INHERITED HUSBAND
06 – MEMUTAR WAKTU
“Nis …. Ganis …. Bangun, Nak. Ayo, katanya kamu mau berangkat lihat rumah Tante Nirmala ….” sayup-sayup Rengganis mendengar suara ibunya bicara.
Ha? Lihat rumah?
Masih berada di antara mimpi dan bangun, Rengganis mengerutkan keningnya.
“Ganis?” panggilan itu terdengar lagi.
“Hmmm ….” Rengganis menggeliat dari tidurnya. Dia membuka sebelah matanya dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu.
Kesadarannya mulai pulih saat ia terduduk, “Hah! Di mana ini?”
Ibunya mengerutkan kening melihat tingkah anaknya yang baru bangun tidur, “Di mana apaan? Ya, di rumah, lah! Kamu masih ngigo, ya?!”
Rengganis menoleh pada ibunya, ngigau? Rasanya dia sudah bangun sepenuhnya. Matanya nyalang memandang sekeliling.
Kenapa dia ada di kamarnya?
Bukankah kemarin ia tidur di kamar rumah Tante Nirmala?
Ke mana lelaki itu?
Rengganis menepuk-nepuk pipinya yang tembam, dia menggeleng-geleng.
“Kenapa kamu?” tanya ibunya yang ternyata masih ada di dalam kamarnya, “benahin dulu kamarnya sebelum berangkat.”
“Ke mana?” tanya Rengganis heran.
Ibunya yang sedang merapikan kertas-kertas menoleh padanya, beliau mengamati anaknya sejenak seolah ada sekrup lepas dari otak Rengganis.
“Lho, kamu sendiri yang bilang semalam kalau mau lihat rumah warisan Tante Nirmala.”
“Aku …. udah lihat kemarin, Ma.”
“Ha? Kemarin?” ibunya menoleh kaget pada Rengganis.
“Iya.” jawab Rengganis sambil mengangguk, sorot matanya terlihat yakin.
“Lah, baru kemarin kamu tau kalau kamu dikasih rumahnya.” sahut ibunya.
“Eh?”
Kedua anak-beranak itu saling berpandangan sejenak sebelum ibunya memecahkan keheningan yang membingungkan bagi Rengganis, “He, Ganis!” ibunya menjentikkan jari di depan wajah anaknya, “kamu beneran masih mimpi, ya?!”
“Apaan, sih, Ma?!” Rengganis menepiskan tangan ibunya, “aku enggak mimpi, kok. Beneran! Aku udah lihat rumahnya…. Jauh di pelosok sana. Ada orang aneh lagi di—”
Rengganis terdiam. Pandangannya melayang jauh, otaknya berputar berusaha menggali ingatan yang sepertinya kabur. Tatapan ibunya membuatnya terpaku. Manik matanya tanpa sengaja melirik ke arah jam digital yang sekaligus menunjukkan kalender yang tertempel di dinding.
WHAT?!
Rengganis terlonjak kaget. Hampir saja dia menabrak Mama saat ia melompat dari kasurnya untuk menghampiri kalender di dinding.
“I-ini …. beneran sekarang itu …. kemarin?” gumamnya sambil menempelkan telapak tangannya di dinding yang dingin. Dia bisa merasakan dinginnya dinding yang seakan mengatakan kalau realita terkadang dingin, kejam dan membingungkan.
Terdengar helaan napas dari belakang Rengganis, “Apaan maksud kamu ‘sekarang itu kemarin?’ sekarang ya sekarang. Kemarin itu hari yang udah lewat!”
Rengganis menoleh pada ibunya dengan ekspresi putus asa yang tidak bisa dipahami orang tuanya, “Ma, beneran hari ini tanggal 5, bukan tanggal 6? Ini jam enggak salah, ‘kan?”
Ibunya menyipitkan matanya, “Kamu kebanyakan kerja di rumah, jadinya lupa sama hari. Iya, sekarang baru tanggal 5. Gajian masih lama!”
Mama mengangkat keranjang cucian kotor dan berjalan menuju pintu, “Udah, mendingan kamu sekarang mandi. Sarapan. Biar otaknya lancar! Kalau mau jalan lihat rumah, perginya jangan siang-siang, biar enggak kemaleman di jalan!”
Rengganis terduduk di ranjang. Hah. Dia tidak percaya ini. Benarkah ia kembali ke satu hari sebelumnya?
Hari yang sudah pernah ia jalani.
Apa semua itu mimpi?
Tapi rasanya nyata. Jelas-jelas dia sudah pergi melihat rumahnya, bertemu dengan lelaki aneh bernama …. tunggu, dia tau nama lelaki itu.
Tapi semakin mengingatnya, semakin ia lupa.
Uurgghh…! Rengganis mengacak rambutnya. Beneran, deh. Dia yakin banget kalau dia sudah menjalani hari ini. Tanggal 5 ini sudah dia lewati, suer!
Lalu sekarang, dia kembali terbangun di tanggal 5?! Yang benar saja!
Rengganis buru-buru mengecek ponselnya. Tanggal yang tertera di layar memang tanggal 5.
Dia sampai mengecek media sosial dan menyalakan televisi. Berita menayangkan informasi yang sudah dia lihat.
GILA!
Rengganis membelalak saat menyadari dia sudah melakukan perjalanan waktu kembali ke satu hari sebelumnya.
“NIS! Hayoh, buruan siap-siap, jangan bengong aja!” seruan ibunya membuat Rengganis terlonjak. Suara ibunya yang menggelegar mengisi rongga ruangan hingga ke telinga semua orang.
“Iya, iya…!” Rengganis buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap-siap.
Selagi mencuci muka, dia bersumpah harus segera pergi ke rumah itu dan menuntut penjelasan!
*
Author Note: Nah, lho. Gimana ceritanya Rengganis bisa kembali ke satu hari sebelumnya?
This is a new genre to explore, hope you like the theme!
Follow me on IG: @novelbyserafina for more contents.
KEKASIH AKHIR PEKAN Sekuel of Suami Warisan by Serafina Di umurnya yang telah menginjak angka 25 tahun, Sasikirana belum pernah pacaran. Dulu dia bersekolah di rumah karena sering berpindah-pindah hingga membuatnya kesulitan untuk bersosialisasi. Namun sekarang, Sasi seorang kurator galeri seni yang andal. Suatu hari, Sasi diminta Direktur Galeri untuk membuat pameran seorang pelukis misterius. Sasi berhasil menemukan alamatnya di pedesaan yang terpencil. Di sana dia bertemu sang pelukis. Tak disangka, di pertemuan pertama mereka, lelaki itu malah menawarinya untuk jadi kekasihnya setiap akhir pekan. Apakah Sasi menerima tawarannya? “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu jadi kekasihku setiap akhir pekan?” -SNIPPET KEKASIH AKHIR PEKAN- “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu menjadi kekasihku setiap akhir pekan?” Sasi memandang lelaki yang berdiri di ha
SUAMI WARISAN 175 – Sailendra [TAMAT] -EMPAT TAHUN KEMUDIAN- Diri kita bisa pulih sekaligus merasa hancur di waktu yang bersamaan. Pulih adalah perjalanan yang melibatkan penerimaan atas diri selagi kita hancur, berbenah kemudian membangun kembali diri kita. Waktu menjadi satu-satunya obat bagi Rengganis. Menit berganti jam, kemudian hari berubah jadi minggu sampai tak terasa tiga tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu kini tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Celotehannya menceriakan ruangan, derap langkah kakinya menggemakan keriuhan yang hanya berjeda ketika dia memejamkan mata. “Gimana kabarnya?” pertanyaan itu tidak pernah alpa ditanyakan Mahesa setiap kali dia menelepon Rengganis. “Baik.” Rengganis tersenyum sambil melirik lelaki kecilnya yang berlarian di sekeliling ruangan “makasih kadonya, ya. Dia seneng banget…” Terdengar tawa Mahesa di seberang telepon, “Ya, begitu liha
SUAMI WARISAN 174 – Lembaran Baru Gemuruh guntur terdengar di kejauhan. Kilatan cahaya memantul di atas kaca jendela. Rengganis buru-buru menutup tirai jendela, udara terasa pengap ketika awan hitam menggumpal di atas langit Jakarta. Bayinya terbangun, matanya yang bulat mengerjap-ngerjap sementara badannya bergerak-gerak gelisah. Rengganis tersenyum kemudian mengangkat bayinya dari boks “Cup, cup, Sayang …. Kaget, ya?” Bayinya tak banyak menangis. Hanya sesekali gelisah dan merengek ketika popoknya basah. Dia begitu tenang, begitu mirip dengan ayahnya. Rengganis menimang-nimang bayinya, matanya lekat memandangi setiap inci wajah bayi lelaki yang paling tampan itu. Semakin dilihat, semakin terlihat jelas kemiripan antara buah hatinya dan Narendra. Hidungnya …. Matanya …. Caranya menatap mengingatkannya pada lelaki itu. Bayi yang baru berusia beberapa bulan itu bagaikan pinang dibelah dua dengan lelaki yan
SUAMI WARISAN173 – Terputus KutukanMak Saadah yang sudah renta masih mampu naik ke gunung untuk mencari kayu bakar. Tubuhnya yang kurus terbakar matahari tidak pernah meninggalkan gunung yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.Walaupun anak-anaknya kerap kali mengingatkan untuk berhenti mencari kayu bakar karena di rumah sudah ada kompor gas, namun Mak Saadah tidak menghiraukan omongan anak-anaknya. Ada kesenangan sendiri berada di hutan gunung.Hidup di desa yang berubah sangat cepat membuat Mak Saadah kewalahan. Cucu-cucunya tidak mau diajak ke kebun apalagi ke hutan, mereka lebih senang diam di rumah dengan hapenya, bermain game dan marah-marah jika kuotanya habis.Daripada pusing mendengar cucu dan menantunya bertengkar soal kuota internet yang tak dimengerti olehnya, Mak Saadah memilih pergi ke hutan. Perasaannya mengatakan bahwa di sana ada sesuatu yang sedang menunggunya.“Mau kemana, Mak?” tan
SUAMI WARISAN 172 – Perpisahan & Kebenaran Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak Rengganis – begitu pun dengan orang tuanya – bahwa dia akan bercerai secepat ini, padahal pernikahan mereka masih seumur jagung. “Tapi masih mending lu, Kak. Daripada Kim Kardashian yang cuma nikah 72 hari.” Maya berusaha membesarkan hati Rengganis, namun tidak mempan. Rengganis masih mellow. Dulu dia memang berniat untuk menceraikan Mahesa dan memilih Narendra, namun sekarang Narendra tak tentu rimbanya. Dia ingin marah, namun tidak tau diarahkan kemana amarahnya itu. Sejak kepulangannya dari RS, kemudian tinggal kembali di kamarnya, tak sehari pun Rengganis melewatkan sehari tanpa menangis. Papa dan Mama jadi serba salah. Mereka sudah berusaha menghibur Rengganis, namun masih suka mendengar isak lirih anaknya itu di malam hari. Walau pada pagi dan siang harinya Rengganis bisa menutupi kesedihannya, tapi di malam ya
SUAMI WARISAN171 – Binasa-FLASHBACK-Mobil yang dikendarai Narendra seolah tidak punya rem. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, terburu-buru seperti dikejar setan.Dia keluar dari rumah sakit, terus masuk ke tol kemudian ngebut menuju hutan. Menurunkan kecepatan jika lalu lintas padat, namun setiap ada kesempatan, Narendra terus menginjak gas.Sang Akang baru berhenti ketika sampai di depan rumah warisan.Lelaki itu masuk ke dalam rumah, menaruh beberapa barang di kamarnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.Kali ini dia pergi menuju hutan. Masuk ke dalam, terus ke tengah, meleburkan diri di antara rapatnya pepohonan. Tanpa bekal, tanpa persiapan. Hanya baju yang melekat di badan.Ingatannya yang masih segar menjadi modalnya untuk menyusuri jalan setapak yang dahulu mudah dia susuri. Sekarang, setelah kekuatannya menghilang, Narendra hampir kehabisan napas untuk mencapai tujuan.