Zea bingung dengan suaminya, mungkin Gio tidak mau dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan baru. Namun, Zea mencoba menangkan suaminya jika dirinya akan baik-baik saja dan tidak lelah.
Demi mendapatkan tambahan uang, bahkan agar tidak di hina terus menerus. Jika dia bekerja di tempat bagus pun mungkin gaji akan lebih besar. "Mas, kenapa?" Zea bertanya karena melihat wajah Gio yang berbeda. "Eh, enggak. Kaget aja, bukannya itu kantor besar, kamu mau melamar mau menjadi apa?" tanya Gio. Sedikit masam, Zea pun malah terdiam. Mendengar ucapan suaminya membuat dia sadar jika memang gedung besar itu tempat orang pintar dan berpendidikan tinggi. Mungkin, dirinya hanya pantas menjadi SPG di mall saja. atau buruh cuci Seperi yang sering di katakan oleh keluarganya. Zea tidak jelek, hanya saja mereka selalu meremehkannya. "Kok masam, maksud Mas enggak merendahkan kamu. Tapi, hanya bertanya apa ada lowongan juga buat Mas. Kali aja Mas yang kerja kamu tetap jaga toko di mall," ujar Gio. Wajah yang masam kini berubah tersenyum, Zea pikir suaminya tidak percaya dengan dirinya. Ternyata Gio pun ingin mencari pekerjaan, lalu penghasilan mereka berdua bisa banyak. Mungkin Gio bisa menjadi satpam atau OB di gedung itu pikir Zea. "Oh, nanti aku tanyakan ya. Kamu jalan sana sudah siang." Zea mengingatkan. "Oh, iya." Gio pun pamit tanpa izin dengan kedua orang tua Zea karena sang istri mendorongnya cepat ke ambang pintu. Zea niat kembali ke kamar bersiap untuk mandi, Dara sudah menghampirinya lagi. "Zea, kamu enggak usah capek-capek kerja di gedung, mending kamu jadi baby sitter aja setelah anak aku lahir," ujar Dara. Zea menatap heran, suka seenaknya saja bicara pikir Zea. Mana mungkin dia mau merawat anak hasil perzinahan kakaknya dengan mantan kekasihnya dulu. Melihat Dara saja dia sudah muak. Apalagi mengurus anaknya yang membuat dirinya ditinggal begitu saja oleh Farhat. "Kamu bayar aku mahal pun aku enggak Sudi!" "Belagu banget kamu!" Zea pun langsung melangkah ke kamar untuk bersiap. Namun, sejenak dia duduk di tepi ranjang sembari mengelus dada. Kembali air matanya luruh di pipi, kesekian kali dia mengingat perselingkuhan kekasihnya dengan sang kakak. Detak jantungnya berdegup begitu kencang, ia menggeleng untuk melupakan kenangan itu. "Aku enggak boleh ingat itu." Gegas dia pun masuk kamar mandi dan bersiap untuk pergi kerja. *** Zea terburu-buru untuk berangkat kerja. Saat keluar dari kamar dia menabrak Dara yang membawa piring nasi dan jatuh berhamburan ke bawah. "Aduh, Dara! Punya mata enggak sih kamu?" Seperti Biasa Dara menggerutu kesal. Wanita hamil itu sudah menunjukkan taringnya saat melihat nasi yang di piring sudah berpindah ke lantai. "Beresin enggak, terus ambilin yang baru. Itu buat Fathan tahu enggak?" "Aduh, aku enggak ada waktu." Zea mencoba melangkah tapi Dara mendorongnya. "Astaga, Dara. Kamu ini lagi hamil, bisa saja aku mendorong kamu. Bisa enggak sih jangan jahat-jahat," ujar Zea. "Non Dara, biar bibi saja yang bereskan. Non Zea takut kesiangan." "Enggak usah bi. Aku maunya dia." Zea sudah melirik ke sekeliling, sepertinya susah jual dia melawan. Bala Bantuan Dara terlalu banyak, akhirnya mau tidak mau dia pun mengambil sapu membersihkan juga pel lantai. Lalu, dia kembali mengambil nasi untuk Fathan. "Sudah kan?" "Hmm, goodlah. Kayanya cocok deh kamu jadi pembokat, cewek kaya kamu enggak pantes kerja di mall. Dandan kaya gini, mau jadi wanita penggoda apa?" Dara dengan luwesnya menghina Zea. "Jangan bicara kamu, hati-hati lagi hamil. Apa yang kamu katakan ke aku bisa saja menimpa anak kamu!" "Kamu mengancam aku hah?" Tidak segan Dara menjambak rambut Zea. "Dara lepas, kamu mau aku mendorong kamu hah?" "Zea sudah!" Dara melepaskan tangannya dari rambut Dara, dia pun sudah tak bisa menahan sabar. "Kamu enggak usah banyak omong. Aku memang jelek, kalau pun aku harus bekerja menjadi pembantu enggak masalah itu pun halal. Dari pada kamu, hanya merebut milik orang. Hamil pun hasil Zina!" Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak terima sang anak di hina. Lagi, tamparan kedua mengenai pipi kiri Zea. "Enggak sekalian saja kalian bunuh aku dari pada kalian menyiksa aku Hah? Kalian itu perusak kebahagiaan aku, kalau kalian engga ada di sini semua enggak akan menjadi neraka bagi aku!" "Zea!" Kini sang ayah yang ikut berteriak. Serasa di keroyok, Zea pun tidak peduli dengan teriakan sang ayah. "Apa Zea salah ayah? Semua salah ayah yang membawa wanita jahat dan anak-anaknya ke rumah mama. ini rumah mamaku dan peninggalan mamaku. Bukan rumah Papa!" ***"Maksud kamu apa?" Bu Layla panik dengan ucapan Gior. Kekhawatiran mulai terlihat jelas di wajahnya.Tanpa berkata apa pun lagi, Gior mulai membuka kedoknya. Dia dengan tenang melepaskan tompel yang menempel di pipinya, kemudian membenarkan rambutnya, dan membersihkan wajahnya dari semua penyamaran. Dalam sekejap, sosok yang selama ini dianggap sebagai "si miskin" berubah menjadi pria elegan dengan aura otoritas.Semua yang ada di ruangan itu terdiam, mata mereka terpaku pada Gior. Mereka terkejut melihat perubahan drastis dari pria yang selama ini mereka remehkan."Ti-tidak mungkin si miskin itu adalah Pak Gior," ucap Sella dengan suara gemetar. Gadis itu merasa tubuhnya memanas dan dingin bersamaan, terutama setelah mengetahui bahwa dia baru saja mencoba menghancurkan Zea, istri seorang CEO.Dara, yang berdiri di sampingnya, tampak lebih terkejut. "Ma, ini enggak mungkin, kan?" tanya Dara dengan suara lemah pada Bu Layla, yang juga sama bingungnya.Pak Abdullah dan Farhat, yang sela
Pak Abdullah, dengan wajah penuh ketidakpercayaan, menghampiri Pak Wicaksono. "Pak, tidak salah dengar?" tanyanya, masih terkejut bahwa Pak Mansyur, yang dianggapnya hanya seorang pengusaha kecil, mendapatkan kontrak saham dengan perusahaan besar yang sebelumnya membatalkan kontrak mereka.Pak Wicaksono, dengan tenang, menatap Pak Abdullah. "Tidak, memang benar. Ada apa memangnya?" tanya Pak Wicaksono dengan nada datar, seolah tak terpengaruh oleh kekhawatiran Pak Abdullah.Pak Abdullah tak mau menyerah begitu saja. "Perusahaan Pak Mansyur itu masih kecil, Pak. Kemungkinan besar tidak akan memberikan benefit tinggi. Lebih baik batalkan saja dan bekerja sama dengan perusahaan saya, yang jelas-jelas sudah besar dan mapan," katanya, mencoba meyakinkan Pak Wicaksono sambil meremehkan kualitas perusahaan Pak Mansyur.Saat itu, Gior, yang mendengar percakapan mereka, menghampiri kakeknya. Dengan senyum kecil di bibirnya, ia tertawa pelan, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "P
Farhat menepis tangan Gior dengan kasar, lalu menepuk-nepuk kemejanya seolah jijik setelah disentuh oleh Gior. "Orang miskin tidak pantas di sini," katanya dengan nada penuh kebencian. "Satpam, usir mereka!" titahnya, seperti merasa dirinya pemilik acara dan berkuasa penuh atas tempat itu.Suasana semakin panas ketika Sella, yang sepertinya sengaja ingin memicu keributan, muncul dengan sebuah rencana liciknya. Dengan sengaja, dia menunjukkan foto-foto yang memfitnah Zea dan Pak Gior sedang bersama, mencoba menciptakan kesan bahwa mereka berselingkuh."Ini dia buktinya!" seru Sella dengan penuh semangat, memamerkan foto-foto itu kepada orang-orang di sekelilingnya. "Wanita ini munafik! Sudah punya suami, tapi malah berselingkuh. Dasar murahan!"Kerumunan mulai bergemuruh, desas-desus dan tatapan merendahkan mengarah kepada Zea. Namun, sebelum tudingan Sella semakin menggila, tiba-tiba Pak Mansyur, ayah Zea, muncul dari kerumunan. Dengan wajah penuh kemarahan, dia berdiri di depan Zea u
Setelah suasana mulai mencair, Pak Wicaksono keluar dari ruangan Gior dengan ekspresi yang sulit ditebak. Di luar, tampak Aleta, salah satu karyawan, berdiri menunggu dengan gelisah. Desas-desus tentang hubungan terlarang antara Zea dan Gior telah beredar dengan cepat, dan Aleta, yang sudah lama mencurigai sesuatu, tak sabar ingin tahu kebenarannya.Begitu Zea keluar dari ruangan, Aleta segera menghampirinya. "Zea, jadi benar kamu dan Pak Gior selingkuh? Ih, gila kamu! Sudah punya suami, masih saja menggoda bos kamu. Dasar murahan!" tuding Aleta dengan nada penuh kebencian.Zea menghentikan langkahnya, lalu menatap Aleta tajam. "Stop mengatakan aku murahan," balas Zea dengan tenang tapi tegas. "Jaga bicara kamu, atau aku akan meminta Pak Gior memecat kamu. Sama seperti aku meminta Pak Gior memutuskan kontrak dengan Pak Abdullah." Sebuah senyum kecil terlihat di bibir Zea, penuh kepastian.Aleta terkejut dengan respons Zea. Dia tak menyangka bahwa Zea, yang biasanya tampak pendiam dan
Pak Wicaksono merasa kecewa bukan karena cucunya, Gior, sudah menikah, melainkan karena Gior tidak terbuka sejak awal. Dengan nada marah tapi tegas, Pak Wicaksono menegur Gior atas kerahasiaannya."Aku hanya takut kakek tidak merestui," ujar Gior, dengan nada rendah.Pak Wicaksono menggeleng pelan, merasa kesal dengan alasan cucunya. "Kamu ini benar-benar membuat onar, Gior. Bereskan kabar miring yang sudah tersebar di luar. Kalau kamu masih ingin mempertahankan pernikahanmu, selesaikan semuanya. Jangan lari dari tanggung jawab."Gior mengangkat dagu dengan tegas, menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan Zea disalahkan. Pak Wicaksono, kakeknya, menatap Zea dengan tatapan penuh pertanyaan. Dia merasa heran dengan menantunya yang memilih bekerja di perusahaan suaminya, padahal dengan statusnya sebagai istri cucunya yang kaya raya, seharusnya Zea bisa menikmati hidup dengan lebih santai tanpa perlu terlibat dalam urusan bisnis keluarga."Katakan, permainan apa yang sedang kalian maink
Situasi itu tak di sangka membuat Gior dan Zea tertangkap basah. Apalagi ada info yang menyudutkan mereka. Kedatangan sang kakek pun tak lepas membahas masalah itu. Mereka berdua benar-benar tidak menyangka jika ternyata apa yang keduanya lakukan justru kini menjadi bumerang besar. Ia tidak tahu jika Aleta melihat hal tersebut bahkan bukan hanya aletta yang melihat tetapi kakek dari Gio juga melihat apa yang mereka berdua lakukan. Ya sudah benar-benar merasa bingung dirinya tidak bisa memikirkan alasan yang tepat apalagi orang-orang di kantor ini mengetahui jika dirinya sudah menikah dengan lelaki bertompel. Semua orang tidak mengetahui jika lelaki bertompel itu adalah Gio. Masa iya dirinya dikira selingkuh dengan suaminya sendiri? "Kalian berdua, saya tunggu di dalam!" titah sang kakek. Zea dan juga Gio hanya saling memandang, keduanya tidak banyak bicara daripada berdebat di hadapan semua orang lebih baik menurut. Gio benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Mere