Pagi ini Clara memaparkan laporan perkembangan proyek yang tengah dibangun, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pihak pengawas, lalu menutup sesi dengan ringkas. Semua peserta memberikan tepuk tangan ringan sebelum berdiri meninggalkan ruangan.
Seorang manajer muda menghampirinya. “Bu Clara, terima kasih atas presentasinya. Izin pamit dulu, ya.”“Iya, silakan. Terima kasih juga sudah datang.”Begitu semua keluar, Clara menghela napas lega. Ia membereskan beberapa catatan, lalu keluar menuju lift untuk ke parkiran basement. Namun, langkahnya terhenti mendadak.Di kursi lobi, duduk seorang pria yang sangat ia kenali. Rambut cepak, jas abu-abu formal, tangan kanan menopang dagu seolah-olah tak sengaja menunggunya. Evan.Clara langsung menunduk dan membalikkan badan, bergegas menuju lift tanpa suara. Namun Evan melihatnya.“Clara!”Langkah Clara semakin cepat.“Clara, bentar, dong—”Tangan Evan meraih lengaPagi ini Clara memaparkan laporan perkembangan proyek yang tengah dibangun, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pihak pengawas, lalu menutup sesi dengan ringkas. Semua peserta memberikan tepuk tangan ringan sebelum berdiri meninggalkan ruangan.Seorang manajer muda menghampirinya. “Bu Clara, terima kasih atas presentasinya. Izin pamit dulu, ya.”“Iya, silakan. Terima kasih juga sudah datang.”Begitu semua keluar, Clara menghela napas lega. Ia membereskan beberapa catatan, lalu keluar menuju lift untuk ke parkiran basement. Namun, langkahnya terhenti mendadak.Di kursi lobi, duduk seorang pria yang sangat ia kenali. Rambut cepak, jas abu-abu formal, tangan kanan menopang dagu seolah-olah tak sengaja menunggunya. Evan.Clara langsung menunduk dan membalikkan badan, bergegas menuju lift tanpa suara. Namun Evan melihatnya.“Clara!”Langkah Clara semakin cepat.“Clara, bentar, dong—”Tangan Evan meraih lenga
Hari itu akhir pekan. Pusat kota tampak lebih lengang dari biasanya, langit bersih, udara cukup bersahabat. Di dalam mobil hitam mewahnya, Dion menyetir sendiri, mengenakan kemeja linen biru langit yang digulung di lengan, dengan jam tangan Rolex di pergelangan kirinya. Di sebelahnya, Clara duduk anggun, mengenakan blouse putih satin dan rok A-line warna beige, rambutnya dikepang simpel ke satu sisi."Jadi, kita mau ke mana, nih?" tanya Clara sambil melirik jam."Refreshing dikit, sebelum besok aku terbang," jawab Dion santai.Clara langsung menoleh. "Kamu ke luar negeri?"Dion mengangguk. "Iya. Mau pantau langsung cabang di Tokyo. Kayaknya semingguan, deh."Clara mengangguk pelan. “Pantes kamu ngajak jalan hari ini.”“Ya masa ninggalin tunangan sendiri tanpa quality time dulu,” godanya.Clara tertawa kecil, pipinya sedikit memerah. “Ya nggak gitu juga, Mas.”Setelah beberapa menit, mobil Dion berhenti di p
"Tapi aku nggak pernah denger Dion pernah menikahi."Rania mengangguk. "Saat itu memang dia hanya sendirian, ditemani pihak KUA tanpa orang tua dan kerabatnya. Tapi kami menikah sah, dan seharusnya perceraian kami juga diurus pengadilan. Tapi, itu belum. Entahlah, statusku seperti digantung. Mungkin juga Dion menyembunyikan aku dari keluarga dan orang lain, jadi wajar kalau nggak ada yang tahu masa lalunya. Aku ini korban, aku nggak tahu apa alasannya menyembunyikan status pernikahan kami sebelumnya," jelasnya, mengubah suaranya selirih mungkin agar tampak menyedihkan.Tubuh Evan masih kaku. Wajahnya seolah kehilangan rona, mulutnya setengah terbuka menahan keterkejutan. “Aku juga nggak percaya kalau kamu bilang barusan. Ada bukti?” tanyanya, masih tak percaya.Rania menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Aku punya surat nikahnya di rumah kalau kamu mau lihat. Kami cerai juga baru-baru ini, kok, sebelum dia kembali ke perusahaan. Dia jatuhkan talak dan
“Liv, aku keluar duluan, ya,” ucap Rania sambil menarik jaket dari gantungan di balik dapur bar.Livia yang sedang menyulut rokok melirik dari balik asap. “Lho, shift-mu belum selesai, Ran.”“Ada tamu VIP minta ditemenin ngobrol. Katanya pengen suasana yang lebih tenang.”Livia tersenyum miring, lalu berjalan mendekat dan menyikut pinggang Rania. “Wah, pinter juga kamu. Baru juga malam pertama udah dapet yang begituan. Siapa, sih, tamunya?”“Namanya Evan. Duduk bareng Om-om di meja sepuluh tadi.”Livia terkekeh. “Oh, yang kemeja hitam itu? Wah, dia langganan yang enggak pelit. Dulu pernah ajak si Nesa juga, tapi Nesa enggak cocok katanya.”Rania mengancingkan jaketnya setengah. “Ya, doain aja aku cocok.”“Udah pasti cocok. Kamu cakep, luwes. Lagian, dia suka cewek yang nggak ngebet tapi pinter mainin situasi.” Livia menepuk pundaknya. “Good luck. Tapi hati-hati juga. Bos kita enggak suka cewek numpang tenar ter
Musik berdentum keras, lampu strobo berganti warna tiap detik, menari di antara kabut tipis dari mesin asap dan aroma alkohol yang mengambang di udara. Rania berjalan pelan-pelan menyusuri lorong menuju area VIP, nampak canggung dengan sepatu tinggi dan rok superpendek yang terasa seperti akan tersingkap tiap kali ia melangkah.Tangannya menggenggam nampan berisi tiga gelas martini. Ini giliran pertamanya mengantar minuman ke meja klien. Lehernya sedikit kaku karena gugup, tapi ia paksa senyum terbaiknya, senyum yang dia latih semalaman di depan cermin kamar kos.“Meja tujuh, tamunya pejabat daerah. Manis dikit, bisa dapet tip dua ratus ribu,” bisik Livia sambil menepuk p@ntat Rania sebelum berlalu.Rania mengangguk. Ia melangkah menuju meja itu, meletakkan minuman dengan hati-hati. “Minumannya, Pak. Kalau butuh tambahan, saya bisa bantu langsung ke bartender.”Laki-laki setengah botak dengan cincin emas di jari tengahnya menoleh sambil mengedipka
Ruang meeting di lantai tiga kantor pusat perusahaan dipenuhi aura formal. Dindingnya bersih, dengan lukisan abstrak biru emas tergantung rapi. Di ujung meja panjang berbentuk oval, Clara duduk dengan tubuh tegap dan ekspresi serius, laptop terbuka di depannya. Kruknya tersandar di samping kursi, dan meski perban masih membalut pergelangan kakinya, hari ini ia mengenakan sepasang sepatu heels rendah berwarna nude, cukup elegan untuk menunjukkan bahwa ia siap tampil cantik.Dion duduk di sisi kanan, dua kursi dari Clara. Jas hitamnya rapi, dasi abu-abu tergantung lepas karena ia memang tak suka terlalu formal. Sorot matanya tajam seperti biasa, tapi sejak tadi, ia kerap melirik ke arah Clara, memperhatikan bagaimana gadis itu sesekali menggigit bibirnya saat menerangkan laporan, bagaimana tangannya sedikit gemetar saat menyentuh pointer, dan bagaimana kakinya, ya, kakinya jelas belum sepenuhnya pulih.Namun, Clara tampak tak menyerah. Ia tetap berbicara dengan tenan
Rania mengibaskan rambutnya ke belakang, matanya menyapu seluruh sudut kamar. Ia melangkah pelan ke arah lemari kayu yang sudah mulai reyot, menarik laci bawahnya yang biasanya tersembunyi dari pandangan. Dengan gerakan cepat, ia menggeser tumpukan handuk lama dan beberapa buku harian tipis.Tangannya meraba dasar laci itu, hingga menemukan sobekan karpet yang dilipat rapi. Ia tarik. Di baliknya, ada celah kecil di papan, tempat ia menyelipkan dompet kulit cokelat yang tampak usang dan nyaris robek.Dengan hati-hati, Rania membukanya.Beberapa lembar uang seratus ribuan yang sudah lecek terselip di sana. Ia mulai menghitung, jari-jarinya gemetar karena cemas.“Seratus, dua ratus, dua setengah ...,” gumamnya. “Tiga ratus tujuh puluh ribu!”Ia mendesah panjang, lalu duduk di lantai dengan punggung bersandar pada lemari. Uang itu digenggam erat, seolah jika ia melepaskan sedikit saja, hidupnya akan tercerai berantakan.“Ma
Suara denting sendok bergesekan dengan gelas teh yang tak lagi hangat jadi satu-satunya bunyi di dapur kecil itu. Rania duduk di kursi dengan napas terengah, sebelah lututnya dibalut kain kasa seadanya. Beberapa goresan di lengan dan pundaknya masih mengeluarkan perih, sisa dari jatuhnya di aspal tadi ketika nekat mencoba mengejar mobil Dion.Tangannya gemetar saat menuangkan cairan antiseptik ke kapas. Wajahnya yang biasanya tegar kini kusut oleh rasa nyeri bercampur amarah. Ia merintih pelan, menggertakkan gigi ketika alkohol menyentuh luka terbuka."Aaarrghh, brengsek!" desisnya pelan.Belum sempat ia selesai membalut luka di lutut, suara ketukan keras mengguncang pintu utama. Sekali. Dua kali. Tiga kali.DUG DUG DUG!“RANIA!” Terdengar suara pria dari balik pintu. Lantang. Kasar. Tak sabar.Rania memicingkan mata, mendengus. "Sial! Siapa lagi, sih, malam-malam begini?"Dengan langkah tertatih, ia berdiri, s
Clara baru saja hendak memutar kenop pintu ketika terdengar langkah cepat dari belakang. Mama Clara muncul dari lorong, masih mengenakan dress pastelnya, kali ini dengan raut wajah yang lebih serius dan tajam.“Clara, sebentar,” panggilnya.Clara menoleh. “Ada apa, Ma?”Mama Clara mendekat. “Mama dengar tadi kamu bicara sama Dion di teras.”Clara terdiam. Tangannya yang tadi memegang tongkat kini turun perlahan ke sisi tubuhnya.“Kamu bilang takut. Ada apa, Nak?” lanjut Mama Clara. “Kamu ada masalah sama Dion?”Clara buru-buru menggeleng. “Bukan Dion-nya, Ma. Bukan.”Mama Clara menghela napas, menatap wajah putrinya dalam-dalam. “Masuk dulu. Duduk sama Mama sebentar di ruang tengah.”Clara menurut. Mereka berjalan pelan ke ruang tengah yang diterangi cahaya lampu kristal, duduk berdampingan di sofa panjang berwarna krem. Mama Clara memegang tangan putrinya dengan hangat.“Ceritain ke Mama. Ap