Sepi amat kayak kuburan baru. Mana komentarnya? apa kek gitu hehehe
Mediasi telah berlangsung lama dan sama sekali tidak membuahkan hasil. Berkali-kali Mas Akbar menyatakan di sini bahwa dialah korban yang sesungguhnya. Iya, lelaki yang aku kenal alim ini ternyata munafik.Berdenyut kepalaku mendengarkan penuturannya dan pengacaraku pun berkali-kali membelaku sesuai dengan bukti yang aku berikan. Penolakan dan pengelakan pun berkali-kali kami dapatkan hingga pada akhirnya, pengacaraku pun merasa geram. Dia mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya muncul dalam mediasi.“Hakim seharusnya sudah bisa menilai mana hitam mana putih dari perdebatan yang sedari tadi terjadi. Di mana-mana, hanya maling yang teriak maling. Di mana-mana hanya yang bersalah yang terus berteriak mencari pembelaan dan pembenaran.” Pengacaraku setengahnya mengatakan suatu tuduhan bahwa suamiku ini tengah mencari simpatik.“Baiklah, mediasi hari ini saya tutup dan akan kembali saya adakan mediasi untuk kali terakhir minggu depan.” Hakim beranjak dari duduknya.Mas Akbar terlihat
Keterbukaanku“Ini, minumlah supaya sedikit santai. Atau ini, kamu bisa makan coklat ini Nala,” katanya yang memberikau secangkir coklat hangat.Setelah menangis dalam dekapannya, setelah dia tahu betapa rapuhnya aku, kini aku menjadi lebih tenang. Aku menjadi lebih lega. Air mataku pun sudah tidak ada lagi.Aku hanya diam menatap pemberiannya. Aku kembali ingat bagaimana mas Akbar dulu selalu melarangku memakan coklat. Dia bilang itu akan membuatku gendut.“Yan, ini sudah malam, nanti aku gendut kalau makan itu,” tolakku.“Kalau aku sih enggak apa-apa sebentar menikmati hidup. Menikmati apa yang seharusnya untuk menjaga kewarasan sih tidak apa-apa.”Aku tergoda, iya aku tergoda. Coklat yang dia makan itu nampak begitu lezat saat ini. Aku menelan ludahku pelan dan memutuskan untuk memakan buah apel yang ada di meja. Dia tertawa saat melihatku menggigit apel tersebut.“Apa? Kenapa ketawa kayak gitu? Emang ada yang lucu?” cecarku keheranan.“Kamu sebenarnya pengen coklat ini ‘kan? Tapi
Aku sangat terkejut pagi ini saat melihat ayah dan ibuku di saat aku membuka mata. Mereka berdua terlihat tengah mengurusku dan juga Gaffi. Sementara Ryan, entah ke mana keberadaan dokter umum itu. "Ryan ke mana Yah?" tanyaku pada awayhku dengan mencoba memberanikan diri.Jujur saja, lidahku masih terasa kaku dan sangat canggung untuk memulai semua percakapan ini. lama tidak bertemu, membuat kami seperti orang asing. Berkenalan dari awal dan merasa rikuh. "Dia pamitan akan bekerja katanya, tapi tadi aku lihat wajahnya sangat pucat. Apa anak itu sedang sakit?" tanya ayahku. "Iya, dia sedang sakit Yah." Aku menjawabnya dengan kepala tertunduk lesu dan tidak berani menatapnya. "Ayah, Nala minta maaf untuk semuanya ya Yah. atas kejadian yang lalu, Nala menyesal karena lebih memilih Mas Akbar dari pada Ayah dan Ibu." Mendengar aku sudha terbangun, ibuku lalu mendekat dan membaur bersama kami. Wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini itu pun lalu memelukku tanpa banyak bicara. Dia
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan lagi Nala. Pikirkan juga kesehatanmu. Mungkin saja kali ini Ryan itu sedang bekerja."Ini sudah kesekian kalinya ayah berusaha untuk menenangkan diriku. Sejujurnya aku hanya merasa berhutang budi kepada pria baik yang sempat aku sakiti itu. Ryan, dia banyak berjasa di masa terpurukku. "Iya Ayah, aku akan menenangkan diriku. Lalu untuk sidang perceraian ku bagaimana?" tanyaku yang memang merasakan proses persidangan ku berjalan dengan lambat. Ayah tersenyum menatapku lalu perlahan mengusap pucuk kepalaku. Ini adalah tatapan terdamai yang pernah aku temukan selama hidupku. Rupanya dia tetap menjadi cinta pertamaku. Ayah, aku sangat menyayangimu. Kataku dalam hati. "Untuk perceraianmu itu, aku sudah menambahkan kiriman uang. Pengacaramu berjalan lamban karena kurangnya uang. Aku dengar kamu hanya membayar tarif dasar," kata Ayah dengan santainya. "Iya Ayah, aku hanya membayar tarif dasar. Aku sebenarnya sangat malu mengatakannya. Aku punya hutang pa
Perubahan Sikapku“Oh, jadi datang juga suaminya? Hahahaha …! Dunia ini sempit sekali ya? Lelaki tidak tahu diri, bersandingkan dengan tante gatel yang juga tidak tahu balas budi. Ah, aku rasa memang sudah sepantasnya. Pezina, dengan pezina. Bukan begitu tante?” ucapku yang dengan sengaja mengarahkan pandanganku kepada tante Rima, ibu dari Anggita si pelakor ini.“Nala! Jaga mulutmu!” sentak Mas Akbar yang membuatku terkejut.Aku mengarahkan pandanganku kepadanya. Dia tampak kaget dengan sikapku ini. Aku yang semula adalah wanita penurut, sekarang menjadi wanita yang jauh berbeda. Iya, semalaman aku memikirkan semua ini, selama ini aku terlalu takut ditinggalkan olehnya.Hingga … pada akhirnya, aku ditipu dan dikhianati sampai seperti ini. Tidak pernah sama sekali aku membayangkan tentang hal seperti ini. Tuhan memang adil, membuka mataku di saat yang tepat.“Oh, jaga mulut? Kamu itu di sini hanya orang asing yang tidak di undang! Silahkan pergi angkat kaki dari sini.” Aku mengusirnya
Setelah satu tahun menghilang dan sama sekali tidak membalas pesanku, kini aku bertemu dengannya, lelaki yang telah banyak menolongku pada saat keadaan terpurukku. Ryan, sejujurnya aku rindu, terlebih Gaffi yang sering menanyakan di mana Om dokternya pergi. Aku tidak bisa menjawab apa-apa, dan hanya berbohong dan berbohong demi membuatnya merasa tenang.“Apa kabar?” sapaku padanya yang terlihat gugup.“Nala?” ucapnya yang terlihat tidak percaya bila memang aku ini ada di hadapannya dan bukan yang lain. Dia sampai mengedipkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan diri.“Iya, aku Nala Yan. Ada waktu?” tanyaku tanpa mau berbasa-basi. Kali ini aku tidak mau kehilangan dia lagi. Aku tidak mau kehilangan sosok penolong di dalam hidupku yang sudah dua kali aku kehilangan dia dan tidak akan kubiarkan yang ketiga kalinya terjadi.“Ada,” jawabnya singkat setengah tergugup.“Oh, syukurlah. Banyak yang mau aku katakan sama kamu. Ayo naik!”ajakku yang terkesan tidak tahu malu. Wanita mengajak pri
“Kamu belum jawab loh, kenapa sama sekali enggak pernah balas pesanku?” cecarku padanya yang hanya diam dan tersenyum simpul. Senyuman yang mengandung sejuta arti.“Aku setelah sakit itu, sibuk kerja La. Ada kerjaan penting, dan kebetulan ponselku tertinggal di rumah. Aku malas bolak-balik Jakarta-Australia, itu melelahkan,” jawabnya yang tidak terdengar logis.“Eh, kita hidup di jaman moderen ya, ada jasa pengiriman barang Yan,” sahutku penuh penekanan karena jawabannya yang terdengar hanya mengada-ada.“Aku tidak percaya, kamu pasti bohong,” desakku dengan tatapan memicing.Dia tertawa dan itu sungguh menyegarkan mata. Terakhir kali aku melihatnya dengan wajah pucat. Saat itu jangankan untuk tertawa seperti ini, untuk tersenyum saja dia berat.“Yan, banyak yang terjadi setahun ini dan kamu enggak mau tanya apa-apa sama aku?” pelanku mengharapkan pertanyaan darinya.Kami terdiam beberapa saat. Tanpa melihat wajahnya, aku bisa merasakan dia yang berpindah duduk di sampingku. Pada saat
“Buat aku?” tanyaku bersamaan dengan tanganku yang menerima bunga mawar pink itu.“Iya, kalau Gaffi mana mau dia bunga? Gaffi mau jalan-jalan saja ya? Mau main ke mana Fi?” tanyanya kepada putraku dengan sorot mata pnuh kasih.Satu tahun ini, anakku mencari sosok ayah pada kakeknya. Ayahku bisa mengisi itu di sela-sela kesibukannya. Sedangkan dulu, suamiku sama sekali tidak mau menyempatkan waktu dengan segudang alasannya.“Terserah Om Dokter saja,” jawab anakku yang memang sudah kuajarkan sedari berangkat tadi supaya dia menjaga sikapnya di hadapan Ryan.“Terserah ya? Bagaimana kalau kita ke floating market?” cetus Ryan sambil menatapku seolah meminta pendapatku tentang tempat wisata itu.“Bagaimana La?” tanyanya yang membuat lamunanku buyar. Iya, aku sedang melamunkan tentang rumah tanggaku yang dulu di saat Gaffi masih berusia dua tahun.Saat itu semuanya masih indah, Mas Akbar … dia masih sosok suami yang begitu aku banggakan. Dia, selalu ada waktu untuk kami. Selalu bisa mengisi