Maya. "Maya ... ingin pernikahan dibatalkan, Pa, Pak Idham." "Apa?!" pekik dua orang ibu yang mendengar jawaban Firhan terdengar. Apalagi Idham, dia langsung memegangi dadanya. "Pak, Bapak kenapa?" tanya Lani panik melihat suaminya. Firhan langsung kaget, dia takut kalau mertuanya itu mempunyai penyakit jantung, berita yang baru saja disampaikan olehnya, jelas tidak baik untuk kesehatan laki-laki paruh baya tersebut. "Apa Bapak punya riwayat penyakit jantung, Bu?" tanya Firhan menatap panik, pun dengan kedua orang tuanya. "Tidak, Nak," jawab Lina sambil mengusap dada Idham yang mendadak seakan susah bernapas. "Tapi ini--" "Bapak!" pekik Lani yang melihat suaminya lantas terkulai di sandaran kursi. "Bang, Kak cepat bawa ke rumah sakit!" titah Rudi dengan sigap berdiri, Firhan mengangguk, dia lantas membantu membopong tubuh Idham dibantu Rudi dan juga Sandi. Lani menangis, begitu juga dengan Lidya dan Mala yang panik datang begitu mendengar ibunya berteriak tadi. Selepas Idham dibawa pergi menggunakan mobil Firhan, Mala kembali masuk dan langsung menuju kamar Maya. "May," ujarnya antara ragu dan bingung, apa harus mengatakan kondisi ayah mereka pada Maya atau tidak. Kondisi mental dan hati adiknya saja saat ini tidak sedang baik-baik saja, apa harus ditambah dengan mendengar kondisi kesehatan bapaknya? Apa tidak terlalu kejam jadinya? "Apa, Mbak," sahut Maya menanggapi panggilan Mala dengan malas. "Tidak jadi," balas Mala lantas kembali menutup pintu, sementara Maya hanya tak acuh lalu kembali meratapi kemalangan kisah cintanya. Ponselnya yang dibiarkan di atas bantal berdenting, satu pesan masuk berhasil menyita perhatian Maya. Dia berharap Arman-lah yang mengiriminya pesan, meski tak ingin mendengar penjelasan dari Firhan kenapa dia pergi, tapi setidaknya hatinya masih mengharap Arman kembali. Tapi harapan itu hanya semu, karena bukan laki-laki yang kini dibencinya yang mengirim pesan, tapi temannya satu pekerjaan yang menanyakan kabar. Mala tersenyum miris, ternyata berita batalnya pernikahan dia dengan Arman, sudah ramai dibicarakan di media sosial. Memangnya apa yang tidak menjadi viral di jaman sekarang?Seperti rencana semula, acara resepsi pernikahan Maya dan Firhan pun digelar dua minggu kemudian. Yang awalnya berniat digelar sederhana, akhirnya pesta itu pun berlangsung cukup meriah. Firhan mengundang semua kenalan juga rekan kerjanya. Begitu juga dengan Maya meskipun dia sudah tidak lagi bekerja. Mereka mau datang, syukur. Tidak pun tak jadi masalah untuk Maya. Apalagi acara tersebut digelar di kota tempat tinggal Firhan, kemungkinan teman-teman Maya yang bekerja di perusahaan cabang, tentu sangat kecil bisa datang. Namun Maya tak berkecil hati, cukuplah dengan adanya Nova sebagai temannya yang hadir di hari bersejarah untuknya itu. Ucapan selamat juga doa restu mengalir dari para tamu. Maya terlihat anggun dengan gaun putih panjang dan jilbab yang menutup rambutnya. Ya, Maya memutuskan untuk berhijab seperti niatnya dulu. Dia akan menggunakan penutup aurat itu saat dirinya sudah menikah. Jadi tak ada alasan lagi untuk menunda niat baiknya. "Ih, cantik banget kamu pake j
"Ap-apa maksud kamu, Man?" Anna memucat wajahnya, apalagi tatapan semua orang kini tertuju padanya. "Kamu tidak pernah kehilangan ingatan kamu kan, Anna?! Kamu sudah membohongi aku hingga aku merasa bersalah, dan meninggalkan dia yang seharusnya menjadi istriku saat ini!" Arman berteriak lantang, semua kata yang sudah dia ucapkan tentang keikhlasan atas gagalnya pernikahan dengan Maya, kini seakan disesalinya begitu sadar Anna sudah membohonginya. Menipunya mentah-mentah. Siapa yang bodoh sebenarnya? "Man, bicarakan baik-baik." Lidya menghampiri Arman, mengusap punggungnya dengan lembut berharap Arman bisa menahan kemarahannya. "Anna tidak mengerti apa yang Arman katakan, Mama," kata Anna mencari simpati Lidya, sayangnya Arman sudah tidak percaya. "Bohong," desis Arman. "Kita bicarakan nanti. Tak enak dengan pak Idham dan bu Lani." Rudi menyela, "Nak Angga, bisa antar Anna pulang, Nak? Arman butuh menenangkan diri," lanjutnya pada Angga yang dengan sigap mengangguk. "Ten
Tanah Merah itu masih basah. Raga yang terbaring di dalam sana kini sudah tak merasakan sakit lagi. Segala beban dan masalah yang dirasakannya selama hidup sirna sudah, meninggalkan seseorang yang baru mengenalnya tapi justru kini dipaksa pisah lebih jauh lagi. Tak ada kesempatan bertemu, tak ada kesempatan bertanya kenapa dulu dirinya seakan dibuang. Arman terpekur dengan mata sembabnya, menatap kayu nisan yang bertuliskan nama wanita yang baru diketahuinya sebagai ibunya. Ada Anna, Angga, juga keluarga yang selama ini dikenal sebagai orang tua dan kakak lelakinya. Tanpa keberadaan Maya. Pencariannya dalam menemukan sang ibu berhasil, namun saat hendak mempertemukan ibu kandungnya dengan Lidya dan Rudi, kecelakaan malah menghentikan rencana mereka. Mobil Arman ditabrak oleh truk yang melaju kencang, saking kerasnya benturan membuat sang ibu yang tidak mengenakan sabuk pengaman, terpental keluar, hingga nyawa pun terlepas di tempat kejadian. Arman terluka cukup parah, tiga hari
Hening. Hingga beberapa saat kemudian tautan bibir keduanya terlepas. Maya langsung menunduk, namun Firhan menahan dagunya agar Maya terus bersitatap dengannya. "Apa abang bisa meminta hak dan memenuhi kewajiban abang sekarang?", tanya Firhan dengan tatapan mulai berkabut. Maya menenangkan debaran jantungnya yang menggila, namun dia pun tak bisa mengatakan tidak, hingga anggukan kepalanya sebagai izin yang diberikan, membuat Firhan kembali melabuhkan kecupan di bibirnya. Tak lama tubuh Maya pun melayang saat Firhan menggendongnya, membawanya menuju peraduan. Maya terpekik lirih, dengan sigap dia memeluk leher Firhan dengan mata keduanya yang terus bertukar tatap, senyuman terus Firhan sunggingkan, seakan menenangkan Maya bahwa semua akan baik-baik saja. "Percaya pada abang, kita akan bersenang-senang. Ibadah." Maya mengangguk dan mempercayakan semuanya pada Firhan. Membiarkan semua mengalir seperti apa harusnya. Dia hanya pasrah, saat apa yang dia jaga selama ini dan akan
"Sampe kaget gitu," ledek Maya menertawakan Firhan, padahal dia sendiri tengah mencoba menenangkan dirinya imbas perkataannya sendiri. "Harus minggir dulu, biar bisa fokus." Firhan menepikan mobil, lalu menatap Maya yang sudah memerah wajahnya. "Coba bilang sekali lagi ... yang jelas," kata Firhan menggenggam lembut tangan Maya, matanya lekat menatap manik mata sang istri. "Apaan sih, Bang. Ayo jalan lagi, katanya mau ke rumah bapak?" elak Maya menahan senyum. Firhan menggeleng merasa dipermainkan Maya. "Nggak jadi. Mau ajak ke hotel aja." "Ya ayo! Kemana aja abang mau bawa Maya, Maya ikut," balas Maya. Firhan tersenyum lebar, diciuminya tangan Maya. "Yakin?" Firhan masih mencari celah apa kebohongan itu ada. Maya menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan sangat yakin meski wajahnya kini semakin merah saja. "Beneran sudah siap jadi istri abang sepenuhnya?" lirih Firhan membelai pipi Maya, gadis itu merasakan tubuhnya panas dingin. "Y-ya," sahut May
"Kamu pulang ke mana, May?" tanya Nova saat jam kerja habis. Setelah semua orang tahu tentang status pernikahannya dengan Firhan, Nova yakin Maya tidak akan tinggal di mess lagi. "Rumah abang," jawab Maya dengan malu. "Udah aku tebak, sih. Huh, aku jadi nggak ada temen ngegosip. Sepi," keluh Nova sedih namun dibalut canda. "Maaf, ya?! Abis mau gimana lagi?" ucap Maya, mereka tengah berjalan menuju keluar bangunan produksi, dia sudah tidak terlalu menjadi perhatian setelah para karyawan tahu dirinya istri Firhan, meski tentu saja sikap Rima jadi berubah drastis padanya. Atasannya itu jadi judes, sangat menyebalkan. Tapi Maya memilih abai, selama Rima tak membuat kontak fisik untuk menyakitinya, meski jadi suka membentak kalau memberikan perintah padanya. Biarlah, mungkin Rima sangat berharap pada Firhan sebelumnya, jadi begitu tahu laki-laki yang disukainya ternyata sudah menikah, dia jadi kecewa dan patah hati. "Loh, ya nggak papa, May. Aku paham, kok. Emang seharusny