Saat hari menjelang malam, barulah Mas Dewangga pulang. Aku masih diam memerhatikannya dari sudut mata, meski sebenarnya aku ingin sekali bertanya ke mana dia pergi tadi. Rasa ingin tahuku terbentur oleh rasa marah yang masih berkecamuk di dadaku.Hingga malam semakin larut, aku masih mendiamkannya. Mas Dewangga juga sepertinya tidak ada niatan untuk membujukku.Aku menghela napas panjang, merasakan kecewa merayap dalam diriku. Karena tidak ingin terlalu memikirkan hal ini, aku memutuskan untuk tidur bersama Abiyan yang sudah lebih dulu terlelap. Dengan lembut, aku menempatkannya di dekatku dan menarik selimut untuk menutupi tubuh kecilnya.Baru saja sedetik berbaring, Mas Dewangga masuk ke kamar. Aku menatapnya sekilas, tetapi aku buru-buru memalingkan wajah, berusaha mengabaikan keberadaannya."Sayang," panggilnya dengan suara yang lembut dan menenangkan, "saat hari kampanye calon presiden, mungkin aku akan pulang agak malam. Aku mau jadi tukang parkir di alun-alun. Akan ada banyak
Aku menatap Mas Dewangga dengan kening berkerut, masih tak percaya. "Jadi ... kamu benar-benar berbohong selama ini? Kamu sebenarnya mafia?" Suaraku bergetar, campuran marah dan takut menghiasi setiap kata.Dunia seakan berhenti sejenak. Aku ingin bicara, tetapi bibirku seakan terkunci. Hatiku bergetar, dingin menjalar ke seluruh tubuh. Apa selama ini aku hidup dengan seorang penjahat? Namun, Mas Dewangga tiba-tiba mengubah nada bicaranya. "Ya, aku mafia ... mafia hatimu!" serunya sambil membentuk tanda hati dengan kedua tangannya. Senyumnya melebar tanpa beban.Aku tersentak, bingung sejenak. Namun, rasa kesal segera menyeruak. "Kamu bercanda? Kenapa main-main soal ini?" Aku memukul dada bidang Mas Dewangga dengan tangan yang gemetar. Namun, pukulanku lemah, tak ada tenaga di balik emosiku yang tertahan. "Kenapa kamu mempermainkanku seperti ini?" Suaraku hampir pecah, air mata mulai menggenang.Mas Dewangga tersadar aku benar-benar terluka. Dia mendekat, mencoba memelukku. "Maa
Calon presiden itu hanya tertawa kecil, seolah-olah apa yang dikatakan oleh bapak-bapak tadi hanyalah lelucon. Kemudian calon presiden itu merangkul Mas Dewangga dengan penuh percaya diri."Kita tidak boleh menghakimi tanpa tahu cerita lengkapnya. Mantan narapidana pun tetap manusia yang punya masa depan," ucapnya dengan nada tenang, penuh karisma.Warga yang mendengar respon itu ada yang terlihat kecewa karena merasa tidak mendapat tanggapan sesuai ekspektasi, sementara sebagian yang lain mengangguk pelan, mungkin setuju dengan kata-kata bijak calon presiden itu.Aku mengamati semuanya dengan hati yang campur aduk. Sebagian dari diriku merasa lega, tetapi rasa khawatir masih menggantung. Namun, apa yang dikatakan calon presiden selanjutnya membuatku benar-benar tercengang."Saya permisi dulu, Pak Dewangga. Saya mau melanjutkan perjalanan," katanya sembari menepuk lengan suamiku sebelum beranjak pergi.Aku terpaku. Bagaimana bisa seorang calon presiden tahu nama suamiku? Jantungku ber
Di tengah-tengah ramainya pembeli, aku melihat sosok yang sangat kukenali. Perasan gelisah mulai merayap dalam diriku saat sosok itu mendekati stan kami.Melihat senyumnya saja sudah membuatku ingin lari dari sini. Namun, aku harus tetap bersikap profesional."Semoga dia tidak ke sini," batinku penuh harap.Akan tetapi, harapanku harus pupus ketika Kak Dirfan benar-benar mendatangi stan kami dan menyapaku. "Hai, Zoya," sapanya dengan senyuman yang lebar dan tangannya melambai ke arahku.Senyuman itu masih sama, senyuman yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku terpaksa membalas dengan senyum yang dipaksakan, sambil tetap fokus melayani pembeli lain."Dewangga pasti bangga punya istri yang mandiri seperti kamu," ujarnya, seolah ingin memulai percakapan santai. "Sayang sekali dia tidak bisa membantu di sini hari ini. Sibuk sekali sepertinya?"Aku bisa merasakan nada sindiran dalam ucapannya, tetapi aku tetap berusaha tenang. "Mas Dewangga sedang sibuk di parkiran," jawabku, mencoba ter
Setelah tiba di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan berbaring di sana. Abiyan yang sudah sangat mengantuk, tertidur dalam hitungan detik. Namun, aku? Rasanya tidak bisa memejamkan mata begitu saja. Pikiranku melayang pada kejadian tadi. Kejadian di mana Mas Dewangga menaiki mobil mewah, entah untuk pergi ke mana. Tubuhku lelah, tetapi kepalaku penuh dengan beragam dugaan. Aku berusaha memaksa mata ini untuk terpejam, meski sia-sia. Beberapa menit kemudian, suara pintu depan yang terbuka membuyarkan konsentrasiku.Aku menahan napas."Itu pasti Mas Dewangga," pikirku, perasaanku bercampur aduk antara penasaran dan curiga. Namun, aku memilih pura-pura tidur, menunggu dia datang tanpa menyambutnya.Suara langkah kakinya semakin mendekat, lalu berhenti sejenak. Aku mendengar dia melepaskan jaket, mungkin dengan gerakan santai yang biasa dia lakukan. Sejurus kemudian, aroma khas parfumnya yang segar dan sedikit hangat menguar di udara, memenuhi indra penciumanku. Aku mengenal aroma i
"Selamat pagi, Bu Zoya," sapa pria berjas hitam itu dengan senyum ramah.Sejenak aku terdiam, menatap pria itu dengan alis mengernyit. Bagaimana bisa dia tahu namaku? Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kebetulan tengah memelototi pria berjas itu, seakan mengancamnya untuk segera bungkam. Saat pria itu menyadari tatapan Mas Dewangga, dia langsung tertegun, lalu buru-buru menunduk, menghindari tatapan suamiku."Mas, kamu tidak mau menjelaskan apa pun padaku sekarang?" tanyaku dengan suara bergetar, menuntut penjelasan. Tak ada lagi alasan atau pengelakan untuknya.Mas Dewangga mengembuskan napas panjang, dan wajahnya berubah tegang seiring tangannya mengusap wajah. "Masuk dulu ke mobil, nanti aku jelaskan," jawabnya singkat, nadanya terdengar seperti permintaan dan perintah sekaligus. Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dan segera masuk.Di dalam mobil, pria berjas itu duduk di depan, di sebelah sopir yang membuat tubuhku semakin kaku. Aku mengingat wajah sopir itu dengan jelas.
Setelah beberapa saat di perjalanan yang membuatku tak sabar, akhirnya kami tiba di sebuah hotel yang Mas Dewangga maksud. Bangunannya yang menjulang tinggi dengan eksterior kaca yang berkilauan memantulkan sinar matahari pagi, tampak sangat mewah dan elegan. Begitu memasuki lobi, aku langsung terpukau. Interior hotel ini dihiasi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan dan lantai marmer yang seolah memantulkan setiap langkah kami. Ini pertama kalinya aku masuk ke hotel semegah ini.Alvin segera melangkah lebih dulu untuk menghampiri resepsionis, sementara aku dan Mas Dewangga berdiri tak jauh di belakangnya. Aku masih mengagumi segala kemewahan di sekitarku, dan tak sadar mengucap pertanyaan yang sedari tadi menggelitik pikiranku."Mas, apa setiap hari kamu datang ke sini?" tanyaku, mataku masih terpaku pada dinding-dinding yang dihiasi lukisan abstrak berwarna emas dan putih.Mas Dewangga menoleh padaku dan tersenyum tipis, lalu merangkul bahuku dengan hangat. "Tidak setiap
"Mas, bagaimana kalau kita berikan saja pada Ibu?" usulku pada Mas Dewangga. Dengan begitu, Ibu pasti akan berhenti berusaha mendekatkanku dengan Kak Dirfan."Ide yang bagus, tapi nanti saja. Aku masih ingin bermain-main dengan tikus itu," jawab Mas Dewangga santai, dengan senyum yang penuh arti. Aku bisa merasakan kalau suamiku merencanakan sesuatu. Apa pun itu, aku akan mendukungnya.Saat pintu lift terbuka, kami segera melangkah keluar dan menuju mobil yang ternyata masih setia menunggu kedatangan kami.Begitu kami masuk ke dalam, mobil pun segera melaju, membawa aku dan Mas Dewangga pulang.Kami turun di pinggir jalan, di tempat yang sama saat mobil itu menjemput Mas Dewangga tadi pagi. Setelahnya, kami berjalan beriringan menuju rumah dan saling menautkan jemari. Selama perjalanan, pikiranku terbang pada keluarga besar Mas Dewangga.Meski ini hanya prasangkaku, tetapi tetap saja aku merasa takut kalau-kalau keluarga besar Mas Dewangga tidak menyetujui hubungan kami."Sayang, kamu
Pagi itu, setelah selesai sarapan, Mas Dewangga mengantarku ke toko kue. Sepanjang jalan, dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati, bahkan dia sampai turun dari mobil dan mengantarkanku ke depan toko."Kalau ada apa-apa, langsung kabari," pesannya lagi.Aku mengangguk. "Iya, Mas. Aku akan baik-baik saja. Fokus jaga saham perusahaan, ya."Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memelukku dan berjalan kembali ke mobil. Begitu mobilnya menjauh, aku menarik napas panjang dan membuka pintu toko."Naraaa," panggilku pelan.Suara langkah cepat mendekat, lalu muncullah Nara dengan celemek bermotif stroberi tergantung di pinggang."Bu Zoya!" serunya ceria sambil memelukku. "Bu Zoya, saya rindu!"Aku tertawa pelan. "Aku juga rindu kalian." Nara melepaskan pelukannya dan berkata, "Bu Zoya jangan bekerja sampai kelelahan. Ibu cukup diam dan memantau saja, oke?"Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Nara. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang berat.""Bagus! Saya sudah diberi tahu oleh Pak Dewangg
"Baiklah. Jadi ...." Mas Dewangga menarik napas. "Aku dan Pak Arwin sepakat untuk membiarkan Alex terus berjalan dengan rencananya. Kita pura-pura tidak tahu apa-apa."Aku mengernyit. "Maksudnya ... kamu akan membiarkan dia terus merusak reputasimu, Mas?""Bukan 'membiarkan', tapi mengarahkan. Kita berencana memberikan informasi yang sudah disiapkan, tentunya itu data palsu. Kalau dia terus memakan umpan itu, kita bisa tahu siapa yang bekerja sama dengan dia, dan ke mana arah penyebaran infonya," jelas suamiku panjang lebar.Aku mengangguk pelan, mulai menangkap alurnya. "Jadi kamu akan membuat jebakan informasi?""Iya," jawabnya singkat. "Dan bagian IT akan melacak pergerakan file itu. Sekali dia membuka atau mentransfer file tersebut, alamat IP dan perangkatnya bisa kita identifikasi. Bahkan kalau dia hapus, kita tetap punya log-nya."Aku terdiam sejenak. Otakku mencerna rencana suamiku yang ternyata sudah cukup matang."Lalu, kamu mau tangkap dia langsung?" tanyaku hati-hati."Kala
"Eh, Mas. K-kamu belum tidur?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin agar suamiku tak curiga jika aku sedikit menguping pembicaraannya barusan."Belum. Tadi aku menerima telepon dulu." Mas Dewangga berjalan mendekat ke arahku dan memelukku, kemudian berkata, "Ayo kita tidur. Sudah larut malam."Aku mengangguk dan kami berdua berjalan menuju ranjang. Setelah berbaring di sana, aku segera menutup mata. Pikiranku segera melayang ke percakapan Mas Dewangga di telepon tadi.Aku ingin bertanya, tetapi aku tidak ingin membuat Mas Dewangga lebih terbebani. Jadi, aku putuskan untuk bertanya nanti saat suasananya sudah membaik.***Esok paginya, aku terbangun dan mendapati sisi ranjang di sebelahku kosong. Aku celingukan memandangi setiap sudut kamar, berharap sosok Mas Dewangga muncul dari balik pintu kamar mandi atau dari balik lemari. Namun, tidak ada siapa-siapa. Hening. Bahkan terlalu hening untuk ukuran pagi.Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mem
"Zoya, ada apa?" tanya Mas Dewangga di sampingku tiba-tiba.Suara suamiku membuatku sedikit tersentak. Aku menelan ludah sebelum mengangkat telunjuk, menunjuk ke arah trotoar di luar jendela mobil. "Mas, lihat itu ..." bisikku.Mas Dewangga mengikuti arah telunjukku, lalu tiba-tiba tubuhnya menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya berubah tajam. Aku melihat bagaimana jemarinya mengepal, seolah menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya."Berhenti di sini," perintahnya tegas pada sopir. Mobil melambat, lalu berhenti di tepi jalan tak jauh dari tempat sosok itu berdiri.Alex.Pria itu tampak seperti sedang menunggu seseorang. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya, pandangannya sesekali beralih ke kanan dan kiri, seperti memastikan keadaan sekitar.Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kini sudah mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat, suamiku menekan nomor dan menempelkan ponsel ke telinganya."Aku butuh kau ke sini sekarang," ucapnya dengan nada dingin. "Aku kirim l
Mas Dewangga mulai menceritakan masalahnya, sementara aku mendengarkan dengan saksama, jemariku mengelus punggung tangannya dengan lembut. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa Mas Dewangga sembunyikan, seolah kata-kata yang hendak diucapkannya begitu berat. Sesekali dia menarik napas dalam, seakan berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan.Aku tetap diam, membiarkan suamiku mengungkapkan semua yang selama ini membebani pikirannya. Dari ekspresi wajahnya, dari perubahan nada suaranya, aku bisa merasakan beban yang dia pikul. Ini bukan sekadar masalah bisnis biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih menusuk."Aku curiga ada seseorang yang sengaja ingin menjatuhkan aku," ucapnya pelan, tetapi ada nada tegas di sana. "Bukan hanya ingin menggagalkan proyekku, tapi benar-benar ingin menghancurkan semuanya."Mendengar hal itu, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat."Maksud Mas?" tanyaku pelan, berusaha memastikan aku tidak salah mendengar.Mas Dewangga menatap lu
Mas Dewangga pergi tanpa menjelaskan apa pun, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dengan perasaan khawatir, kesal, sekaligus sedih. Aku memutuskan untuk beristirahat di sana sambil menunggu suamiku yang entah kapan dia akan pulang.***Aku duduk termenung di atas ranjang sambil memeluk lutut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Mas Dewangga belum juga pulang. Pikiranku kalut memikirkan ke mana dia pergi sore tadi tanpa memberi penjelasan apa pun. Berbagai skenario buruk berkecamuk dalam benakku, tetapi aku mencoba menepis semuanya."Aku harus tenang," gumamku pada diri sendiri, meski dalam hati aku tahu itu mustahil.Jam sebelas lewat, suara pintu kamar terbuka, menampilkan sosok suamiku yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Aku segera bangkit dari ranjang, tak sabar untuk menuntut penjelasan.Aku bisa melihat wajah suamiku yang terlihat lelah. Dia bahkan tak sempat melepas jasnya ketika matanya bertemu dengan tatapanku y
"Bu Zoya?" tanya pria itu sambil tersenyum tipis. "Kenapa berhenti di sini? Ada masalah?"Aku ragu sejenak, lalu menjawab, "Mobilnya mogok, Pak Alex."Dia turun dari mobilnya, menghampiriku dengan langkah santai. "Butuh bantuan? Saya bisa antar," tawarnya.Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu. Sopir sudah pesan ojek online."Alex memasukkan tangannya ke saku celana, tampak tidak terganggu oleh penolakanku. "Kalau begitu, saya temani saja sampai ojeknya datang. Bahaya kalau berdiam diri di pinggir jalan begini."Aku hanya tersenyum kaku. Tidak tahu harus berkata apa, aku memilih menatap jalan raya, berharap ojekku segera tiba."Ngomong-ngomong," Alex memecah keheningan. "Dewangga suami Anda, ya?""Iya," jawabku singkat tanpa menoleh padanya."Saya baru tahu jika Dewangga ternyata sudah menikah. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya," kata Alex.Aku hanya mengangguk, bingung mau merespons apa."Kalian baik-baik saja, kan?" tanya Alex lagi.Kali ini aku menoleh padanya sambil mengerutkan
Aku membuka mata perlahan, disambut oleh suasana kamar yang sudah gelap. Hanya sedikit cahaya remang dari lampu dinding yang menemani, dan itu membuatku tersadar bahwa hari sudah malam.Kugeser selimut yang menutupi tubuhku dan mendudukkan diri di pinggir ranjang. Pandanganku menyapu seluruh sudut kamar, mencari sosok suamiku. Namun, yang kutemukan hanyalah keheningan dan kekosongan."Mas Dewangga ke mana?" gumamku lirih sambil berdiri.Perutku mulai terasa kosong. Aku memutuskan untuk turun ke ruang makan. Langkahku pelan menuruni tangga, sementara rumah terasa sepi. Mungkin ayah dan ibu sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.Saat aku melewati ruang tamu, seorang pelayan menyapaku dengan ramah. Tak lama kemudian, salah satu pelayan tampak muncul dari dapur dan memintaku untuk duduk di meja makan."Nyonya, Nyonya Besar meminta saya untuk menyiapkan makan malam untuk Anda. Kebetulan hari ini Nyonya Besar sedang ada urusan, jadi saya yang akan menyiapkannya," katanya ramah sebelum kemba
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban