Usai permasalahan kemarin, aku hanya bisa bersabar. Jika aku terlalu memaksakan Mas Giora, percuma, pria itu tak akan melakukan sesuatu yang tak ia suka.
Untuk menenangkan diri, aku pun berjalan ke dapur, mencoba memasak sayur yang kubeli kemarin. Namun, aku lupa jika bahan-bahan dapur ternyata sudah habis. "Mas Giora!" Aku berteriak memanggil nama suamiku, memintanya untuk membeli garam dan lada. Tetapi, meskipun sudah kupanggil berkali-kali, dia tetap tidak muncul. Aku mendengus kesal ketika tidak menemukan siapapun. "Mas!" Aku melirik kearah jam yang ada di dinding dan tersadar jika ini sudah terlalu sore. Ke mana laki-laki itu sebenarnya? Apa dia belum pulang juga dari pasar? Jangan bilang kalau jualannya belum laku. Siapa suruh hanya menjual ikan lele dan emas saja. Aku akhirnya memutuskan untuk datang ke pasar, karena kebetulan letak pasar dengan rumah kami memang hanya berjarak satu kilometer. Aku sangat terkejut kala menapakkan kakiku di pasar. Pasar yang biasanya tentram, sore itu terdengar sangat gaduh. Tak hanya itu, semoa orang tiba-tiba menatapku dan berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya, seolah menggosipi sesuatu. "Liat tuh, istrinya si tukang ikan akhirnya datang!" Teriak salah satu wanita berdaster coklat di seberangku. "Iya, mana bau amis yah, jangan dekat-dekat, ih!" Wanita lain menambahkan, dengan jemari sembari menutup hidungnya. Tersindir, aku lantas mencium bajuku untuk memastikan perkataan mereka. Namun, aku tak mencium bau amis sama sekali dari tubuhku, aku hanya mencium bau deterjen yang biasa kugunakan. "Apa maksud kalian berbicara seperti itu?" marahku dengan nada yang sedikit kesal kepada ibu-ibu yang ada di sana. Aku merasa jengah ketika melihat wajah mereka tak merasa bersalah sama sekali, padahal mereka baru saja berbicara hal yang buruk padaku. "Kenapa? Gak terima? Memang benar, kan? Suamimu itu penjual ikan, makanya kamu dan suamimu pasti bau amis!" "Hati-hati kalau bicara ya, Bu!" Aku benar-benar dibuat marah dengan hal ini. Hampir saja aku emosi dan membuat keributan di sini. Tetapi mengingat kalau di sini adalah sebuah pasar dan pastinya akan riuh, aku pun mengulurkan niatku. Setidaknya, aku masih waras sekarang untuk menahan emosi. Namun, tak ada satu menit aku menahan emosi, tiba-tiba seorang menghampiriku. "Lisa, itu suami kamu." "Kenapa dengan suamiku?" tanyaku dengan heran karena mereka tiba-tiba membicarakan suamiku. "Lebih baik kamu lihat sendiri sana." Jawaban dari orang tadi membuatku penasaran. Seketika, panik menguasai diriku, Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apakah pria itu melalukan kesalahan? Atau jangan-jangan dia membuat kerusuhan? Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan ke sana dan mencaritahu apa yang terjadi sebenarnya. Sampai matanya melihat kegaduhan yang jauh lebih besar dari ketika aku masuk ke pasar. Ternyata, Ibuku tengah berbicara di depan umum bersama dengan suamiku, membuat semua orang mengangkat kepalanya, mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku ikut penasaran dengan apa yang dikatakan oleh ibuku, namun karena keadaan yang amat tidak kondusif, aku pun tak mampu mendengar dengan jelas. Terpaksa, aku mendorong beberapa orang agar aku bisa maju. "Tinggalkan anakku, kamu itu tidak berguna sebagai suami! Karena kamu cuma bisa jualan ikan, kamu jadi gak bisa ngasih nafkah dengan benar!" Ketika aku sudah mulai maju, akhirnya aku mendengar ucapan ibu. Manikku seketika membulat, tak menyangka jika ibuku sendiri akan hadir, dan mempermalukan suamiku di depan semua orang. "Maaf, Ibu. Tapi, aku mencintai Lisa, jadi, aku tidak akan meninggalkan dia." "Cih, memangnya kamu bisa menghidupi Lisa?! Dia hidup dalam kesengsaraan gara-gara kamu,! "Bagaimanapun itu, aku sudah berjanji akan membahagiakan dia, Bu." Manikku mulai berlinang. Selama ini, Mas Giora jarang sekali mengungkapkan rasa cintanya melalui kata-kata. Oleh karena itu, pembelaan Mas Giora kepada ibuku jelas membuat hatiku tersentuh. "Tapi kamu tak berubah sama sekali sejak kamu menikah dengan Lisa, Giora! Lebih baik kamu ceraikan anakku, dia akan aku nikahkan dengan laki-laki kaya dan juga berduit!" Aku yang sudah tidak tahan ketika mendengar suamiku dihina sendiri oleh ibuku, akhirnya aku memutuskan untuk semakin maju ke depan, menerobos barikade warga yang penasaran dengan konflik kami. "Cukup, Bu. Jangan menghina suamiku seperti itu." ucapku perlahan. "Lisa! Kamu datang-datang malah membela laki-laki tidak berguna ini dibandingkan dengan ibumu sendiri! Kamu lupa? Aku yang sudah melahirkan kamu, dan mengurus kamu selama ini. Kok, kamu malah bela dia? Mau jadi anak durhaka?" kata ibuku yang kini mengarahkan pandangannya padaku. Aku bisa melihat, tatapan marah dan juga kecewa yang bercampur menjadi satu di matanya. Bahkan, banyak orang yang kini malah menatap iba kepada ibuku, membela ibuku yang sebelumnya berucap kasar pada suamiku. "Iya Lisa, benar kata ibumu. Lebih baik kamu tinggalkan saja suamimu yang tidak berguna itu." Aku melotot tajam ketika mendengar hal tersebut, lagian aku tidak mau berpisah dengan Mas Giora. Aku sangat mencintainya dan tidak mau berpisah dengan dirinya begitu saja. "Sudah, ini semua urusan aku, kalian juga gak berhak ikut menghina suamiku!" Aku akhirnya memberanikan diri, berteriak kepada "penonton" yang ada di pasar itu. Mata mereka masih tertuju pada kami, sembari sesekali berbisik ke orang di sebelahnya. Saat itu, emosi mulai menguasai diriku. Namun, tepat ketika aku ingin beranjang bangun, Mas Giora menyentuh tanganku dengan lembut, mencoba menenangkan diriku. Mengapa dirinya bisa begitu tenang? Apa dia tak merasa marah sama sekali? Padahal, hinaan tadi bahkan tak ditujukan untuk diriku, tapi untuk dirinya. "Sudah, Lisa, kamu jangan emosi. Apa yang mereka bilang tentang diriku memang benar adanya," ujar Giora. Tak mempedulikan ucapanku sebelumnya, tetap saja ada yang berkomentar. "Tuh kan, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan oleh suami tidak berguna kamu itu. Sudah lebih baik kamu tinggalkan dia sekarang." "Aku tidak akan meninggalkan Mas Giora." ucapku tegas ke semua orang, termasuk ibuku sendiri. Mencoba menguatkan diri, aku mengarahkan manikku ke arah suamiku yang hanya menatapku dengan sendu. Pria itu tersenyum kecil, merasa puas dan bahagia dengan jawabanku. Padahal, aku yakin, dalam hati dia tetap merasa takut kepada ibuku. "Kalau begitu maumu, awas saja. Jangan sampai dalam waktu dekat, kamu menangis-nangis di hadapan ibumu karena kemiskinan suamimu itu!" Ibuku mengatakan itu sebagai ancaman, lalu memutuskan untuk pergi begitu saja. "Maafkan ibuku yah, Mas." Mas Giora hanya mengangguk saja, sambil tersenyum tipis kearah ku. Apakah dia tak merasakan amarah sama sekali? Setelah semua ucapan Ibu, bahkan warga sekitar? Atau ... ia hanya berusaha menutupi emosinya agar aku juga tidak patah hati?Setelah acara pesta yang panjang, aku merasa lega dan sedikit lelah. Mas Giora menggenggam tanganku dengan lembut, mengajakku menuju kamar. Tidak ada kata-kata yang terucap antara kami, hanya tatapan penuh makna yang saling bertukar. Rasanya seperti dunia ini hanya milik kami berdua, jauh dari hiruk-pikuk pesta dan keramaian yang baru saja berlalu.Saat pintu kamar terbuka, mataku langsung tertuju pada sebuah kejutan. Bunga mawar merah muda, yang harum semerbak, terhampar dengan indah di atas ranjang. Kelopak-kelopak bunga itu tersebar rapi, memberi nuansa romantis yang begitu memukau. Aku terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang kulihat. Seluruh ruangan dipenuhi dengan cahaya lembut dari lampu kamar, menciptakan atmosfer yang begitu intim dan penuh kehangatan."Apa kamu yang menyiapkan ini semuanya?" tanyaku dengan nada tak percaya, mataku memandang ke arah Mas Giora yang berdiri di sampingku.Mas Giora hanya tersenyum tipis, mengangguk dengan penuh kepastian. "Tentu saja," jawab
Aku dan Mas Giora akhirnya memutuskan untuk berdansa. Musik mengalun lembut, mengisi ruang dengan suasana yang penuh kegembiraan. Rasa senang yang sudah lama tertahan akhirnya bisa terlepaskan. Nia sudah tertangkap, dan kini semuanya terasa lebih ringan."Kamu senang?" tanya Mas Giora, matanya menatapku dengan lembut, seolah ingin memastikan perasaanku."Iya, aku senang," jawabku, tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahku. Semua yang telah terjadi akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.Mas Giora menoleh sekilas ke arahku, matanya menunjukkan rasa puas yang sama. "Kamu lihat sekarang? Tomas dan Serin terlihat mesra," bisiknya, matanya tertuju pada pasangan yang sedang berdansa di seberang. Serin dan Tomas tampak begitu dekat, seakan semuanya menjadi lebih indah. Aku tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, akhirnya mereka bisa menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.Aku menoleh, melihat mereka berdua yang sedang tertawa dan menikmati momen itu. Ras
Aku terkejut saat melihat Serin datang mendekati kami dengan langkah cepat, matanya tajam menatap setiap orang di sekitar. Suasana jadi tegang seketika."Siapa dia?" tanya Raya, jelas kebingungannya.Sedangkan Nia, yang tadinya tenang, kini mematung. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Gak tahu dia siapa," jawab Ina, tampak sedikit ragu."Dia orang yang tadi bersama kamu kan?" tanya Yuna pelan, bisikannya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti.Aku hanya mengangguk, memberikan jawaban singkat. Memang, itu Serin. Wanita itu datang tepat pada waktunya, seperti tahu kapan harus muncul."Iya, dia temanku. Namanya Serin," kataku, menjelaskan kepada Yuna.Namun, suasana semakin aneh. Serin berdiri di sana, tak bergerak, menatap kami dengan tatapan yang sulit dibaca."Ayo cepat, Bu Nia. Buka isinya, kami penasaran," kata Raya, berusaha mencairkan suasana dengan ceria, meskipun ada ketegangan yang tak bisa dihi
Orang yang dihubungi oleh Ina akhirnya muncul. Dia adalah orang yang ahli dalam bidang perhiasan. Semua orang kini menatap kearah orang tersebut. "Selamat malam, Pak Ben.""Ada apa memanggilku?" tanya Ben pada Ina. "Sebenernya saya hanya ingin Pak Ben membuktikan sebuah kalung yang dipakai oleh Lisa. Itu kalung yang asli atau bukan," ujar Ina sambil menunjuk kearah kalung yang aku pakai. Raya langsung menatap kearah diriku dengan sinis. "Pasti itu adalah kalung yang palsu.""Boleh saya melihat kalung tersebut?" pintanya padaku dengan sopan. Pak Ben langsung menatap kearah diriku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kalung ini dan memperlihatkan pada mereka semuanya. Semoga kali ini akan percaya. "Ini kalungnya," kataku sambil memperlihatkan dengan seksama. Ina yang melihat itu pun tersenyum dengan puas. Dia terlihat senang karena aku tahu niatnya untuk mempermalukan diriku. "Sebentar lagi kamu tidak akan bisa sombong," kata Ina. "Iya, Lisa. Kamu pasti akan menangg
Acara pesta yang diselenggarakan oleh Perusahaan keluarga Mas Giora. Semuanya digelar di salah satu gedung yang mewah yang terletak di pusat ibukota. Aku sudah bersiap dengan gaun yang memang sudah di pesan oleh Mas Giora. Aku memakainya dengan seksama. "Kamu terlihat cantik sayang."Mas Giora malah memelukku dari belakang, membuat aku sedikit gugup sekarang. Terlebih deru nafasnya masih bisa aku rasakan. Sangat nikmat sekali dan aku menikmati semuanya dengan baik. "Mas, kok belum berangkat?" kataku pada Mas Giora. Kita sudah merencanakan semuanya. Jadi nanti Mas Giora akan berangkat lebih dulu, sedangkan aku akan menyusul nanti. "Rasanya tidak rela ketika meninggalkan istriku berangkat sendirian. Aku ingin bareng bersama dengan kamu saja.""Sudah Mas, jangan manja seperti itu, ayo kita masih punya misi," kataku pada Mas Giora. "Baiklah, aku memang masih punya misi.""Makanya, kamu berangkat duluan. Nanti aku bersama dengan Serin datang ke sana. Kamu bersama dengan Tomas," saran
Aku kembali ke kantor dan semuanya terasa sangat aneh. Karyawan yang ada di sini malah justru terlihat heboh sekali. Diam-diam aku mendengar percakapan mereka karena memang penasaran. "Pak Bos mengupload foto bersama dengan istrinya.""Iya, tetapi sayang gak bisa melihatnya.""Pasti istrinya sangat cantik."Aku mendengar percakapan heboh mereka, rupanya mereka tengah tengah membicarakan tentang Mas Giora. Aku seketika yang mendengarnya pun merasa sedikit penasaran. "Jangan-jangan benar lagi fakta itu, kalau Pak Andreas punya hubungan gelap dengan Bu Nia," ujar karyawan yang lainnya. "Maksud kamu, ini adalah Bu Nia," ujar karyawan yang suka bergosip. Aku kesal mendengarnya, sudah jelas kalau memang itu adalah aku. Tetapi aku tidak bisa mengungkap semuanya sekarang. Bisa jadi masalah kalau aku mengungkap semuanya. "Wah, aku dengar juga Pak Andreas pernah dipenjara karena kasus ini, tetapi dia bebas dan tidak terbukti bersalah.""Iya namanya juga orang kaya, sudah jelas kalau punya