Share

Bab 3. Siapa Wanita itu

Bab 3. Siapa Wanita itu

Semalaman aku menangis, menyesali diriku yang selama ini terlalu bodoh dan terlalu mengandalkan pria. Pantas saja, Mas Akbar bekali-kali menyindirku untuk mencari kesibukan lain. Mungkin sebenarnya dia sudah muak melihatku terus menerus hanya bisa menengadah tangan mengharapkan uang darinya setiap bulan.

Kupijit kepalaku yang berdenyut, pandanganku terasa sedikit tidak baik, apa yang kulihat buram. Oh, mungkin karena aku terlalu lelah menangis. Tetapi tidak saat aku menggunakan ponselku untuk mengaca. Rupanya pembuluh darahku pecah di bagian mata.

Ya aku rasa hentakan ini terlalu kuat dan aku sangat frustasi. Tidak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ayah dan juga ibuku memperlakukan aku dengan baik sedari kecil. Mau seperti apa mereka jika tahu rumah tanggaku kacau seperti ini. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada ibu. Dia juga mempunyai riwayat darah tinggi dan aku menuruni penyakit itu.

“Bunda kenapa matanya?” tanya putraku yang baru saja bangun. Dia menjerit dan menangis keras saat melihat bagian putih mataku yang berubah merah. Mungkin ini sangat menakutkan baginya.

“Oh, Bunda sakit mata Sayang, makanya mata Bunda merah. Gaffi bisa ambilkan kaca mata hitam Bunda di kamar?” pintaku kepada putraku yang sangat pengertian. Dia begitu berempati pada apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan aku rasa itu menurun dari sikapku.

Jeglek!

Pintu terbuka saat Gaffi membuka kuncinya. Aku hanya diam tanpa menoleh dan kembali menitikan air mata. Sungguh kacau perasaanku kini. Tidak ku sangka tangan kekar suamiku melingkar di pinggangku. Aku berusaha melepaskan diri, namun dia seketika itu juga menjual air mata buayanya. Dia menangis di pundakku.

“Maafkan aku Bun, kita bisa perbaiki ini.”

Mas Akbar begitu mudah mengatakan itu dan aku tidak mau menjadi wanita bodoh untuk yang ke sekian kali. Kubulatkan tekadku, dan aku sudah putuskan untuk mengakhiri ini. Aku tidak bisa membiarkan diriku hanya diremehkan dan dianggap benalu.

“Maaf katamu? Baik, kita balik keadaannya. Sekarang, apa bisa kamu memaafkan aku kalau aku berselingkuh dan hamil anak pria lain? Bisa kamu Mas?” tandasku dengan berbalik kasar dan dengan sengaja aku mendorongnya.

Lagi-lagi darahku mendidih setiap kali membahas ini. Sakit kepala itu datang lagi seolah ribuan paku menancap di pucuk kepalaku saat ini. Dia menatapku cemas.

“Nala, matamu kenapa?” pekiknya yang terlihat mengkhawatirkan aku. Tapi sayang, jangan harap aku akan luluh.

Malas, sangat malas aku menjawabnya. Aku merasa lidahku ini terlalu membuang tenaga untuk bicara kepadanya. Sakit di mataku ini tidak sebanding dengan sakit di hatiku.

“Bunda, ini kaca matanya,” kata putraku yang seketika berlari ke arahku lalu memeluk sebelah kakiku.

Aku segera mengendong Gaffi, aku sangat ketakutan kalau suamiku akan merebutnya dariku. Ku dekap erat tubuh mungil itu dan tanpa terasa darah menetes dari hidungku. Dengan sakit kepala yang amat sangat, darah itu membasahi kaus putih putraku.

“Ayah, tolong Bunda!” jerit putraku ketakutan saat melihatku dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Aku bisa merasakan langkah kakinya yang berniat mendekatiku. Namun kutepis dengan cepat tindakannya itu. Ku tampik tangannya yang masih mengambang di udara dan nyaris menyentuh lenganku.

“Nala, aku mohon jangan seperti ini, ini namanya kamu menyiksa dirimu sendiri, ini dilarang agama Sayang,” bujuknya padaku.

“Stop! Jangan bicarakan agama. Jangan kendalikan aku dengan dalil yang kamu hapalkan itu. Sudah cukup! Kalau sakitku yang aku biarkan ini dilarang agama. Lalu tindakanmu selingkuh itu disahkan agama begitu?” tukasku tanpa kesabaran.

Aku melempar kaca mata yang tadi aku kenakan. Tidak puas rasanya aku tidak menunjukan kebencian dengan mataku sendiri. Tak kuhiraukan lagi suara tangis putraku dengan tangan mungilnya yang bergerak berusaha menghilangkan darah dari sekitar hidung dan mulutku.

“Diam kamu. Tidak bisa menjawabnya? Sekarang pilih kamu atau aku yang meninggalkan rumah ini. Pilih Mas!” sentakku keras dan semakin membuat tangis putraku kian menjadi.

Dia masih saja diam tidak bergeming. Tetap berada pada posisinya. Hanya saja, tangannya mengepal seolah begitu berat untuk memutuskan.

“Rumah ini adalah rumah untuk kalian, maka aku yang pergi,” ucapnya yang kemudian pergi tanpa sepatah kata lagi. Tidak ada juga upayanya untuk menyentuh putraku ini.

Mungkin putraku benar, kalau ayahnya sudah tidak sayang lagi dengannya. Jiwanya yang masih suci membuatnya jauh lebih peka. Bahkan bila kuingat lagi, putraku ini sudah berkali-kali mengatakan kalau ayahnya sudah tidak mencintainya lagi. Sayangnya, aku tidak mendengarkan itu, aku mengabaikannya lantaran terbuai dengan mulut manisnya.

Terdengar deru mesin mobil dan kulihat dari jendela, dia melesat pergi entah ke mana. Mungkin dia menuju ke rumah wanita itu. Entah siapa wanita itu aku tidak mau tahu. Bagiku siapa pun dia dan apa alasan mereka melakukan perselingkuhan ini tetap saja berada pada jalur yang salah.

“Bunda sakit?” tanya Gaffi dengan suaranya yang gemetar, dia masih ketakutan melihat darah yang belum berhenti juga merembes dari hidungku.

“Iya, Bunda sakit Sayang. Gaffi mau antar Bunda ke rumah sakit ‘kan?” tanyaku yang langsung diangguki oleh pria kecil itu.

Mungkinkah ini karma karena aku melawan perkataan kedua orang tuaku? Keadaan ekonomiku jatuh bangun setelah menikah. Suamiku sempat bangkrut beberapa kali lalu kembali bangkit dengan suntikan dana dari tanteku, Anggi.

Ayah, menentang hubungan kami sebab mas Akbar bukanlah orang dengan level perekonomian yang setara dengan keluargaku. Ya, perusahaan yang ia miliki hanyalah perusahaan kecil yang melakukan bisnis ekspor-impor dalam sekala kecil. Sedangkan ayahku, perusahaan yang ia miliki begitu besar, bergerak pada pengolahan bahan tambang sumber saya alam.

Sudah tujuh tahun semenjak aku menikah, aku sama sekali tidak pernah menghubungi keluargaku. Aku mengabdikan hidupku sepenuhnya kepada Mas Akbar. Aku membantunya dengan menjual semua perhiasan yang ibuku berikan sebagai investasi jangka panjang.

Dan…, ini yang aku dapatkan. Setelah uangku habis, aku dinilai sebagai beban. Setelah dia sukses, dia melupakan aku yang hanya berdaster di rumah.

Menyusuri lorong rumah sakit untuk mengantre berobat ke salah satu dokter umum yang ada. Tertulis nama di pintunya, nama yang membuatku ingat akan sepenggal kisah saat SMA. Ryan, nama yang tertulis di sana.

Beruntunglah aku, anakku ini anteng duduk di sampingku. Banyak orang yang menatapnya gemas dan ingin menyentuhnya, tetapi Gaffi bukan anak yang suka disentuh orang asing. Dia akan marah, atau bahkan menangis.

“Bunda, pusing?” tanyanya penuh dengan kecemasan.

“Iya Sayang, Bunda pusing. Bunda tidur dulu ya, nanti kalau nomor ini dipanggil Gaffi bangunkan Bunda ya?”

“Iya Bun,” jawabnya patuh dan terlihat ia menyimak dengan saksama nomor demi nomor yang di sebut.

Ada rasa bersalah yang menumpuk di dalam dadaku, di mana semua ini juga meremukan hati pria kecil yang saat ini dengan setia menunggu antrian untukku. Aku merasa gagal sebagai istri dan juga sekaligus ibu. Bagaimana tidak? Mana ada seorang anak di muka bumi ini yang menginginkan perceraian orang tuanya?

Jemariku bergerak mengetikan sesuatu dan mengirimkannya ke nomor ayahku. Sudah sangat lama dan dari semalam aku ragu. Aku hanya berharap mereka masih mau menampungku. Jujur, aku lemah saat ini dan aku butuh dukungan.

Beberapa saat mataku terpejam, hingga seseorang berbaju putih membangunkan aku pelan sambil menggendong putraku. Putraku mau digendong oleh orang asing? Siapa dia?

“Ibu Nala ya?” tanyanya sopan dan suaranya terdengar tidak begitu asing di telingaku.

“Iya, saya Dok. Ryan?” gumamku bertanya.

“Oh, Nala. Nala kamu rupanya? Apa kabar? Mari-mari masuk ke ruangan. Kita ngobrol di dalam,” ajaknya sambil tersenyum ramah dan putraku sama sekali tidak ketakutan digendongannya.

Ah, takdir macam apa ini? Aku malu sekali bertemu dengan mantan dalam keadaan kacau dan mengerikan seperti ini. Apa Tuhan sengaja ingin aku merasa malu di hadapannya?

Tidak ada yang berubah banyak dari sikapnya, dia masih sama ramah, baik dan sopan. Lama kami tidak bertemu tidak membuatnya canggung. Hanya saja aku yang merasa canggung karena dahulu, aku yang memutuskan hubungan kita karena dia yang melanjutkan pendidikan ke luar kota.

“Apa kabarnya? Jadi anak tampan ini anakmu? Aku salut sama dia, dia tadi berdiri di samping pintu menunggu nomor giliranmu. Dan saat aku keluar, tidak sengaja aku menabraknya. Kepalanya sedikit terbentur, tetapi tidak menangis. Anak yang hebat, dia juga sangat pintar. Oh iya, apa keluhanmu?” tanyanya setelah berbicara panjang lebar.

Aku hanya diam menyimak dia yang asyik berbicara. Sampai aku membuka kaca mata untuk menunjukkan keluhanku kepadanya. Dia langsung terdiam menatapku penuh dengan rasa iba. Atmosfer di sekitar kami seketika berubah seolah aku tertarik ke masa SMA di mana saat aku menjadi pacarnya. Saat aku yang pernah sakit dan harus di rawat, tetapi dia yang gelisah dan sedih setiap hari.

“Kenapa itu? Karena benturan, atau kamu banyak pikiran?” tanyanya lembut dengan sorot mata teduh menenangkan.

“Bunda semalam bertengkar sama ayah dokter,” adu anakku menyela pembicaraan kami.

Ryan menatap nanar kepadaku, dan putraku itu nyaman mengadu seolah ia menemukan wadah yang baru. “Tapi ayah enggak pukul Bunda, mata Bunda sakit katanya.”

“Gaffi,” lirihku memanggilnya agar dia terdiam dan tidak banyak bicara.

“Ada apa Nala?” tanyanya lagi pelan.

“Ada sedikit masalah dalam rumah tanggaku Yan, dan ya aku memang mempunyai riwayat sakit darah tinggi. Jadi tolong periksa saja aku dan jangan tanya soal rumah tanggaku,” pungkasku menghentikan rasa penasarannya yang mulai tumbuh dan bersemi.

“Kamu stres, banyak pikiran makanya bisa sampai seperti ini. Istirahat dan makan yang baik, untuk sementara jangan memikirkan hal yang tidak penting. Kesehatanmu lebih utama Nala,” pesannya kepadaku yang terdengar bijak.

“Iya, aku tahu. Tuliskan saja resepnya Yan, aku sudah sangat ingin tidur,” kataku dengan maksud aku ingin segera pulang dan beristirahat tanpa bertemu siapa pun kecuali anakku.

“Kamu mau tidur? Sini ikut aku. Kita periksa dulu, Gaffi turun dulu ya? Paman mau periksa ibumu.”

“Bukan ibu Paman, Bunda,” ralat anakku yang tidak mau siapa pun salah sebut panggilan kepadaku.

“Oh iya, Bunda,” ucapnya mengikuti kemauan putraku.

Apa yang aku lihat saat ini seperti berputar. Aku kehilangan keseimbangan saat berdiri dan Ryan dengan sigap membantuku. Jujur saja aku canggung dan juga ada segelintir rasa risih.

Perlahan dia membantuku sampai aku berbaring dengan benar dan dia mulai memeriksaku. Profesional. Itulah kata yang termat untuknya. Sama sekali tidak ada pertanyaan yang menyinggung atau bahkan membuatku merasa tidak nyaman.

“Menurut hasil pemeriksaan, kamu tidakku izinkan pulang. Kamu harus dirawat Nala,” terangnya setelah mengamati hasil pemeriksaan.

“Tapi Yan, anakku sekolah, aku tidak mungkin melepaskan anakku sendirian,” paparku penuh penekanan.

“Suamimu ke mana?” tanyanya yang pada akhirnya membuatku kembali menangis.

“Satu jam, ceritakan kepadaku supaya aku bisa membantumu. Aku tahu kamu mungkin masih Nala yang sama. Nala yang tertutup untuk hubungan asmara. Dan Nala yang selalu dibutakan cinta,” ungkapnya yang mengingatkan aku akan aku yang memang seperti apa yang dia sebutkan.

“Kami bertengkar Yan, aku kecewa. Aku mempercayainya secara utuh dan aku mengorbankan hubunganku dengan ayah dan ibu tapi, kemarin, aku memergoki dia.” Aku menumpahkan segalanya.

“Jangan gegabah dalam mengambil keputusan Nala, tenangkan dulu pikiranmu. Apa kamu sudah tahu siapa wanita itu?” tanyanya yang kemudian mantapku datar.

“Enggak Yan, aku enggak mau tahu. Aku hanya ingin bercerai,” putusku sambil menangis.

“Semoga saja bukan orang terdekatmu Nala, karena itu akan lebih menyakitkan,” ucapnya yang kemudian membuatku berpikir ulang untuk mencari tahu siapa wanita itu.

Dari sekian banyak anggota keluarga, hanya tante Anggi yang paling sering bertemu dengan suamiku. Apa mungkin itu dia? Orang yang sudah kuanggap sebagai penolongku?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status