“Lihat, inilah kesenjangan di antara kita. Aku sibuk kemas baju buat pergi liburan, tapi lihat wanita menjijikan ini. Dia mengemas pakaiannya karena diusir,” ejek Andra yang disertai dengan tawa pada Kahiyang.
Pria itu berdiri diambang pintu kamar Kahiyang, untuk menghinanya setelah mendapat cerita kalau mantan calon istrinya baru saja diusir oleh ayah mertuanya. Keputusan yang cukup membuatnya merasa puas.
“Sebenci itu kamu sama aku, Ndra? Sampai kamu nggak ada henti-hentinya hina aku dari tadi. Kamu bahkan nggak mau dengar penjelasanku tapi terus-terusan mengejekku,” dengus Kahiyang pada Andra.
“Emang kamu wanita hina, pelacur! Buat apa aku dengerin penjelasanmu? Kamu hanya akan beralasan aja dan nyalahin Swasti,” balas Andra dengan nada sinis.
Kahiyang hanya diam saja mendengar hinaan dari pria yang pernah dicintainya sepenuh hidupnya. Jika dulu kalimat pujian manis yang keluar dari mulut pria itu, tidak untuk sekarang. Kata-katanya selalu berisi cibiran dan hinaan yang ditujukan padanya.
Beberapa saat yang lalu, Kahiyang mencoba kembali membujuk ayahnya untuk memberikannya kesempatan dan menebus kesalahannya. Meskipun dia tahu jika Burhan adalah orang yang sangat tegas dan tidak mudah untuk dibujuk. Kahiyang juga memohon pada Mira untuk membantunya, namun wanita paruh baya itu menolak dengan tegas. Mengatakan jika dia sudah sangat kecewa pada Kahiyang.
Kahiyang tertawa miring, kembali mengasihani dirinya sendiri. Saat dia terpuruk seperti ini, ibunya bahkan tidak berpihak padanya. Dia bahkan ikut membenci dirinya karena percaya pada fitnah yang direncanakan untuknya.
Kecewa? Ya, tentu saja. Tapi, bisa apa dia? dia sadar jika dia sudah sangat sering mendapatkan perlakuan seperti itu. Selalu mengalah dan menjadi pelaku.
“Kalau emang kamu sebenci itu, ngapain kamu selalu ganggu aku? Pergi kamu dari sini!” usir Kahiyang tanpa menoleh sedikitpun ke arah Andra. Tatapannya kosong, seakan sudah tidak memiliki gairah hidup.
“Cih! Sombong banget. Padahal aku tahu kalau kamu—”
Benua tiba-tiba menutup pintu kamar dan menguncinya tanpa permisi. Dari dalam kamar, terdengar teriakan Andra yang memaki mereka berdua. Tapi, baik Benua maupun Kahiyang tidak mengindahkan teriakan tersebut.
Kahiyang memeluk lututnya, menyembunyikan wajah pada lututnya dan menutupinya dengan kedua tangannya, lalu menangis. Benua yang melihat itu, merasa bingung, dengan cara apa dia harus menenangkan wanita itu. Akhirnya, dia memutuskan mendekat dan mengusap punggung Kahiyang lembut.
“Aku harus kemana?” tanyanya. Kahiyang mendongak, menatap Benua dengan pipi yang basah oleh air matanya. Dia tidak tahu harus mengeluh pada siapa. Dia tidak memiliki teman dekat. Yang dia lakukan sebelumnya hanya bekerja dan bekerja, dia mulai membatasi diri dari rekan kerjanya semenjak berhubungan dengan Andra.
“Aku nggak punya teman dekat. Selama ini aku selalu bergantung pada Andra, dan selalu menganggap aku nggak butuh siapapun selain Andra,” lirih Kahiyang menyesali kebodohannya. Dia kembali menangis.
Benua merasa iba pada wanita yang baru ditemuinya. Melihat bagaimana dia diperlakukan oleh saudara dan calon suaminya, membuatnya merasa kasihan. “Udahlah, nasi udah jadi bubur. Lagian sekarang kamu punya suami yang bisa diandalkan. Yaitu aku,” goda Benua berusaha mencairkan suasana.
Kahiyang memutar bola matanya malas. “Laki-laki yang udah kenal selama 3 tahun aja tega sama aku, apalagi kamu. Orang yang sama sekali nggak aku kenal.”
Kahiyang kembali mengemas pakaiannya. Menangis dan mengeluh nggak akan bisa merubah yang sudah terjadi. Tiba-tiba saja dia memiliki jalan keluar untuk tempat tinggal. Dia akan menyewa kamar kos yang tidak jauh dari tempatnya mengajar.
“Aku bisa buktiin kalau kamu mau,” tawar Benua.
Alih-alih menyetujui tawaran Benua, Kahiyang justru memandang remeh tawaran tersebut. “Nggak perlu, aku nggak butuh! Lagian kita nikah juga cuma buat nutupin aib keluargaku. Besok kamu bisa pergi, kembali ke kehidupanmu,” tolak Kahiyang seraya berdiri.
Tapi, Benua segera meraih tangan Kahiyang yang membuat wanita itu terjatuh dengan berada di atas tubuh Benua. Seketika otak Kahiyang membeku saat kedua manik hitam itu saling beradu. Jarak yang begitu tipis menambah suasana romantis di antara mereka. Benua bahkan bisa mendengar debaran jantung Kahiyang yang berdebar tak karuan.
Sadar dan merasa malu, Kahiyang berteriak minta dilepaskan. Lalu segera bangkit karena wajahnya memerah. Membuat Benua tertawa puas.
“Aku sungguh-sungguh,” bisik Benua. Tapi Kahiyang tetap bersikeras menolak tawaran Benua. Dia tidak ingin membebani Benua yang notabene pria asing yang tidak dia kenal.
***
“Bu, apa Ibu nggak bisa bantu buat bujuk Bapak? Aku janji bakal buktiin kalau aku ini nggak bersalah,” pinta Kahiyang pada Mira. Dia berharap jika sang Ibu mau membantunya. Setidaknya itu menjadi harapan terakhir baginya.
Mira, yang tengah membuat kopi untuk Burhan pun menoleh ke arah putri bungsunya. Kemudian menarik sebuah kursi dan mendaratkan bobot tubuhnya. Dia menarik napas berat, kemudian berucap, “Bukannya kamu udah kemas-kemas? Kenapa masih minta Ibu buat bujuk Bapakmu?”
Kahiyang mengikuti jejak sang ibu, dia menarik kursi dan duduk di sampingnya seraya berucap, “Siapa tahu Bapak berubah pikiran, Bu. Aku janji, bakal buktiin kalau aku difitnah, aku nggak bersalah.”
Mira memicingkan matanya, seakan tidak suka dengan rencana Kahiyang yang ingin membuktikan dirinya tidak bersalah. “Jadi kamu masih beranggapan kalau Swasti fitnah kamu? Gitu?”
Kahiyang membisu seketika. Antusiasnya tentang permintaan untuk membujuk ayahnya sirna sudah. Dari jawaban sang Ibu, dia sudah tahu kalau harapannya sudah patah.
“Kahi, lihat! Kakakmu sudah mengorbankan cita-citanya buat nutupin aibmu. Tapi kamu masih nuduh dia yang fitnah kamu? Ya Tuhan, Kahiyang Wijaya, sadar! Gara-gara ulahmu, Swasti merelakan kesempatannya untuk bekerja di Rumah sakit besar. Dia nggak jadi ikut wawancara demi nama baik keluarga. Itu ulah siapa? Kamu!”
Mira yang awalnya lemah lembut, terpancing amarahnya. Wajahnya menegang disertai napas yang menderu. Seakan tidak terima jika putri sulungnya dituduh dengan sebuah fitnah.
“Bu, Swasti nggak datang wawancara itu karena kemauannya sendiri. Nggak ada hubungannya dengan masalah ini. Lagian, aib mana yang ditutupi, Bu? Nyatanya aku tetap jadi bahan gunjingan orang-orang, tanpa tahu kebenarannya. Aku yang dirugikan, Bu!” teriak Kahiyang lepas kendali.
Dia merasa tidak adil, karena sang ibu merasa dirinya memfitnah kakaknya, namun mereka tidak mau mendengar penjelasan darinya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kahiyang. Membuat gadis itu membeku. Bulir-bulir bening itu pun berjatuhan tanpa penghalang. Bukan karena sakit yang terasa di pipi, melainkan hatinya yang terasa remuk, hancur berkeping-keping.
“Cukup, Kahiyang. Cukup! Ibu nggak mau dengar lagi pembelaan dari kamu. Seperti yang Bapak katakan, cepat kamu keluar dari rumah ini,” ujar Mira dengan memalingkan wajahnya.
Lagi, hati Kahiyang bagai dihantam batu besar. Miris! Membuat gadis berambut panjang itu tersenyum kecut. Menyadari jika dirinya tidak diharapkan lagi di rumah ini. Bersujud hingga lutut patah pun tidak ada gunanya.
Kahiyang mendongak, menatap sang Ibu yang masih berpaling darinya sembari meremas ujung baju yang dia pakai. “Bu, bilangin ke Bapak, aku pamit.”
Kahiyang merasa seperti orang bodoh pada saat ini. Tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Dia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Berharap jika emosinya tidak meluap dan meledak.“Kamu lihat ‘kan tumpukan uang itu?” ucap prianitu seraya menunjuk tumpukan uang di atas meja. “Semua itu akan jadi milikmu kalau kamu bisa buat kami puas dengan pelajaranmu.”Lagi, Kahiyang mengepalkan tangannya. Kesabarannya sudah berada di ambang batas. Ditambah ocehan-ocehan para pria itu bagai bensin yang disiram ke bara api di hatinya, dan berhasil membakar amarahnya.“Aku juga penasaran bagaimana kamu bisa membuat Benua bertekuk lutut di bawah kakimu sampai dia tega nggak berbagi dengan kami.”Deg!Ucapan pria itu seperti pisau tajam yang tiba-tiba menusuk jantung Kahiyang. Otaknya membeku sesaat. Benua? Bagaimana mereka mengenal Benua? Apa hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam otaknya.“Maaf, kalau begitu aku mengundurkan diri saja. Lagi pula kita belum membuat kesepakat
Apa dia begitu bahagia sudah menikah dengan calon suamiku? Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Meskipun bibirnya tak berucap, namun gerakan mata dan gestur tubuhnya seolah mengatakan jika Swasti tengah berbohong.“Buat apa aku bohong sama kamu? Apa perlu aku sampai melakukan sandiwara menyedihkan seperti itu?” tukas Swasti dengan nada sedikit tinggi. Egonya sedikit tersentil karena Kahiyang tidak terprovokasi dengan semua yang dipamerkan padanya.“Apa ada aku bilang kalau kamu sedang bohong? Aku juga nggak bilang kamu lagi bersandiwara. Mau Andra belikan kamu pesawat jet atau apapun itu, kamu pikir aku akan peduli?” sarkas Kahiyang yang memicu amarah Swasti.Netra Swasti menatap tajam ke arah Kahiyang. Tangannya mengepal, terdengar juga napas yang membu serta rahangnya menegang. Sepertinya dia tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Kahiyang.Swasti menyilangkan kedua tangannya di depan dada bersikap angkuh. Tapi sekali lagi, Kahiyang tidak terpancing dengan se
“Aku tahu kalau Swasti membencimu, tapi aku bener-bener nggak nyangka kalau dia tega berbuat seperti itu sama kamu,” tukas Laras membuyarkan lamunan Kahiyang.Benar, Kahiyang sendiri tidak pernah menyangka kalau Swasti tega padanya. Entah apa yang memicu keberanian itu di pikiran Swasti. “Seyakin apapun perasaanku, aku nggak punya bukti buat meyakinkan orang tuaku kalau aku benar-benar tidak melakukan hal itu,” sesal Kahiyang.Dia tertunduk, memainkan ibu jarinya seperti anak kecil yang putus asa. Tapi itulah yang sedang dia rasakan saat ini. Media sosialnya dibanjiri komentar-komentar yang tidak enak dibaca. Entah darimana mereka tahu berita tersebut. Apalagi tetangga sekitar rumahnya, kabarnya Kahiyang masih saja menjadi bahan gunjingan. Dan satu lagi, kedua orang tuanya tidak percaya padanya dan bahkan mengusirnya dari rumah.Jika dipikirkan, hati Kahiyang teramatlah hancur. Dia harus menanggung kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. “Tapi aku yakin, pasti ada bukti kalau
Kahiyang tertegun sesaat, saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Benua. Mereka berdua saling beradu pandang. Suasana hening, hanya menyisakan denting jarum jam yang berpindah setiap detiknya.Keheningan yang intim itu hilang seketika saat Kahiyang tertawa. Membuat Benua mengerutkan keningnya heran. Tidak ada hal yang lucu tapi Kahiyang tertawa bahkan hampir terbahak.“Apa ada alasan buat aku balikan sama dia?” Kahiyang membalikkan pertanyaan. Kata-kata hinaan yang kemarin diucapkannya aja masih berputar di otaknya sampai sekarang.Mendengar jawaban Kahiyang, sudut bibir Benua tertarik ke belakang meski samar. Seolah ada guyuran hujan yang menimpa kepalanya.“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Benua untuk mengalihkan pembicaraan. Dia sudah cukup puas mendengar jawaban Kahiyang.Sejenak, Kahiyang nampak diam seolah tengah berpikir. Fokusnya saat ini adalah melanjutkan hidup. Dia ingin kembali bekerja seperti dulu. Tidak mungkin baginya hanya berdiam diri saja di kamar tanpa
Swasti sempat tertegun sesaat untuk mencerna ucapan Andra. Tentu saja dia punya uang sendiri karena Swasti bekerja. Tapi yang Swasti maksud adalah uang dari suami untuk istrinya. Semacam nafkah dalam pernikahan. Bukankah dia juga berhak atas hal itu? Karena secara hukum, dia adalah istri sah Andra.“Maksudku uang istri,” jawab Swasti sedikit ragu.Andra menoleh seraya memicingkan matanya. Menatap manik hitam penuh harap yang tergambar jelas di wajahnya. Tapi secepat kilat dia memalingkan wajahnya seraya berdengus kesal.“Kamu tahu nggak kalau gaji juga ada tanggalnya. Belum juga satu bulan udah minta uang istri. Kalau kamu mau perawatan pakai uangmu dulu lah. Ngapain minta-minta uang ke aku,” ujar Andra ketus.Meski sempat terkejut dengan jawaban suaminya, Swasti berusaha bicara dengan tenang meski sebenarnya ingin marah. “Tapi besok kamu ganti, ‘kan?” tanya Swasti.Swasti memeluk lengan Andra dengan manja, seolah dia adalah istri yang paling dicintai oleh Andra. Swasti juga berharap
Kata-kata Mira berhasil menusuk jantung Kahiyang ke bagian yang terdalam. Kahiyang merasa kecewa, dia merasa tidak pernah memenuhi harapan ibunya. Padahal seingat dia, Kahiyang yang selalu memenuhi kebutuhan rumah hingga bulan yang lalu. Dan sekarang, dia merasa seperti seorang pengemis.Kahiyang menunduk, menatap makanan dipiringnya. Baru juga sesuap dia makan, tapi sudah mendapat penghinaan bertubi. Tiba-tiba saja Benua menarik tangannya. “Apa Ibu selalu bersikap seperti ini sama Kahiyang? Menganggapnya seperti beban di keluarga ini. Kalau Ibu anggap Kahiyang sebagai beban, kami pamit. Maaf sudah merepotkan.”Kahiyang menatap Benua heran, saat pria itu mengajaknya pergi dari rumah orang tuanya. Dia bagai perisai yang melindunginya, seolah pria itu tidak terima dengan perlakuan ibu mertuanya.“Ck!ck!ck! Kamu tersinggung sama omongan Ibu? Tapi itu kenyataan. Kalau kamu tersinggung, ya sudah. Ibu juga nggak akan paksa kamu buat tetap tinggal,” balas Mira dengan perasaan kesal.Kahiyan