Share

4. Pertengkaran di Rumah Sakit

Pertengkaran di Rumah Sakit

Aroma karbol begitu menguar di penciumanku. Aku masih merasakan pusing di bagian kepalaku. Amat sangat pusing dan berdenyut membuatku merasa kesakitan meskipun hanya ingin berganti posisi.

“Akh ….” erangku kesakitan saat aku berganti dari berbaring menjadi miring.

Seketika itu juga ada tangan kekar yang membantuku. Aku sangat hapal dengan tangan itu yang di sana masih tersemat cincin pernikahan kami. Seketika itu juga aku menampiknya, kutampik sekuat tenaga dan menatapnya nyalang.

“Kenapa kamu ada di sini? Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!” usirku padanya sebab aku masih merasa begitu muak dengan semua ini.

Dia menatapku sayu, wajahnya terlihat kuyu, entah kenapa mungkin karena kurang tidur atau apa aku juga tidak tahu. Aku tidak berharap ataupun berpikiran kalau pria yang merupakan ayah dari putraku ini akan ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan kami. Sebaliknya, aku sangat yakin bila masalah ini bukanlah apa-apa baginya. Kemarin saja dia dengan mudah melepaskan kami tanpa upaya apapun untuk mempertahankan hubungan kami.

“Sayang, jangan begitu.” Dia berbicara masih menggunakan panggilan itu. panggilan yang tiba-tiba saja membuatku merasa jijik.

Sangat jijik ketika mendengarnya. Sudah pasti dengan wanita lain itu dia juga menggunakan panggilan yang sama. Saat ini aku hanya merasa nasibku begitu buruk, aku yang terlalu memercayainya dan kini harus menelan pil pahit. Cinta kami tidak semanis apa yang sering aku impikan.

“Apa urusanmu dengan hidupku? Aku sudah putuskan akan mengurus perceraian kita,” kataku tanpa sudi menatap wajahnya.

Terdengar suara deritan kursi, dia menariknya lalu duduk di sampingku. Andaikan saat ini tubuhku dalam keadaan sehat, sudah pasti aku akan berlari menghindar darinya. Sayangnya, saat ini aku hanya seperti patung yang tidak mampu bergerak banyak.

“Nala, Sayang. Kita ini masih suami istri, jadi jangan keras kepala seperti ini. Kita bicarakan ini baik-baik ya,” bujuknya padaku.

“Pergi, pergilah sejauh mungkin aku sudah tidak peduli lagi. Jangan juga urusi hidupku dan Gaffi. Aku masih kuat untuk menghidupi dan membahagiakannya. Urus saja wanitamu yang hamil itu.”

Kurasakan dia menyentuh tanganku yang tertancap infus. Bagaimana dan siapa yang memberitahunya mengenai keberadaanku di sini, aku pun tidak tahu. Saat ini, aku sudah sangat ingin menamparnya atau mencacinya sesukaku. Sayangnya tenagaku tidak sekuat itu, bahkan hanya untuk berbicara banyak saja aku sudah terengah-engah.

“Nala, aku rasa aku sudah tidak bisa menutupi ini lagi. Aku memang mempunyai wanita lain, tetapi aku melakukan itu juga untukmu. Untukmu dan masa depan Gaffi,” paparnya yang membuat hatiku remuk seketika.

Gila, ini sangat gila. Dia mencari pembenaran atas apa yang telah dia lakukan. Dia katakan kalau perselingkuhan ini demi aku dan juga masa depan putra kami? Cih! Sejujurnya aku sudah sangat ingin melenyapkan nyawa lelaki ini. Aku tidak bisa berkata lagi, hatiku begitu sakit hingga membuat napas dan tenagaku semakin menurun.

“Tidak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah perselingkuhan apapun alasannya Mas. Percuma kamu mencari pembenaran seperti ini. Apa anakmu akan senang bila mengetahui ini? Ayahnya menjual nama anaknya semata-mata hanya untuk mendapatkan pembenaran atas kesalahan fatal yang dia lakukan.”

“Nala, apa tidak kamu lihat sejauh mana perjuanganku demi kebahagiaan kalian. Di saat kita terpuruk aku yang pontang-panting demi bangkitnya perekonomian keluarga kita. Sementara kamu, kamu hanya bisa berdiam diri di rumah menerima hasilnya,” ungkitnya dengan harapan aku akan mengiba dan memberikan toleransi terhadap kesalahannya ini.

“Jadi kamu mengungkit apa yang sudah kamu berikan kepada kami? Tentang jerih payah itu dan kamu menilai kami ini tidak ikut andil di dalamnya? Terima kasih banyak Mas, bertahun-tahun kita bersama, sekarang aku baru membuka mata. Inilah kamu yang sebenarnya, kamu tidak pernah ikhlas terhadap apa yang kamu dedikasikan kepada keluarga ini.” Aku menyeka air mataku. Sakit sungguh sakit yang kurasa saat ini di mana dia mencari pemebenaran atas perselingkuhan yang ia lakukan dan seenak hatinya menyalahkan aku. Dia mengungkit semua perjuangan yang memang seorang suami wajib berikan kepada keluarganya.

Dia lagi-lagi mencari perhatianku dengan mengusap lembut kepalaku yang masih berdenyut dan serasa mau pecah ini. Air mataku tak terbendung lagi meluncur bebas seiring dengan jeritan hatiku saat ini. Andaikan tangis hati ini bisa ia dengarkan, mungkin saat ini hatiku sedang meraung dan memakinya, mengumpat dengan kata-kata kasar dan sumpah-serapahnya.

“Aku ikhlas Nala, aku snagat ikhlas. Aku mengatakannya supaya kamu tahu saja, ini semua bukan atas dasar kemauanku. Aku hanya khilaf,” ucapnya yang menyita perhatianku. Aku seketika menoleh dan menatapnya tajam.

“Kamu khilaf? Khilaf Mas? Hanya orang bodoh yang mempercayai perselingkuhan itu adalah kekhilafan. Bukan kekhilafan, kamu melakukannya dengan sangat sadar bahkan berulang-ulang sampai perempuan itu hamil anakmu. Itu yang kamu sebut khilaf?” cecarku dengan cucuran air mata cerminan hancurnya jiwa.

Dia terdiam. Aku mengusap air mataku lagi dan saat ini sakit kepalaku kian menjadi. Entah di mana keberadaan putraku kini aku baru menyadari bahwa aku hanya seorang diri di dalam kamar ini. Lalu ke mana perginya putraku Gaffi?

Terdengar pintu terbuka, aku menoleh dan melihat sesosok lelaki berjas putih masuk dengan wajah paniknya sambil menggendong putraku. Dia Ryan. Dia datang di saat yang tepat. Saat di mana aku membutuhkan bantuan seseorang untuk mengusir penghianat ini.

“Bunda!” seru putraku saat pertama melihatku dengan wajahku yang sudah kacau dan mataku yang sembab.

“Gaffi, sini sayang sama ayah,” katanya mengulurkan tangannya kepada Gaffi dan putraku itu hanya diam menatapnya dingin. Tatapan yang belum pernah ku lihat ada padanya selama ini.

“Om Iyan, Gaffi mau sama Bunda,” ucapnya lembut meminta tolong kepada Ryan agar mendekatkannya kepadaku.

“Iya, Om kasih ke Bunda ya. Sekalian Om mau periksa tensi darah Bundamu. Sudah baik, atau malah naik,” ucap Ryan dengan tatapan matanya yang dingin menatap Mas Akbar.

“Kamu masih sakit Sayang, biar Gaffi sama aku aja. Aku bisa urus dia,” kata Mas Akbar dengan lembutnya seolah tidak ada pertengkaran yang terjadi diantara kami. Aku sangat yakin dia bersikap begini karena ada Ryan. Semua ini dia lakukan semata-mata hanya untuk menjaga nama baiknya. Bukan untuk menjaga perasaanku.

“Jangan berpura-pura baik di hadapan orang lain Mas. Hentikan itu, aku sudah muak, aku tidak akan memberikan Gaffi kepadamu apapun alasannya.”

“Kamu bicara apa sih Sayang, udahlah enggak usah drama,” tuturnya yang masih berusaha menutupi pertengkaran kami.

“Mas! Hentikan kepalsuan ini. Kalau bagimu tangisanku dan rasa sakit hatiku ini hanya sebuah drama. Maka pergilah! Pergilah dan urus saja wanitamu yang kamu hamili itu. pergi!” teriakku sekuat tenaga dengan semua rasa benci yang bertumpah ruah di sana.

Melihatku yang tiba-tiba duduk dan aku yang begitu emosi membuat Ryan seketika mendekapku. Gaffi dan Ryan mendekapku untuk menenangkanku. Rupanya hal itu memancing emosi dari Mas Akbar.

Tanpa kuduga, bogem mentah seketika ia tujukan ke wajah tampan dokter muda itu. Ryan pun sama sekali tidak tinggal diam. Dia dengan cepat mengambil tindakan dan membalasnya. Gaffi yang ketakutan terus saja menangis dalam dekapanku.

“Berani kamu memeluk istriku?” teriaknya dengan penuh emosi sebelum tinjunya mendarat di wajah Ryan.

“Aku hanya menenagkannya, dia sakit dan tidak boleh tertekan. Suami macam apa kamu yang membuatnya sampai dalam keadaan seperti ini?” bentak Ryan tidak kalah lantang.

“Terserah aku mau bagaimana yang jelas dia masih istriku yang sah!” balas Mas Akbar dengan membentak Ryan dan tatapan matanya yang tajam mengerikan.

Adu jotos itu terjadi dan Ryan dengan sengaja menggiringnya sampai ke luar ruang rawat dengan terus saling balas pukulan. Aku hanya terdiam dan melamun. Tubuhku lemas dan tenagaku habis. Aku tidak bisa bicara banyak lagi. Semoga saja tidak terjadi hal parah pada Ryan. Itu harapanku saat ini. Ya, aku berdoa bukan untuk suamiku lagi, tapi untuk mantan pacarku semasa SMA.

****

Lelah menangis membuatku tertidur sambil memeluk Gaffi. Putraku yang tadi ketakutan itu masih setia berada di sampingku. Perlahan saku membuka mata dan kudapati Ryan tertidur juga di sampingku tepat di samping tanganku yang masih terpasang jarum infus.

Dengan jelas aku bisa melihat luka di batang hidungnya yang mancung. Di tulang pipinya juga memiliki lebam dan lecet yang lumayan parah. Ini semua karena dia berupaya membelaku. Dia melakukan tadi semata-mata hanya untuk menenangkanku yang terbawa emosi. Hanya saja, Mas Akbar tidak terima. Mengapa tidak terima aku disentuh pria lain? Sedangkan dia saja sudah menghamili wanita lain. Apa hubungan yang seperti ini masih patut kupertahankan?

Air mataku kembali luruh, aku berada pada titik terendah hidupku. Aku merasa aku gagal dan tidak berguna. Sekuat mungkin aku menyembunyikan isakan kesedihan ini namun rupanya Ryan mendengar isakan pilu kalbuku. Aku merasakan jemarinya perlahan mengusap lenganku.

Dalam diam, aku menatapnya. Dia pun menatapku meski tanpa bicara. Terulur sebuah tisu tepat di hadapanku dan hal itu semakin membuatku haru. Apa yang Ryan lakukan kali ini sama seperti yang dahulu pernah Mas Akbar lakukan untukku. Selembar tisu penyeka air mata.

Dulu, Mas Akbar berkata, “Menangislah dibahuku, pakai aku sebagai sandaranmu.” Cih! Itu smeua palsu mengingatnya saja sudah membuatku muak.

“Nangis saja Nala, kuras air matamu dan cukup kamu sisakan kebagaioaan dan senyuman saja. Buat apa kamu menangisi pria seperti dia?” gumam Ryan yang begitu jelas terdengar di telingaku di antara isakan piluku.

“Aku menangis karena aku merasa lemah Ryan, aku merasa gagal sebagai ibu. Aku tidak bisa menjaga kutuhan rumah tangga kami,” kataku lirih dengan rasa malu yang amat sangat.

“Hei … kamu itu enggak gagal, siapa yang bilang kamu gagal? Justru ini adalah pembuktian awal kalau kamu adalah ibu yang kuat. Ibu yang bertekad menjauhkan anaknya dari contoh buruk. Kamu hebat Nala, tidak semua wanita berani mengambil keputusan dan berjuang seperti kamu ini. Aku merasa bangga terhadap keputusanmu,” ujarnya menguatkan aku.

“Benarkah begitu Yan?” tanyaku ragu dengan mata yang basah aku memberanikan diri menatapnya.

“Iya kemu benar. Kamu sudha mengambil langkah yang benar. Aku mengatakan ini bukan karena aku masih menyukaimua atau karena kita adalah mantan kekasih saat SMA. Aku mewngatakan ini karena memang secara agama pun tindakan suamimu itu tidka ada jalur benarnya. Hal seperti ini tidak bisa ditoleransi dalam sebuah hubungan, dia akan mengulanginya lagi dan lagi,” ucapnya pelan.

“Sebaiknya kamu beritahukan hal ini pada keluargamu,” kata Ryan yang membuatku kembali tergugu.

“Tidak bisa Yan,” tolakku.

“Kenapa tidak bisa Nala? Mereka keluargamu dan mereka berhak untuk tahu,” tutur Ryan penuh penekanan menatapku teduh seolah menguatkan.

Bagaimana? Abagaimana caraku mengatakan kebusukan suamiku kepada keluargaku? Bagaimana caranya? Apa aku punya nyali untuk itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status