“Makasih ya, kamu udah berdamai dengan dirimu sendiri. Aku harap kedepannya kamu nggak usah lagi ngrepotin Bapak. Kasihan, udah tua bukannya punya anak berbakti. Malah bikin malu keluarga,” oceh Swasti saat Kahiyang baru selangkah keluar dari rumah.
Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, serta mengulas senyum penuh kemenangan Swasti mengantar kepergian adik bungsunya.
“Apa kamu senang udah menghancurkan hidupku?” tanya Kahiyang. “Sebenarnya aku salah apa sih sama kamu, Swasti? Kok kamu tega sampe fitnah aku sekejam ini?”
Kahiyang bersusah payah menahan bulir-bulir yang sudah bergumul di pelupuk matanya. Tidak ingin terlihat lemah dimata saudaranya yang sudah menghancurkan impiannya.
Swasti memutar bola matanya malas. Lagi-lagi Kahiyang membahas perdebatan mereka semalam. Tuduhan yang sudah dibantah olehnya, nyatanya Kahiyang masih saja bersikeras menuduhnya. Membuatnya semakin geram.
“Udah-udah. Nggak usah nambah masalah dengan bikin keributan lagi. Kamu itu cuma nambah beban keluarga ini tahu. Bapak dari tadi nggak keluar kamar karena sakit, itu gara-gara ulahmu. Mending kamu cepet pergi!” usir Swasti pada adiknya seraya mengibaskan tangannya. Menyuruhnya menjauh seakan Kahiyang adalah seorang pengemis yang meminta sedekah.
“Kamu yang udah fitnah aku, maling kok teriak maling,” gerutu Swasti sembari masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya rapat. Tapi sedetik kemudian Swasti membuka pintu kembali.
“Oh ya, sebelum kamu pergi aku mau bilang makasih. Terima kasih udah kasih Andra buat aku. Lagian, Andra yang seorang General Manager itu nggak cocok sama kamu yang cuma guru honorer. Lebih cocok sama aku yang seorang perawat. Dari gelar nama aja kita udah beda jauh,” imbuhnya dengan dibarengi tawa.
Air mata yang sudah payah Kahiyang tahan, kini tumpah. Pertahanannya goyah karena kata-kata tajam yang dilontarkan Swasti. Tubuhnya jatuh di atas lantai, tangannya memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Dunianya benar-benar terjungkir hanya dalam waktu satu malam.
Kahiyang bangkit, dia menyeka jejak air matanya. Kemudian memantapkan hatinya untuk meninggalkan tempat yang selama 28 tahun itu disebut rumah. Dia menatap bangunan dengan warna dominan putih tersebut. Mengulang setiap cerita indah yang tercipta di dalamnya sebelum menarik napas berat. “Aku akan buktikan sama Bapak, kalau aku nggak bersalah. Dan suatu hari, aku akan kembali dan membersihkan namaku,” janji Kahiyang pada dirinya sendiri.
Sekarang, gadis dengan perawakan tinggi itu mantap meninggalkan rumah orang tuanya dengan dua koper dan satu tas besar yang berisi barang-barangnya. Dia hanya membawa barang-barang yang menurutnya penting. Jangan tanyakan pria yang kemarin sudah menikahinya. Pria itu tak nampak batang hidungnya sejak pagi.
“Mana suamimu? Kok kamu bawa barang-barangmu sendiri?” tanya Andra sembari mencari sosok yang bernama Benua. Pertanyaannya bukan karena peduli, melainkan sebuah ejekan yang bermaksud membuat mental Kahiyang hancur.
Kahiyang menatap pria yang berdiri di hadapannya tersebut. Pria yang sangat dia kagumi hingga kemarin. Kemudian tersenyum miring, dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Senang karena dia tahu wajah asli pria itu, atau sedih karena ucapan yang dilontarkannya sangat menusuk bak jarum.
“Aku bisa bawa sendiri, kenapa harus orang lain yang membawa barang-barangku?” ucap Kahiyang tenang. Dia sudah berdamai dengan hatinya sendiri. Rasa cinta dan kagum yang dilimpahkan pada Andra kini habis sudah tersapu ombak pengkhianatan yang dilakukan pria itu.
“Cih! Ya, itulah dirimu! Sombong dan angkuh. Kamu bersikap seperti wanita suci di depanku, tapi nyatanya kamu nggak jauh beda dari wanita pinggir jalan yang menjajakan—”
“plak!”
Tanpa pikir panjang Kahiyang mendaratkan telapak tangannya pada pipi Andra. Membuat pria itu mengusap-usap pipinya yang terasa panas. Ini adalah pertama kali baginya, bersikap sangat emosional pada seseorang.
“Apa bedanya dengan kamu?” tanya Kahiyang. “Aku masih ingat, selama tiga tahun kita pacaran kamu selalu membujukku untuk tidur denganmu. Bukanya kamu sama aja, dengan wanita yang kamu maksud itu? Atau, jangan-jangan kamu juga sering beli dagangan salah satu dari mereka?” balas Kahiyang dengan cibiran yang dilontarkan Andra.
Merasa tidak terima dengan penghinaan yang diucapkan Kahiyang, Andra naik pitam. Matanya merah menyala, menyiratkan sebuah emosi. “Dasar wanita sialan—”
Andra tersungkur jatuh ke tanah. Tangannya melayang di udara hendak balas menampar Kahiyang. Tapi Benua datang dan mendorong tubuhnya hingga terjatuh. Yang tentu saja semakin memancing amarahnya. Antara sakit dan malu, Andra kembali berteriak, “Dasar sialan!”
“Hobimu teriak-teriak, ya?” ledek Benua. “Laki-laki kok mukul wanita sih? Nggak malu ya?” ejeknya kemudian. Tak lupa pula dengan dibarengi dengan sebuah tawa, yang semakin membuat Andra marah. Otot wajahnya menegang, yang dibarengi dengan giginya yang mengencang hingga menimbulkan bunyi gemlutuk.
Andra bangkit. “Bukan urusanmu, tapi urusanku dengan—”
Benua menyembunyikan Kahiyang dibelakangnya, kemudian menahan Andra yang hendak memukul Kahiyang, lalu mendorongnya hingga mundur beberapa langkah.
Benu ikut maju beberapa langkah, mendekat ke wajah Andra kemudian berbisik, “Langkahi dulu aku kalau mau pukul Kahiyang. Kamu tahu kan kalau dia sudah jadi istriku.”
Andra menjauhkan wajahnya dari Benua. Melihat tubuh Benua yang tegap dan penuh otot, membuat nyalinya menciut. Amarah yang awalnya berapi-api, sekarang padam seketika. Berdehem sembari merapikan bajunya, Andra melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
***
“Mau kemana?” tanya Benua pada Kahiyang. Mereka berdua sudah keluar dari rumah kemana Burhan Wijaya. Kahiyang menyeret dua kopernya menjauh dari bangunan itu, dan diikuti oleh Benua.
“Bukan urusanmu!” balas Kahiyang ketus. Dia tidak berharap Benua berperan sebagai suaminya dan bertanggung jawab dengan hidupnya. Karena baginya, Benua hanya orang asing yang tidak sengaja terlibat dengannya dan ikut terseret masalah. Dia bahkan menolak saat Benua ingin membantunya membawa koper.
Kahiyang berhenti mendadak, membuat Benua menaikkan satu alisnya tidak mengerti. Gadis itu kemudian berbalik. “Ok. Kita perjelas. Kita nggak ada hubungan apapun, dan karena kita udah keluar dari rumah, kamu bisa pergi kembali ke asalmu. Dan aku minta maaf karena sudah membuatmu terlibat masalahku. Sekarang kita berpisah disini.”
Sebuah mobil berjenis MPV berhenti, itu adalah mobil yang dipesan Kahiyang. Setelah memasukkan barang-barangnya ke mobil, dia berpamitan sekali lagi pada Benua sebelum dia menutup pintu mobilnya.
Benua—pria itu hanya menatap mobil yang ditumpangi Kahiyang menjauh. Tanpa sadar, sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dan seorang pria berjas setengah berlari menghampirinya. “Tuan, saya ditugaskan untuk menjemput anda.”
Kahiyang merasa seperti orang bodoh pada saat ini. Tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Dia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Berharap jika emosinya tidak meluap dan meledak.“Kamu lihat ‘kan tumpukan uang itu?” ucap prianitu seraya menunjuk tumpukan uang di atas meja. “Semua itu akan jadi milikmu kalau kamu bisa buat kami puas dengan pelajaranmu.”Lagi, Kahiyang mengepalkan tangannya. Kesabarannya sudah berada di ambang batas. Ditambah ocehan-ocehan para pria itu bagai bensin yang disiram ke bara api di hatinya, dan berhasil membakar amarahnya.“Aku juga penasaran bagaimana kamu bisa membuat Benua bertekuk lutut di bawah kakimu sampai dia tega nggak berbagi dengan kami.”Deg!Ucapan pria itu seperti pisau tajam yang tiba-tiba menusuk jantung Kahiyang. Otaknya membeku sesaat. Benua? Bagaimana mereka mengenal Benua? Apa hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam otaknya.“Maaf, kalau begitu aku mengundurkan diri saja. Lagi pula kita belum membuat kesepakat
Apa dia begitu bahagia sudah menikah dengan calon suamiku? Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Meskipun bibirnya tak berucap, namun gerakan mata dan gestur tubuhnya seolah mengatakan jika Swasti tengah berbohong.“Buat apa aku bohong sama kamu? Apa perlu aku sampai melakukan sandiwara menyedihkan seperti itu?” tukas Swasti dengan nada sedikit tinggi. Egonya sedikit tersentil karena Kahiyang tidak terprovokasi dengan semua yang dipamerkan padanya.“Apa ada aku bilang kalau kamu sedang bohong? Aku juga nggak bilang kamu lagi bersandiwara. Mau Andra belikan kamu pesawat jet atau apapun itu, kamu pikir aku akan peduli?” sarkas Kahiyang yang memicu amarah Swasti.Netra Swasti menatap tajam ke arah Kahiyang. Tangannya mengepal, terdengar juga napas yang membu serta rahangnya menegang. Sepertinya dia tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Kahiyang.Swasti menyilangkan kedua tangannya di depan dada bersikap angkuh. Tapi sekali lagi, Kahiyang tidak terpancing dengan se
“Aku tahu kalau Swasti membencimu, tapi aku bener-bener nggak nyangka kalau dia tega berbuat seperti itu sama kamu,” tukas Laras membuyarkan lamunan Kahiyang.Benar, Kahiyang sendiri tidak pernah menyangka kalau Swasti tega padanya. Entah apa yang memicu keberanian itu di pikiran Swasti. “Seyakin apapun perasaanku, aku nggak punya bukti buat meyakinkan orang tuaku kalau aku benar-benar tidak melakukan hal itu,” sesal Kahiyang.Dia tertunduk, memainkan ibu jarinya seperti anak kecil yang putus asa. Tapi itulah yang sedang dia rasakan saat ini. Media sosialnya dibanjiri komentar-komentar yang tidak enak dibaca. Entah darimana mereka tahu berita tersebut. Apalagi tetangga sekitar rumahnya, kabarnya Kahiyang masih saja menjadi bahan gunjingan. Dan satu lagi, kedua orang tuanya tidak percaya padanya dan bahkan mengusirnya dari rumah.Jika dipikirkan, hati Kahiyang teramatlah hancur. Dia harus menanggung kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. “Tapi aku yakin, pasti ada bukti kalau
Kahiyang tertegun sesaat, saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Benua. Mereka berdua saling beradu pandang. Suasana hening, hanya menyisakan denting jarum jam yang berpindah setiap detiknya.Keheningan yang intim itu hilang seketika saat Kahiyang tertawa. Membuat Benua mengerutkan keningnya heran. Tidak ada hal yang lucu tapi Kahiyang tertawa bahkan hampir terbahak.“Apa ada alasan buat aku balikan sama dia?” Kahiyang membalikkan pertanyaan. Kata-kata hinaan yang kemarin diucapkannya aja masih berputar di otaknya sampai sekarang.Mendengar jawaban Kahiyang, sudut bibir Benua tertarik ke belakang meski samar. Seolah ada guyuran hujan yang menimpa kepalanya.“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Benua untuk mengalihkan pembicaraan. Dia sudah cukup puas mendengar jawaban Kahiyang.Sejenak, Kahiyang nampak diam seolah tengah berpikir. Fokusnya saat ini adalah melanjutkan hidup. Dia ingin kembali bekerja seperti dulu. Tidak mungkin baginya hanya berdiam diri saja di kamar tanpa
Swasti sempat tertegun sesaat untuk mencerna ucapan Andra. Tentu saja dia punya uang sendiri karena Swasti bekerja. Tapi yang Swasti maksud adalah uang dari suami untuk istrinya. Semacam nafkah dalam pernikahan. Bukankah dia juga berhak atas hal itu? Karena secara hukum, dia adalah istri sah Andra.“Maksudku uang istri,” jawab Swasti sedikit ragu.Andra menoleh seraya memicingkan matanya. Menatap manik hitam penuh harap yang tergambar jelas di wajahnya. Tapi secepat kilat dia memalingkan wajahnya seraya berdengus kesal.“Kamu tahu nggak kalau gaji juga ada tanggalnya. Belum juga satu bulan udah minta uang istri. Kalau kamu mau perawatan pakai uangmu dulu lah. Ngapain minta-minta uang ke aku,” ujar Andra ketus.Meski sempat terkejut dengan jawaban suaminya, Swasti berusaha bicara dengan tenang meski sebenarnya ingin marah. “Tapi besok kamu ganti, ‘kan?” tanya Swasti.Swasti memeluk lengan Andra dengan manja, seolah dia adalah istri yang paling dicintai oleh Andra. Swasti juga berharap
Kata-kata Mira berhasil menusuk jantung Kahiyang ke bagian yang terdalam. Kahiyang merasa kecewa, dia merasa tidak pernah memenuhi harapan ibunya. Padahal seingat dia, Kahiyang yang selalu memenuhi kebutuhan rumah hingga bulan yang lalu. Dan sekarang, dia merasa seperti seorang pengemis.Kahiyang menunduk, menatap makanan dipiringnya. Baru juga sesuap dia makan, tapi sudah mendapat penghinaan bertubi. Tiba-tiba saja Benua menarik tangannya. “Apa Ibu selalu bersikap seperti ini sama Kahiyang? Menganggapnya seperti beban di keluarga ini. Kalau Ibu anggap Kahiyang sebagai beban, kami pamit. Maaf sudah merepotkan.”Kahiyang menatap Benua heran, saat pria itu mengajaknya pergi dari rumah orang tuanya. Dia bagai perisai yang melindunginya, seolah pria itu tidak terima dengan perlakuan ibu mertuanya.“Ck!ck!ck! Kamu tersinggung sama omongan Ibu? Tapi itu kenyataan. Kalau kamu tersinggung, ya sudah. Ibu juga nggak akan paksa kamu buat tetap tinggal,” balas Mira dengan perasaan kesal.Kahiyan