Share

Bab.4 Aku Pamit

Author: Ice_Cupse
last update Last Updated: 2025-05-21 22:21:57

“Lihat, inilah kesenjangan di antara kita. Aku sibuk kemas baju buat pergi liburan, tapi lihat wanita menjijikan ini. Dia mengemas pakaiannya karena diusir,” ejek Andra yang disertai dengan tawa pada Kahiyang.

Pria itu berdiri diambang pintu kamar Kahiyang, untuk menghinanya setelah mendapat cerita kalau mantan calon istrinya baru saja diusir oleh ayah mertuanya. Keputusan yang cukup membuatnya merasa puas.

“Sebenci itu kamu sama aku, Ndra? Sampai kamu nggak ada henti-hentinya hina aku dari tadi. Kamu bahkan nggak mau dengar penjelasanku tapi terus-terusan mengejekku,” dengus Kahiyang pada Andra.

“Emang kamu wanita hina, pelacur! Buat apa aku dengerin penjelasanmu? Kamu hanya akan beralasan aja dan nyalahin Swasti,” balas Andra dengan nada sinis. 

Kahiyang hanya diam saja mendengar hinaan dari pria yang pernah dicintainya sepenuh hidupnya. Jika dulu kalimat pujian manis yang keluar dari mulut pria itu, tidak untuk sekarang. Kata-katanya selalu berisi cibiran dan hinaan yang ditujukan padanya.

Beberapa saat yang lalu, Kahiyang mencoba kembali membujuk ayahnya untuk memberikannya kesempatan dan menebus kesalahannya. Meskipun dia tahu jika Burhan adalah orang yang sangat tegas dan tidak mudah untuk dibujuk. Kahiyang juga memohon pada Mira untuk membantunya, namun wanita paruh baya itu menolak dengan tegas. Mengatakan jika dia sudah sangat kecewa pada Kahiyang.

Kahiyang tertawa miring, kembali mengasihani dirinya sendiri. Saat dia terpuruk seperti ini, ibunya bahkan tidak berpihak padanya. Dia bahkan ikut membenci dirinya karena percaya pada fitnah yang direncanakan untuknya.

Kecewa? Ya, tentu saja. Tapi, bisa apa dia? dia sadar jika dia sudah sangat sering mendapatkan perlakuan seperti itu. Selalu mengalah dan menjadi pelaku. 

“Kalau emang kamu sebenci itu, ngapain kamu selalu ganggu aku? Pergi kamu dari sini!” usir Kahiyang tanpa menoleh sedikitpun ke arah Andra. Tatapannya kosong, seakan sudah tidak memiliki gairah hidup. 

“Cih! Sombong banget. Padahal aku tahu kalau kamu—”

Benua tiba-tiba menutup pintu kamar dan menguncinya tanpa permisi. Dari dalam kamar, terdengar teriakan Andra yang memaki mereka berdua. Tapi, baik Benua maupun Kahiyang tidak mengindahkan teriakan tersebut.

Kahiyang memeluk lututnya, menyembunyikan wajah pada lututnya dan menutupinya dengan kedua tangannya, lalu menangis. Benua yang melihat itu, merasa bingung, dengan cara apa dia harus menenangkan wanita itu. Akhirnya, dia memutuskan mendekat dan mengusap punggung Kahiyang lembut.

“Aku harus kemana?” tanyanya. Kahiyang mendongak, menatap Benua dengan pipi yang basah oleh air matanya. Dia tidak tahu harus mengeluh pada siapa. Dia tidak memiliki teman dekat. Yang dia lakukan sebelumnya hanya bekerja dan bekerja, dia mulai membatasi diri dari rekan kerjanya semenjak berhubungan dengan Andra. 

“Aku nggak punya teman dekat. Selama ini aku selalu bergantung pada Andra, dan selalu menganggap aku nggak butuh siapapun selain Andra,” lirih Kahiyang menyesali kebodohannya. Dia kembali menangis.

Benua merasa iba pada wanita yang baru ditemuinya. Melihat bagaimana dia diperlakukan oleh saudara dan calon suaminya, membuatnya merasa kasihan. “Udahlah, nasi udah jadi bubur. Lagian sekarang kamu punya suami yang bisa diandalkan. Yaitu aku,” goda Benua berusaha mencairkan suasana.

Kahiyang memutar bola matanya malas. “Laki-laki yang udah kenal selama 3 tahun aja tega sama aku, apalagi kamu. Orang yang sama sekali nggak aku kenal.”

Kahiyang kembali mengemas pakaiannya. Menangis dan mengeluh nggak akan bisa merubah yang sudah terjadi. Tiba-tiba saja dia memiliki jalan keluar untuk tempat tinggal. Dia akan menyewa kamar kos yang tidak jauh dari tempatnya mengajar.

“Aku bisa buktiin kalau kamu mau,” tawar Benua.

Alih-alih menyetujui tawaran Benua, Kahiyang justru memandang remeh tawaran tersebut. “Nggak perlu, aku nggak butuh! Lagian kita nikah juga cuma buat nutupin aib keluargaku. Besok kamu bisa pergi, kembali ke kehidupanmu,” tolak Kahiyang seraya berdiri.

Tapi, Benua segera meraih tangan Kahiyang yang membuat wanita itu terjatuh dengan berada di atas tubuh Benua. Seketika otak Kahiyang membeku saat kedua manik hitam itu saling beradu. Jarak yang begitu tipis menambah suasana romantis di antara mereka. Benua bahkan bisa mendengar debaran jantung Kahiyang yang berdebar tak karuan.

Sadar dan merasa malu, Kahiyang berteriak minta dilepaskan. Lalu segera bangkit karena wajahnya memerah. Membuat Benua tertawa puas.

“Aku sungguh-sungguh,” bisik Benua. Tapi Kahiyang tetap bersikeras menolak tawaran Benua. Dia tidak ingin membebani Benua yang notabene pria asing yang tidak dia kenal.

***

“Bu, apa Ibu nggak bisa bantu buat bujuk Bapak? Aku janji bakal buktiin kalau aku ini nggak bersalah,” pinta Kahiyang pada Mira. Dia berharap jika sang Ibu mau membantunya. Setidaknya itu menjadi harapan terakhir baginya.

Mira, yang tengah membuat kopi untuk Burhan pun menoleh ke arah putri bungsunya. Kemudian menarik sebuah kursi dan mendaratkan bobot tubuhnya. Dia menarik napas berat, kemudian berucap, “Bukannya kamu udah kemas-kemas? Kenapa masih minta Ibu buat bujuk Bapakmu?”

Kahiyang mengikuti jejak sang ibu, dia menarik kursi dan duduk di sampingnya seraya berucap, “Siapa tahu Bapak berubah pikiran, Bu. Aku janji, bakal buktiin kalau aku difitnah, aku nggak bersalah.”

Mira memicingkan matanya, seakan tidak suka dengan rencana Kahiyang yang ingin membuktikan dirinya tidak bersalah. “Jadi kamu masih beranggapan kalau Swasti fitnah kamu? Gitu?”

Kahiyang membisu seketika. Antusiasnya tentang permintaan untuk membujuk ayahnya sirna sudah. Dari jawaban sang Ibu, dia sudah tahu kalau harapannya sudah patah.

“Kahi, lihat! Kakakmu sudah mengorbankan cita-citanya buat nutupin aibmu. Tapi kamu masih nuduh dia yang fitnah kamu? Ya Tuhan, Kahiyang Wijaya, sadar! Gara-gara ulahmu, Swasti merelakan kesempatannya untuk bekerja di Rumah sakit besar. Dia nggak jadi ikut wawancara demi nama baik keluarga. Itu ulah siapa? Kamu!”

Mira yang awalnya lemah lembut, terpancing amarahnya. Wajahnya menegang disertai napas yang menderu. Seakan tidak terima jika putri sulungnya dituduh dengan sebuah fitnah.

“Bu, Swasti nggak datang wawancara itu karena kemauannya sendiri. Nggak ada hubungannya dengan masalah ini. Lagian, aib mana yang ditutupi, Bu? Nyatanya aku tetap jadi bahan gunjingan orang-orang, tanpa tahu kebenarannya. Aku yang dirugikan, Bu!” teriak Kahiyang lepas kendali.

Dia merasa tidak adil, karena sang ibu merasa dirinya memfitnah kakaknya, namun mereka tidak mau mendengar penjelasan darinya.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kahiyang. Membuat gadis itu membeku. Bulir-bulir bening itu pun berjatuhan tanpa penghalang. Bukan karena sakit yang terasa di pipi, melainkan hatinya yang terasa remuk, hancur berkeping-keping.

“Cukup, Kahiyang. Cukup! Ibu nggak mau dengar lagi pembelaan dari kamu. Seperti yang Bapak katakan, cepat kamu keluar dari rumah ini,” ujar Mira dengan memalingkan wajahnya.

Lagi, hati Kahiyang bagai dihantam batu besar. Miris! Membuat gadis berambut panjang itu tersenyum kecut. Menyadari jika dirinya tidak diharapkan lagi di rumah ini. Bersujud hingga lutut patah pun tidak ada gunanya.

Kahiyang mendongak, menatap sang Ibu yang masih berpaling darinya sembari meremas ujung baju yang dia pakai. “Bu, bilangin ke Bapak, aku pamit.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Tukar Tambah   Bab.7 Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

    “Kamu benar-benar nggak waras, Swasti. Tega kamu ya? Gimana cara kamu bertanggung jawab nantinya?”“Bertanggung jawab sama siapa?” sergah Swasti. Yang tentu saja jawaban itu membuat kening Kahiyang mengerut. “Dengar ya, Kahiyang Wijaya. Aku nggak perlu bertanggung jawab pada siapapun karena kamu yang mulai. Kamu yang lebih dulu tidur dengan pacarku. Jadi, aku pikir cukup adil aku menggantikanmu menikah dengan Andra. Dan kamu juga menikah dengan Benua.”Alis Kahiyang semakin menukik tajam mendengar penuturan Swasti. Cukup adil katanya? Bukankah dalam hal ini Kahiyang yang paling dirugikan? Pernikahannya hancur, menjadi bahan gunjingan orang dan dia sudah menghabiskan banyak uang tabungannya untuk pernikahan tersebut.“Gimana rasanya tidur dengan pacar kakakmu sendiri. Apa begitu menyenangkan?” cibir Swasti pada Kahiyang.Kahiyang terdiam, tidak merespon ucapan Swasti barang sedikitpun. Tiba-tiba dia teringat, jika Benua pernah bercerita jika hubungannya dengan Swasti hanya sebatas sal

  • Suami Tukar Tambah   Bab.6 Senang Melihatmu Menderita

    “Kalau butuh sesuatu, bisa panggil aku di kamar paling ujung,” pesan seorang wanita paruh baya pada Kahiyang seraya menunjuk salah satu kamar yang berada jauh dari kamarnya. Kamar dengan warna cat yang sama, dengan angka sebagai pembeda. Kahiyang hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian wanita itu pamit meninggalkan Kahiyang masih sibuk memindai kamar yang dia sewa.Kahiyang mengecek setiap jengkal ruangan yang hanya berukuran dua kali dua meter tersebut. Dia cukup teliti untuk memeriksa kamar sewanya, takut jika ada lubang atau sejenisnya yang kadang disalah gunakan oleh orang lain. Karena kamar itu hanya berdinding triplek yang dicat dengan warna putih.“Buat sementara, nggak papa lah sambil cari kontrakan yang nyaman,” gumam Kahiyang sembari meletakkan tasnya. Meskipun ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Apalagi kamar mandi berada di luar yang letaknya selisih beberapa kamar dari kamarnya.Karena cukup lelah, kahiyang memutuskan untuk memikirkan hal itu nanti. Dia bisa mandi leb

  • Suami Tukar Tambah   Bab. 5 Jungkir Balik Dunia Kahiyang

    “Makasih ya, kamu udah berdamai dengan dirimu sendiri. Aku harap kedepannya kamu nggak usah lagi ngrepotin Bapak. Kasihan, udah tua bukannya punya anak berbakti. Malah bikin malu keluarga,” oceh Swasti saat Kahiyang baru selangkah keluar dari rumah.Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, serta mengulas senyum penuh kemenangan Swasti mengantar kepergian adik bungsunya.“Apa kamu senang udah menghancurkan hidupku?” tanya Kahiyang. “Sebenarnya aku salah apa sih sama kamu, Swasti? Kok kamu tega sampe fitnah aku sekejam ini?”Kahiyang bersusah payah menahan bulir-bulir yang sudah bergumul di pelupuk matanya. Tidak ingin terlihat lemah dimata saudaranya yang sudah menghancurkan impiannya.Swasti memutar bola matanya malas. Lagi-lagi Kahiyang membahas perdebatan mereka semalam. Tuduhan yang sudah dibantah olehnya, nyatanya Kahiyang masih saja bersikeras menuduhnya. Membuatnya semakin geram.“Udah-udah. Nggak usah nambah masalah dengan bikin keributan lagi. Kamu itu cuma nambah beban kel

  • Suami Tukar Tambah   Bab.4 Aku Pamit

    “Lihat, inilah kesenjangan di antara kita. Aku sibuk kemas baju buat pergi liburan, tapi lihat wanita menjijikan ini. Dia mengemas pakaiannya karena diusir,” ejek Andra yang disertai dengan tawa pada Kahiyang.Pria itu berdiri diambang pintu kamar Kahiyang, untuk menghinanya setelah mendapat cerita kalau mantan calon istrinya baru saja diusir oleh ayah mertuanya. Keputusan yang cukup membuatnya merasa puas.“Sebenci itu kamu sama aku, Ndra? Sampai kamu nggak ada henti-hentinya hina aku dari tadi. Kamu bahkan nggak mau dengar penjelasanku tapi terus-terusan mengejekku,” dengus Kahiyang pada Andra.“Emang kamu wanita hina, pelacur! Buat apa aku dengerin penjelasanmu? Kamu hanya akan beralasan aja dan nyalahin Swasti,” balas Andra dengan nada sinis. Kahiyang hanya diam saja mendengar hinaan dari pria yang pernah dicintainya sepenuh hidupnya. Jika dulu kalimat pujian manis yang keluar dari mulut pria itu, tidak untuk sekarang. Kata-katanya selalu berisi cibiran dan hinaan yang ditujukan

  • Suami Tukar Tambah   Bab.3 Diusir

    “Ini semua gara-gara kamu!” teriak Kahiyang seraya melempar bantal ke arah Benua yang sedang duduk di sofa kamarnya. Pria itu terlonjak kaget dengan Kahiyang yang tengah meluap-luap. Bantal-bantal yang ada di atas kasur dalam sekejap sudah berpindah tempat.Kahiyang melemparkan barang-barang di kamarnya membabi buta. Benua mencoba menghentikan gadis itu dengan mengunci kedua tangannya. Jarak diantara mereka sangat tipis. Deru napas mereka pun terdengar satu sama lain. Kedua pasang manik hitam itu saling beradu, menimbulkan kecanggungan yang tiada arti.“Lepasin!” teriak Kahiyang setelah sadar akan tipisnya jarak antara mereka. Benua buru-buru melepaskan cengkraman tangannya seraya meminta maaf atas kelancangannya.“Kalau bukan gara-gara kamu, pernikahanku nggak akan gagal seperti ini,” gerutu Kahiyang seraya menyugar rambutnya kebelakang merasa frustasi. Kemudian berbalik, berdiri membelakangi Benua.“Malah nyalahin aku sih!” Tidak terima disalahkan, Benua ikut berteriak membela diri.

  • Suami Tukar Tambah   Bab.2 Tuduhan Menyakitkan

    “Dasar laki-laki nggak modal! Ternyata kamu adalah gelandangan. Dari mana kamu kenal gelandangan ini, Swasti?” hina Andra saat prosesi pernikahan Benua dan Kahiyang akan dilaksanakan.Benua, pria itu beralasan tidak memiliki uang. Sejak dia membuka mata, ponsel beserta dompet miliknya entah pergi kemana. Dia juga tidak bisa menghubungi siapapun.“Ah, dari seorang teman,” jawab Swasti dengan gugup. Yang dibalas oleh Benua dengan kerutan di dahinya. Benua ingin membuka mulutnya membantah ucapan Swasti, tapi tidak memiliki kesempatan karena Andra kembali mengejeknya.Andra dan Swasti sengaja curi waktu untuk menyaksikan prosesi pernikahan Kahiyang dan Benua. Tanpa mereka duga, Benua tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan mahar, membuat Andra mengejek Benua dengan sangat puas.Kahiyang tertunduk mendengar hinaan yang diucapkan Andra padanya, setelah menatap kakak perempuannya dengan amarah. Kebaya yang dia impikan menjadi saksi janji suci pernikahannya, nyatanya dipakai oleh orang lain

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status