SUAMI WARISAN
78 – Tercipta Untuknya
Selama beberapa saat, mereka berdua duduk berdiam diri.
Suara hujan menggantikan suara yang ada di kabin. Radio sudah tidak menerima sinyal, hanya bunyi gemerisik yang menganggu keluar dari sound speaker. Rengganis mematikan radio dan kembali cemberut.
Moodnya berantakan.
Rasanya dia ingin keluar dan menjerit keras-keras. Memaki-maki, mengeluarkan emosinya yang terpendam.
Narendra melirik Rengganis, perempuan yang duduk disampingnya itu bagaikan gunung yang hendak erupsi. Menggelegak dalam sunyi, namun sebentar lagi pasti lavanya menyembur bersamaan dengan awan panas makian dan lelehan jeritan.
Namun, sebagai lelaki jantan, Narendra tidak bisa membiarkan Rengganis tenggelam dalam emosi negatifnya, semuanya harus dilepaskan. Agar tidak mengganjal dan jadi penyakit.
“Nyai.” Narendra memutar tubuhnya menghadap Rengganis dan mengulurkan tangannya, menyibakkan tira
SUAMI WARISAN 79 – Tidak Ingin Berhenti Rengganis sudah menyerahkan tubuhnya untuk Narendra. Begitu juga dengan Narendra, dia melakukan apa saja untuk Rengganis. Tidak hanya menikmati tubuh perempuan itu, namun juga memberikan kenikmatan untuknya. Seimbang. Tak ada yang merasa dieksploitasi. Tak ada yang merasa dimanfaatkan. Ini pengejawantahan kalimat ‘suka sama suka’ Semalaman, selama hujan turun membasahi bumi, Narendra dan Rengganis menikmati tubuh masing-masing dalam mobil. Ruang yang terbatas membuat mereka berpikir kreatif, setiap posisi berganti dengan cermat. Panas tubuh keduanya membuat pengap kendaraan, namun mereka tidak bisa berhenti. Tidak mau berhenti. Tubuh mereka saling melekat, tidak pernah lama merasakan jeda. Narendra tidak suka berada lama-lama di luar Rengganis dan Rengganis tidak ingin ditinggalkan oleh Narendra. Dia merasa penuh, merasa dicintai, merasa diha
SUAMI WARISAN80 – Masa TerbaikNarendra dan Rengganis cukup lama duduk di atas batu di pinggir sungai. Suara air yang mengalir terdengar menenangkan. Jika saja tidak ada panggilan perut keroncongan, mungkin mereka akan menghabiskan waktu seharian di sana.“Lain kali kita piknik di sini ya, Naren?” pinta Rengganis sambil menunduk memerhatikan langkahnya yang meniti batu demi batu agar tidak terpeleset dan jatuh ke sungai yang airnya cukup deras.Untung saja ada tangan Narendra yang kuat memeganginya, lelaki itu menyahut, “Ya, boleh.”Sepertinya Rengganis sudah mulai mengapresiasi alam di sekitarnya. Pikirannya tidak lagi penuh dengan tanggung jawab pekerjaan dan obsesinya. Sejak membuka mata, Narendra hanya menghitung satu kali Rengganis berpikir mengenai pekerjaannya, itu juga soal pola yang tiba-tiba saja muncul di benaknya gara-gara melihat bunga liar yang tumbuh di pinggir sungai, sisanya Rengganis si
SUAMI WARISAN81 – Senyum Sendu“Hey, how are you, Honey?”Sapaan dari lelaki tampan di seberang telepon membuat Rengganis tersipu malu. Dia membalas pelan, “I’m good. Kamu gimana kabarnya, Mahesa?”Tangannya sibuk mencabuti rumput-rumput liar yang berada di sekitarnya. Rengganis memegang ponsel di tangan kirinya sementara dia duduk di pinggir danau beralaskan tikar tipis. Di sekitarnya ada sebuah buku sketsa dan pensil-pensil warna yang berserakan.Dia sedang menggambar pemandangan yang cantik sore ini ketika ponselnya yang akhirnya mendapatkan sinyal, menerima panggilan dari nomor Mahesa.“Lelah, capek, lemah, letih, lesu,” balas Mahesa yang diiringi tawa dari Rengganis.“Segitu capeknya?”“Yes,” balas Mahesa, suaranya memang terdengar lelah, “kemarin aku baru tiba di Jakarta and guess what? I’m having jetla
SUAMI WARISAN82 – Mengarungi WaktuNarendra tidak mendengarkan teriakan Rengganis.Tubuhnya terbang sesaat kemudian meluncur ke dalam air. Menyelam hingga ke dasar. Pemandangan di dalam dan luar danau sungguh berbeda.Berkas cahaya menembus permukaan air, mempercantik ekosistem dalam danau. Namun cahaya itu tidak sampai dasar danau, Narendra menyelam semakin dalam. Ikan-ikan bergerak menghindar darinya.Gelembung-gelembung air tercipta dari hidungnya, kemampuannya bernapas dalam air cukup diacungi jempol, diimbangi oleh kecepatannya berenang, dalam beberapa detik, dia sudah berada di palung terdalam danau.Tubuhnya meliuk, menghindari sebuah karang kemudian meluncur mulus ke sebuah gua yang gelap. Dia sudah hapal setiap sudut danau hingga tidak masalah dengan minimnya cahaya. Sebuah gerakan berkelebat di sekitarnya, bukan gerakan ikan, Narendra berbalik dan berhadapan dengan sesosok mahluk.Dia mengangkat alisnya
SUAMI WARISAN83 – Kaum RomantisRengganis sudah menunggu di pinggir danau selama kurang lebih satu jam, namun tidak ada tanda-tanda Narendra muncul dari danau.Jantungnya sebentar lagi kolaps saking khawatirnya. Dia mondar-mandir di sepanjang sisi danau, tangannya memeluk bahunya dengan posisi menyilang. Langkah-langkah kakinya berkecipak menginjak tanah yang basah.Matahari mulai tenggelam, namun Rengganis enggan beranjak dari sana.Suaranya sudah serak, hampir habis memanggil nama Narendra. Namun si Patih oncom itu tak kunjung menyahut. Muncul ke permukaan saja tidak.Rengganis bersumpah, jika Narendra muncul, dia akan menenggelamkannya lagi!Sekalian saja enggak usah muncul lagi, Berengsek!“NAREN!” serunya lagi, urat-urat di lehernya sampai bermunculan. Tenggorokannya sakit kebanyakan berteriak, dia juga haus.“NARENDRAAAA…!”Suaranya bergema, diiringi oleh k
SUAMI WARISAN84 – Keresahan Dua LelakiAda yang salah.Sangat salah.Dia tau seharusnya dia tidak di sini.Panggilan itu berdenging di telinganya namun ototnya tak satu pun yang mampu bergerak.Narendra terpaku di tempatnya, matanya memandang sosok yang berdiri tak jauh darinya.“Kang Pitar?” sapaan lembut itu membuatnya terpana.Sudah sekian lama dia tidak mendengar nama itu disebut oleh seorang manusia. Dadanya kembali berdegup, suara itu ….“Kang Pitar, naha aya di dieu?” perempuan berkain batik itu menghampirinya dengan tanda tanya besar di matanya. Di tangannya ada keranjang belanjaan, rambutnya di sanggul di tengkuk dan pakaiannya sederhana. Tak ada polesan make up di kulitnya.(Kak Pitar, kenapa ada di sini?)Narendra terperanjat ketika menyadari dia tidak seharusnya ada di sini, “Oh.”“Kang…” perempuan yang jel
SUAMI WARISAN85 – Di Antara Dua TakdirSemoga saja dia belum terlambat.Semoga saja Rengganis menerima kedatangannya walau pun ini sudah tengah malam.Benar perkataan pemuda rambut jagung itu. Jalan menuju ke vila rusak parah. Terjal dan seringkali mobil sedan mahal Mahesa hampir selip.Mahesa mencatat dalam hati agar membawa mobil off -road jika hendak kemari lagi. Rubicon yang biasanya nangkring di garasinya mungkin bisa menaklukkan jalanan yang keras ini.Dua buah motor meliuk-liuk di depannya menghindari lubang dan bebatuan yang terjal, sementara mobilnya terpaksa menerima apa adanya. Untung saja suspensi mobilnya masih bagus, lonjakan-lonjakan itu bisa teredam cukup baik, namun tetap saja Mahesa sering meringis mengingat tragisnya perjuangan dia untuk bertemu dengan Rengganis.Siapa sih Rengganis?Pastinya banyak orang bertanya kenapa seorang Mahesa, lelaki yang biasanya tidak peduli dengan keadaan ses
SUAMI WARISAN86 – Menantang SupremasiManners maketh man.Itu salah satu motto hidup Mahesa, bukan karena itu quote dari film favoritnya ‘Kingsman’ namun karena Mahesa dibesarkan oleh orang tua yang cukup tegas; terutama ibunya.Sikap itu sudah mendarah daging pada dirinya hingga di saat genting seperti ini, dia bisa tetap terlihat tenang.“Bawa, cepat!” seru Mahesa sambil menarik Rengganis.Narendra tidak sempat untuk membantah. Kedua lelaki itu berenang menggiring tubuh Rengganis ke tepian, di mana Ipah sudah menunggu dengan wajah panik.Mahesa naik ke daratan lebih dulu, namun ketika dia hendak menarik Rengganis, Narendra sudah menggotong perempuan itu dalam gendongannya. Lelaki itu berdiri gagah berani dengan tubuh polos tanpa pakaian sehelai pun.Mahesa ternganga, “Kamu ….” Giginya gemeletukan bersamaan dengan hawa dingin yang merayapi tulang belakangnya.