Pasca kejadian di pasar beberapa hari yang lalu, Mas Giora tetap memegang pendiriannya untuk berjualan ikan. Memang, suamiku terkadang keras kepala, tak peduli betapa banyak penghinaan dari keluargaku dan juga orang lain, tetap saja dia hanya membalasnya dengan senyum dan tenang.
Akhirnya, pagi itu, aku menemani Mas Giora untuk berjualan ikan di pasar, karena kebetulan aku bosan di rumah saja.
"Mas Giora, saya mau beli ikan lele dong." ucap seorang wanita yang suaranya sangat familiar di telingaku. "Mau berapa?" tanya Giora. Benar dugaanku, rupanya itu adalah Wita, 'temanku' yang tempo hari menghina suamiku. Cih, katanya segan, tapi sekarang malah datang membeli ikan di lapak suamiku. Tidak tahu malu sekali wanita itu datang ke sini, bahkan dia juga sudah memutuskan pertemanan denganku hanya karena kami miskin. "Ini, ikannya." Mas Giora dengan ramah mengatakan itu sambil memberikan ikan yang sudah dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Aku yang kesal melihat Wita pun langsung saja menyindir dirinya. "Kamu kemarin bilang tidak mau berhubungan dengan aku dan suamiku, sekarang malah beli ikan yang dijual oleh suamiku," sindirku dengan tajam. Biarkan saja dia akan berkata apa setelah ini, aku juga tidak peduli sama sekali. Lagipula, hinaan-hinaan dari dirinya dan juga Hani masih saja terngiang di otakku. Setelah aku menyindirnya, Wita malah menatapku dengan pandangan jijik, seolah aku ini adalah kotoran. Dia tertawa sambil menatapku dingin. "Harusnya kamu bersyukur Lisa, karena ada orang seperti aku yang mau membeli ikan dari suamimu yang tidak berguna ini, bayangkan kalau gak ada aku? Lapak dagangan suamimu bakal sepi pembeli, tau!?" sindir Wita dengan nada penuh kemenangan. Aku mengepalkan tangan, tak kuasa untuk berbuat sesuatu ke wajahnya yang menyebalkan, tetapi karena tangan kekar suamiku yang menahannya aku tidak jadi melakukan hal tersebut. "Cih, masih berani melawan dan mengataiku, dasar orang miskin." Wita melemparkan selembar uang berwarna merah kepada kami, lalu dia tertawa dengan puas ke arah kami, seolah menghina kami di hadapan orang-orang yang ada di pasar. "Ambil saja kembaliannya. Aku tahu kalau kalian orang miskin yang sangat membutuhkan itu. Jangan sok pura-pura menolak," ledek Wita kembali. Aku mengambilnya dan memberikan kembali kepada Wita. "Sepertinya kamu yang butuh bantuan sosial bukan aku. Ambil saja uang itu, aku tidak butuh uang haram." Aku sengaja mengatakan itu karena aku dengar dari warga sekitar, kalau Wita dan suaminya tiba-tiba kaya mendadak karena judi yang kerap dilakukan oleh suaminya. "Cih, dasar sombong, sudah tau hidup melarat, dikasih bantuan malah kurang ajar." Wita menyinyir, lalu langsung pergi begitu saja. Aku menatap kesal wanita sombong tersebut, bisa-bisanya dia malah mengatai suamiku dengan seperti itu. "Jangan dilayani, dia juga pelanggan." Aku menatap kearah Mas Giora yang terlalu baik menilai orang. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan manusia yang menjadi suamiku ini. Mengapa dia masih bisa berpikir positif dalam segala hal? "Lain kali kalau ada sesuatu datang ke sini, jangan terima dia. Enak saja dia datang ke sini sambil menghina kita. Kamu tidak ingat kejadian dia datang ke rumah waktu itu bersama dengan Hani. Mereka hanya ingin pamer kekayaan saja. Aku benci dengan orang kaya," ujarku dengan jujur. Aku memperhatikan ekspresi dari Mas Giora yang tidak berkata apapun. Apa aku salah bicara, sampai akhirnya aku memutuskan untuk menepuk pundaknya. "Kenapa Mas malah melamun?" tanyaku heran. "Ah tidak, lebih baik kamu pulang sekarang yah. Aku tidak mau kalau kamu panas-panasan di pasar seperti ini," kata Mas Giora. Aku terharu ketika mendengar alasan dirinya yang memang sangat perhatian. Tetapi, aku ingin tetap bersama dengan suamiku. Walaupun aku biasanya tak begitu suka berlama-lama di pasar ini. "Tidak mau, Mas. Khusus untuk hari ini yah Mas, aku akan menemani Mas untuk berjualan." Aku berkata dengan jujur sekarang, terlebih aku merasa kasihan dengan pekerjaan yang dia jalani sekarang. Rasanya, tidak tega saja ketika melihat dia berkerja seperti ini. Belum juga dengan hinaan orang-orang yang tidak suka. Mas Giora menggelengkan kepalanya, "Tidak usah yah. Kamu bekerja saja di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah," ujar suamiku. "Aku tidak terima penolakan, pokoknya aku mau temani Mas bekerja di sini," kataku dengan nada penekanan. Mas Giora hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut. "Kamu memang keras kepala, Lisa." "Iya, makanya aku istri kamu. Gak beda jauh, kan?" jawabku dengan santai, sembari menampikkan senyum di wajahku. "Kalau begitu kamu duduk di sana yah," ujar Mas Giora, jemarinya menunjuk ke kursi kayu tempatnya biasa beristirahat di lapak pasar. Aku hanya bisa mengangguk. Sembari terduduk, aku menyaksikan Mas Giora melayani pembeli, dan memotong-motong ikan dengan ototnya yang terbentuk, membuatku tetap kagum kepadanya.Sampai waktu sore telah tiba, aku merasa sedikit lelah.
"Akhirnya sekarang bisa pulang juga." Aku mengatakan itu sambil merentangkan tangan, ada rasa lega di dalam hatiku sekarang.
"Lain kali kamu jangan sampe seperti ini," ucap Mas Giora, tangan kekarnya mengelus elus pundakku.
"Iya Mas." Aku hanya tersenyum dengan tipis saja, sampai aku melihat ada seseorang yang datang menghampiri Giora.
Laki-laki tersebut memakai baju yang begitu sangat rapi. "Siapa dia? Apa dia datang untuk membeli ikan?" batinku dalam hati.
"Maaf, toko kami sudah tutup. Ikannya juga sudah habis. Mungkin bisa membeli ini lain waktu," ujarku bukan untuk mengusirnya, tetapi jualan kami hari ini memang sudah habis.
Namun, orang tak dikenal itu malah menyimpulkan senyum dan menatapku dengan aneh. "Ah, maaf, saya ke sini bukan untuk membeli ikan, tetapi untuk bertemu dengan Tuan...eh maksud saya Giora."
Tuan?Setelah acara pesta yang panjang, aku merasa lega dan sedikit lelah. Mas Giora menggenggam tanganku dengan lembut, mengajakku menuju kamar. Tidak ada kata-kata yang terucap antara kami, hanya tatapan penuh makna yang saling bertukar. Rasanya seperti dunia ini hanya milik kami berdua, jauh dari hiruk-pikuk pesta dan keramaian yang baru saja berlalu.Saat pintu kamar terbuka, mataku langsung tertuju pada sebuah kejutan. Bunga mawar merah muda, yang harum semerbak, terhampar dengan indah di atas ranjang. Kelopak-kelopak bunga itu tersebar rapi, memberi nuansa romantis yang begitu memukau. Aku terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang kulihat. Seluruh ruangan dipenuhi dengan cahaya lembut dari lampu kamar, menciptakan atmosfer yang begitu intim dan penuh kehangatan."Apa kamu yang menyiapkan ini semuanya?" tanyaku dengan nada tak percaya, mataku memandang ke arah Mas Giora yang berdiri di sampingku.Mas Giora hanya tersenyum tipis, mengangguk dengan penuh kepastian. "Tentu saja," jawab
Aku dan Mas Giora akhirnya memutuskan untuk berdansa. Musik mengalun lembut, mengisi ruang dengan suasana yang penuh kegembiraan. Rasa senang yang sudah lama tertahan akhirnya bisa terlepaskan. Nia sudah tertangkap, dan kini semuanya terasa lebih ringan."Kamu senang?" tanya Mas Giora, matanya menatapku dengan lembut, seolah ingin memastikan perasaanku."Iya, aku senang," jawabku, tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahku. Semua yang telah terjadi akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.Mas Giora menoleh sekilas ke arahku, matanya menunjukkan rasa puas yang sama. "Kamu lihat sekarang? Tomas dan Serin terlihat mesra," bisiknya, matanya tertuju pada pasangan yang sedang berdansa di seberang. Serin dan Tomas tampak begitu dekat, seakan semuanya menjadi lebih indah. Aku tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, akhirnya mereka bisa menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.Aku menoleh, melihat mereka berdua yang sedang tertawa dan menikmati momen itu. Ras
Aku terkejut saat melihat Serin datang mendekati kami dengan langkah cepat, matanya tajam menatap setiap orang di sekitar. Suasana jadi tegang seketika."Siapa dia?" tanya Raya, jelas kebingungannya.Sedangkan Nia, yang tadinya tenang, kini mematung. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Gak tahu dia siapa," jawab Ina, tampak sedikit ragu."Dia orang yang tadi bersama kamu kan?" tanya Yuna pelan, bisikannya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti.Aku hanya mengangguk, memberikan jawaban singkat. Memang, itu Serin. Wanita itu datang tepat pada waktunya, seperti tahu kapan harus muncul."Iya, dia temanku. Namanya Serin," kataku, menjelaskan kepada Yuna.Namun, suasana semakin aneh. Serin berdiri di sana, tak bergerak, menatap kami dengan tatapan yang sulit dibaca."Ayo cepat, Bu Nia. Buka isinya, kami penasaran," kata Raya, berusaha mencairkan suasana dengan ceria, meskipun ada ketegangan yang tak bisa dihi
Orang yang dihubungi oleh Ina akhirnya muncul. Dia adalah orang yang ahli dalam bidang perhiasan. Semua orang kini menatap kearah orang tersebut. "Selamat malam, Pak Ben.""Ada apa memanggilku?" tanya Ben pada Ina. "Sebenernya saya hanya ingin Pak Ben membuktikan sebuah kalung yang dipakai oleh Lisa. Itu kalung yang asli atau bukan," ujar Ina sambil menunjuk kearah kalung yang aku pakai. Raya langsung menatap kearah diriku dengan sinis. "Pasti itu adalah kalung yang palsu.""Boleh saya melihat kalung tersebut?" pintanya padaku dengan sopan. Pak Ben langsung menatap kearah diriku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kalung ini dan memperlihatkan pada mereka semuanya. Semoga kali ini akan percaya. "Ini kalungnya," kataku sambil memperlihatkan dengan seksama. Ina yang melihat itu pun tersenyum dengan puas. Dia terlihat senang karena aku tahu niatnya untuk mempermalukan diriku. "Sebentar lagi kamu tidak akan bisa sombong," kata Ina. "Iya, Lisa. Kamu pasti akan menangg
Acara pesta yang diselenggarakan oleh Perusahaan keluarga Mas Giora. Semuanya digelar di salah satu gedung yang mewah yang terletak di pusat ibukota. Aku sudah bersiap dengan gaun yang memang sudah di pesan oleh Mas Giora. Aku memakainya dengan seksama. "Kamu terlihat cantik sayang."Mas Giora malah memelukku dari belakang, membuat aku sedikit gugup sekarang. Terlebih deru nafasnya masih bisa aku rasakan. Sangat nikmat sekali dan aku menikmati semuanya dengan baik. "Mas, kok belum berangkat?" kataku pada Mas Giora. Kita sudah merencanakan semuanya. Jadi nanti Mas Giora akan berangkat lebih dulu, sedangkan aku akan menyusul nanti. "Rasanya tidak rela ketika meninggalkan istriku berangkat sendirian. Aku ingin bareng bersama dengan kamu saja.""Sudah Mas, jangan manja seperti itu, ayo kita masih punya misi," kataku pada Mas Giora. "Baiklah, aku memang masih punya misi.""Makanya, kamu berangkat duluan. Nanti aku bersama dengan Serin datang ke sana. Kamu bersama dengan Tomas," saran
Aku kembali ke kantor dan semuanya terasa sangat aneh. Karyawan yang ada di sini malah justru terlihat heboh sekali. Diam-diam aku mendengar percakapan mereka karena memang penasaran. "Pak Bos mengupload foto bersama dengan istrinya.""Iya, tetapi sayang gak bisa melihatnya.""Pasti istrinya sangat cantik."Aku mendengar percakapan heboh mereka, rupanya mereka tengah tengah membicarakan tentang Mas Giora. Aku seketika yang mendengarnya pun merasa sedikit penasaran. "Jangan-jangan benar lagi fakta itu, kalau Pak Andreas punya hubungan gelap dengan Bu Nia," ujar karyawan yang lainnya. "Maksud kamu, ini adalah Bu Nia," ujar karyawan yang suka bergosip. Aku kesal mendengarnya, sudah jelas kalau memang itu adalah aku. Tetapi aku tidak bisa mengungkap semuanya sekarang. Bisa jadi masalah kalau aku mengungkap semuanya. "Wah, aku dengar juga Pak Andreas pernah dipenjara karena kasus ini, tetapi dia bebas dan tidak terbukti bersalah.""Iya namanya juga orang kaya, sudah jelas kalau punya