Share

Bab 2. Pertengkaran Kami

Bab 2. Pertengkaran Kami

“Bangun Bun, bangun, kamu kenapa kok tidur di sini? Kamu mimpi apa kok sampai nangis?” tanyanya kepadaku sambil menyeka pipi basahku dengan tisu.

Aku menatapnya, tatapan sendu berurai air mata menggambarkan sedih hatiku. Aku bersyukur semua itu hanya mimpi dan walaupun hanya mimpi, tetapi hal itu terasa begitu nyata. Seolah menikam jantungku tanpa perasaan. Sakit dan sesak secara bersamaan.

“Mimpi apa, hum? Kenapa sampai nangis begini, kenapa tidur di sini? Nanti kamu sakit punggung loh,” ucapnya yang berusaha membujukku untuk mengatakan semuanya tentang apa yang aku alami di dalam mimpi di seperempat malam.

“Enggak bukan apa-apa,” jawabku kepadanya sambil mengusap sisa air mata yang masih terpampang di pipi mulusku.

Mimpiku semalam begitu jelas. Terasa begitu nyata, aku melihatnya bersama wanita dan seorang bayi laki-laki. Sayangnya, dalam mimpiku itu wajah wanita itu buram dan dia hanya diam sambil menggendong bayinya. Oh mengingatnya lagi membuatku merasa buruk. Aku merasa menjadi istri yang gagal.

“Bun, kalau ada apa-apa itu bilang. Kamu mikirin apa, kok sampai terbawa mimpi? Kata psikolog begitu, apa yang kita pikirkan secara berulang-ulang sebelum tidur itu akan terbawa ke alam bawah sadar sebab pikiran kita mengulangnya dan itu sama saja seperti diri kita memberikan sugesti untuk mengulang apa yang kita pikirkan tadi,” paparnya memberikanku penjelasan secara medis mengenai apa yang baru saja aku alami.

Iya, dia memang ada benarnya. Benar apa yang dia katakan mengenai sugesti dan juga cara otak memprogram pikiran manusia. Hhh … tapi tidak bagiku yang mempercayai teori lain bahwa mimpi adalah pesan. Karena tidak semua mimpi bisa kita ingat sampai membuka mata.

Bagiku, bila mimpi itu kosong, saat bangun maka kita akan lupa begitu saja. Seberapa kerasnya kita mencoba mengingatnya maka akan tetap tidak bisa ingat, tapi mimpiku ini? Sedihnya, sakitnya, sesaknya masih bisa ku rasakan dan bertambah sesak saat melihat wajahnya.

“Begitu ya? Mungkin karena aku baru saja menyelesaikan maraton drama semalam. Jadi sampai terbawa mimpi.” Bohongku dengan ku lampiri senyuman palsu pembungkus dusta.

Tangannya terulur mengusap surai hitamku. Dia lalu mengecup keningku dengan lembutnya. Di dalam matanya yang teduh itu aku tidak menemukan apa-apa. Kosong dan terlihat tak bisa lagi terbaca apa yang ia simpan di sana.

“Makanya, jangan melulu nonton drama aja. Kamu pasti selama aku pergi Cuma sibuk nonton drama ya? Cari kesibukan lain Sayang, sesuatu yang bermanfaat atau mungkin bisa menambah income,” ucapnya dengan lembut tetapi membuatku merasa tercubit dengan perkataan tersebut.

Ya, belakangan ini dia memang sering menyindir mengenai ini. Sayangnya pemikiranku dan dia bertolak belakang. Aku menganggur di matanya, tetapi di mataku aku ini sibuk luar biasa.

Semenjak menjadi seorang ibu, aku merasa diriku ini bukanlah diriku yang sebenarnya. Suamiku ini, sering menyindir mengenai income dan aku yang terus saja dia katakan harus mempunyai kesibukan lain. Entah ini dukungan atau memang baginya aku ini hanyalah suatu beban, aku tidak tahu.

“Aku ‘kan udah bilang Mas, aku mau fokus sama Gaffi dulu, nanti kalau dia sudah masuk SD baru aku akan mulai mencari kesibukan,” jawabku yang selalu saja sama dan mungkin saja jawabanku itu tidak bermakna baginya.

“Iya, tapi Gaffi itu sudah besar. Pagi ini saja dia membangunkan aku sudah dengan memakai seragamnya,” katanya yang membuatku baru sadar seberapa siang aku bangun.

“Astaga! Anakku, dia sudah berangkat Mas?” tanyaku yang baru saja ingat akan keperluan sekolah anakku itu.

Suamiku tersenyum lalu mencium pipiku. “Iya udah Sayang, tadi dia nyariin kamu, tapi aku urus dia. Aku juga udah antar dia, dia sudah besar sekarang, padahal belum lama aku mengajarinya berjalan.”

Dia berbicara layaknya ayah yang baik. Dulu aku sangat mempercayai semua perkataan dan tingkahnya di luaran sana yang dicap sebagai orang yang baik. Tapi sekarang? Setelah mimpi itu, aku jadi meragukan semuanya.

“Syukurlah, kalau begitu. Kamu mau makan apa Mas?” tanyaku padanya dengan membelokkan pembicaraan kami.

“Aku siang ini ada pertemuan dengan klien. Dia bisanya hari ini sebab besok sudah terbang ke Canada. Anaknya sakit katanya,” ucapnya dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Harus ya Mas? Tidak bisa kamu menyuruh sekretarismu mewakilkan?” tanyaku yang kesal saja. Baru kemarin dia pulang dan sekarang sudah harus pergi lagi.

“Sekretarisku itu masih bujangan, seminggu lalu dia kerja keras di kantor jadi hari ini dia merengek minta cuti. Pacarnya ngajak jalan katanya.”

“Ya sudah, kalau begitu.”

Jujur saja aku malas berdebat, malas juga mendengarnya alasannya yang entah mengapa bagiku itu hanyalah bualan saja. Tetapi Ibuku mengajarkan aku agar menghargai suami. Pengaruh mimpi itu sungguh membuatku jadi benci secara tiba-tiba terhadapnya.

“Kamu marah Nala?” tanyanya seraya memegangi tanganku dengan eratnya.

“Enggak, aku mau mandi aja. Hari ini kalau kamu mau pergi ya pergi aja, aku malas masak kalau kamu pergi. Biar nanti aku sama Gaffi pesan makanan. Males juga keluar, panas gini.” Bohongku sambil berlalu pergi setelah sebelumnya aku mencium pipi suamiku.

“Serius Sayang, kamu enggak marah? Tapi mukamu seperti itu,” ucapanya padaku sambil menyentuh wajahku dan aku secara reflek menepisnya pelan.

“Ini cuma kurang tidur aja kok,” kilahku yang kemudian berlalu pergi setelah manikku tak sengaja menatap canggung maniknya.

Aku pun mandi dan tidak lama aku juga mendengar deru mesin mobilnya. Dia memacu mobil itu dan pergi begitu saja. Aku terdiam memikirkan semuanya.

Tetes demi tetes air yang mengenai wajahku yang menengadah ini membuatku merasa sedikit relax. Aku masih saja memikirkan tentang mimpiku. Aku melihat pantulan wajahku dicermin.

“Apa iya suamiku selingkuh? Kenapa aku tidak bisa melupakannya? Apa arti mimpiku semalam?” Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Setelah mandi aku lalu memakai pakaian santaiku dan bergegas menjemput putraku. Lumayan lama aku menunggunya, hingga dia yang kutunggu akhirnya datang juga. Dia tersenyum dan berlari kecil dengan ceria seolah aku adalah rumah baginya.

“Bunda, lapar ....” ucap anakku dengan lembutnya.

Aku tersenyum dan kuusap pipi chubby yang merona karena terik matahari. Mungkin saja tadi anakku itu bermain di luar ruangan. Tidak bisa kupungkiri, aku pun merasakan hal yang sama. Aku juga lapar.

“Lapar ya? Kita pesan saja dan makan di rumah bagaimana?” tanyaku kepadanya yang kali ini terlihat tidak berselera.

“Bosan Bun, makan di rumah. Mau makan di luar, kita sudah lama tidak berjalan-jalan. Ayah selalu sibuk!” ketusnya yang membuatku tersadar.

Iya, selama dua bulan ini suamiku memang tidak punya waktu luang untukku. Selalu ada saja alasan untuk dia keluar rumah. Aku dan Gaffi selalu memberikan toleransi. Tetapi, bila terus seperti ini, aku rasa tidak akan baik.

“Begitu ya? Bagaimana kalau kita makan sekalian jalan-jalan di Mall?” tanyaku kepada putraku.

“Mau Bun!” serunya dengan binar kebahagiaan. Kakinya bergerak-gerak senang dan tangannya bertepuk riang.

Tidak ada yang lebih melegakan di dunia ini bagi seorang ibu selain melihat kebahagiaan pada buah hatinya. Melihat senyum dan tawanya membuat hatiku berbunga-bunga. Aku sangat senang bisa membuatnya seperti ini.

Sepanjang perjalanan kulihat dia bernyanyi. Kesenangan putraku ini begitu sederhana. Dia hanya ingin berkumpul dengan kedua orang tuanya. Hanya saja selalu ada hal bisa membuat kecewa, Suamiku dia sangat sibuk belakangan ini.

Kami sampai di mall dan hal pertama yang aku lakukan adalah membelikan dia pakaian. Mengganti bajunya dan setelahnya ku ajak dia memesan makanan. Namun, ada sesuatu yang membuatku terperangah.

Kudapati suamiku berjalan dengan seorang wanita hamil. Dia menggandeng tangan wanita itu dan mereka terlihat berbincang hangat. Tidak mungkin aku salah lihat, aku sangat hapal tubuh suamiku.

Tanpa terasa, mataku merasa panas dan air mataku luruh begitu saja. Kuambil ponselku dan kuabadikan apa yang ada di depan mataku. Setelahnya, kuhubungi dia.

Benar saja, dia adalah suamiku. Dia terlihat mengotak-atik ponselnya tetapi tidak mau mengangkat panggilanku. Ingin rasanya aku berlari ke arahnya dan ku luapkan segalanya. Namun, aku yang baru saja hendak berdiri seketika terhenti kala putraku mencekal pergelangan tanganku.

“Ada apa Sayang?” tanyaku sudah dengan luapan amarah, namun aku masih menjaga sikapku di hadapan putraku.

“Suapi Bun, aku takut kena duri,” ucapnya meminta bantuanku.

“Oh, maafkan Bunda ya? Bunda tadi haus dan mau ambil minum. Sampai lupa deh kalau ada Gaffi di sini,” kataku sembari memberikan senyuman termanisku.

Aku menyisihkan duri pada ikan itu tapi tidak duri dalam hatiku yang malah semakin banyak menancap dan melumpuhkan hatiku. Sebisa mungkin aku menjaga semuanya di hadapan putraku. Sebisa mungkin aku harus menjadi contoh ibu yang baik baginya.

“Bunda lihat apa?” tanyanya saat melihatku tetap menatap lurus ke arah jalannya mas Akbar bersama wanita hamil itu.

“Suamiku menghamili wanita lain?” geramku dalam hati. Dia yang ku nilai baik dan taat, pada nyatanya malah seperti ini.

Aku masih mencoba bersabar dan menguatkan diri. Anakku tidak boleh tahu soal ini. Jika pun harus sakit, cukup aku saja.

Aku tidak mau merusak hari dan kebahagiaan putraku. Dia begitu senang bermain bersama teman sebayanya yang baru saja dia kenal. Ya, anakku itu adalah anak yang ceria, dia juga mudah bergaul.

Siapa sangka di saat seperti ini, mataku menangkap sesosok wajah yang dahulu pernah singgah di hatiku saat remaja. Ryan, mantan kekasihku saat SMA. Entah ini mimpi atau bukan, tetapi harus ku akui, dia semakin tampan saja. Segera kupalingkan muka agar dia tidak melihatku. Jujur saja aku malu, dan juga aku masih ingin menjaga hati suamiku.

Walaupun, saat ini sudah sangat jelas di mataku, suamiku itu nyata-nyata berselingkuh. Oh, mengingatnya kembali membuat dadaku sesak. Ryan, semoga kamu bahagia bersama wanitamu. Harapku dalam hati.

***

“Sudah malam, tapi dia belum pulang. Aku yakin, dia saat ini tengah bersama wanita tadi! Penghianat kamu Mas!” Aku berteriak seperti orang gila di dalam kolam renang pada tengah malam. Kuluapkan semuanya di dalam kolam ini. Kudinginkan hati dan pikiranku dengan menyelam.

Kegelisahan itu masih melingkupi di saat suamiku belum juga kembali. Akhirnya aku mencoba menghubunginya namun tetap dia abaikan. Sampai ... Aku mengirimkan gambar tadi kepadanya.

“Selesaikan urusan kita dan silahkan urus wanita yang kamu hamili itu!” Tulisku pada pesan yang kukirim.

“Aaa...!” teriakku di dalam air sambil menangis menjerit-jerit. Setidaknya air kolam ini mampu meredam kerasnya jeritanku tanpa mengganggu tidur nyenyak putraku.

Setelah aku merasa puas dan tubuhku menggigil kedinginan, aku yang kacau mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Bersamaan dengan itu aku berpapasan dengan suamiku yang baru saja tiba. Dia terlihat terengah-engah dan mentapku nanar.

“Nala, aku bisa jelaskan semuanya. Kejadiannya tidak seperti itu Nala, kamu salah paham,” ucapnya yang masih mencoba berkelit.

“Salah paham? Salah paham katamu Mas? Aku yang salah paham? Sebutkan di mana letak salahnya aku!” bentakku padanya meski dengan suara yang bergetar dan mataku yang memanas dan berair lagi.

Dia mendekat dan mencoba menyentuhku. Segera aku menepisnya hingga tangannya terbentur pagar tangga. Iya, kami bertengkar di depan anak tangga menuju ke kamar kami.

“Nala! Aku bisa jelaskan!” dia berbalik membentakku.

“Apa? Apa yang kamu mau jelaskan? Tentang kamu yang sok baik dan nyatanya menghianati rumah tangga kita? Menghianati aku dan Gaffi? Salah apa aku sama kamu Mas?” cecarku tiada henti. Kuluapkan segalanya meski terasa begitu menyakitkan.

“Aku tidak seperti itu Nala! Tidak! Dari mana kamu dapat foto itu? Pasti itu hanya akal-akalan orang yang ingin melihat kehancuran kita! Itu hanya foto editan! Mana mungkin aku seperti itu Nala. Seharian ini aku bekerja,” ucapnya yang terus saja berkilah dan justru melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Dia mencari pembenaran.

“Kamu bilang orang lain yang mengirim gambar ini yang ingin rumah tangga kita hancur?” tanyaku menahan ledakan amarah yang memenuhi dadaku.

“Iya, itu hanya foto rekayasa.” Lagi-lagi dia menekankan perkataannya bila semua itu hanya rekayasa.

Aku tersenyum miring dengan deraian air mata. Kutatap matanya tanpa berkedip dan, aku menampar pipinya sekuat tenaga.

Plak!

“Aku! Aku yang mengambil gambar ini! Apa untungnya bagiku merekayasa perselingkuhan suamiku? Aku melihatnya langsung, melihat kamu dan dia yang berjalan mesra. Kamu yang juga mengabaikan panggilanku. Puas kamu menghancurkan aku?” pekikku kuat hingga membangunkan putraku yang membuka pintu sambil menangis ketakutan melihat kekacauan yang kami lakukan.

“Ayah ... Bunda ....” lirih putraku memanggil kami sambil menangis memeluk bonekanya.

“Sayang,” kataku yang segera menyergapnya membawanya masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu kamar.

“Bunda kenapa nangis?” tanyanya sambil mengusap bulir air mataku.

Perlakuan lembut putraku membuatku semakin tergugu. Bagaimana tidak? Wajahnya samar-samar mempunyai kemiripan dengan ayah kandungnya, dengan mas Akbar suamiku, yang satu menguatkan aku, tetapi yang satu meleburkan aku. Badai ini datang di saat aku terdampar dalam peluk kebahagiaan. Aku terlalu terlena dengan ketenangan sebelum hempasan badai ini.

“Nala! Buka pintunya!”

Teriaknya memekakkan telinga, suaranya menggema dan membuat putraku semakin ketakutan. Aku sudah muak dengan ini, begitu menyakitkan dan membuatku tidak bisa mentolerir. Janji pernikahan kami sedari dulu adalah, sesusah dan terpuruknya kami akan selalu menguatkan dan memaafkan kecuali perselingkuhan.

Sekarang ini, mungkin adalah waktunya bagiku untuk melangkahkan kaki dan menepati janji pernikahan kami. Apakah aku akan kuat?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status