Ratna terkagum-kagum melihat apartemen Lilis yang sangat mewah. Mulutnya sampai menganga, tidak menyangkan putri satu-satunya akan memiliki apartemen semewah itu.
"Lis... rumah kamu keren banget! Ibu benar-benar bangga sama kamu, Nak!" pujinya tak main-main.
"Iya dong, Bu... ini kan apartemen elite, udah pasti isinya keren lah. Semua isinya Juwita yang beliin, aku nggak harus capek-capek keluar duit lagi buat isi perabotan."
Gaya Lilis sudah seperti seorang nyonya sungguhan. Yang biasanya dia hanya dasteran di rumah kontraknnya, sekarang gaun selutut itu tidak pernah lepas dari tubuhnya. Kaki jenjangnya juga selalu mengenakan high heels mahal yang siang tadi dia beli.
'Coba dari dulu Lilis jual Hendra, kan kita nggak harus hidup miskin lama-lama,' pikir Ratna sambil tertawa di dalam hati. Tak dia pungkiri kesuksesan bahwa putrinya memang sangat pintar mencari seseorang yang mau membeli menantunya yang tidak berguna itu.
Apa sih yang dih
"Dasar orang kaya bodoh ya, Lis. Bukannya bikin acara besar, malah begitu. Kalo ibu yang jadi orang tuanya Juwita, ibu pasti bikin pernikahan kamu sangat mewah. Ibu undang semua orang-orang penting untuk merayakan pernikahan anak ibu. Memangnya buat apa kaya raya kalo nggak bisa ngadain acara besar di pernikahan anak sendiri?"Ratna masih kesal dengan penjelasan Lilis tadi, sedangkan Lilis sendiri sudah muak hanya membahas keluarga itu. Apalagi sekarang Lilis tengah sibuk berbalas pesan dengan sahabatnya Vanny.Vanny: Lis, kamu di mana?Lilis: Di rumah, ada apa?Vanny: Kamu nggak tau apa yang terjadi? Ya ampun, Lis... SUAMI KAMU NIKAH LAGI, WOI!Mata Lilis terbelalak melihat pesan terakhir yang Vanny kirimkan padanya.Lilis: Maksud kamu?Vanny: Serius kamu nggak tau? Hendra nikah lagi, dia nikah sama Juwita. Gila ya, aku nggak nyangka suami kamu seperti ini.Lilis: Van, kamu lagi di mana, sih? Bukannya pernikahan Juwita d
Mobil Lilis baru saja berhenti di depan rumah besar milik keluarga Juwita. Semua tampak sepi, bahkan pagarnya saja tidak terbuka sama sekali. Lampu di dalam sana juga terlihat gelap pertanda tak ada acara besar yang sedang digelar. "Kamu yakin ini rumah keluarganya Juwita?" tanya Lilis pada supir yang ikut bengong menatap dari luar pagar rumah besar itu. "Benar, Bu. Saya sudah bekerja beberapa bulan untuk Bu Juwita, nggak mungkin saya salah alamat." "Tapi nyatanya di sini sepi, Arman! Mana mobil para tamunya? Mata kamu bisa lihat halaman itu nggak ada satu mobil pun yang terparkir, kan?" tanya Lilis masih belum terima melihat suasana yang sangat sepi. "Saya juga nggak tau, Bu. Atau mungkin... resepsinya nggak diadakan di sini, ya?" Alih-alih memberi jawaban yang Lilis harapkan, supirnya justru bertanya balik. Lilis yang sejak tadi sudah dipenuhi emosinya menjadi semakin geram. Dia keluarkan kembali ponsel dari dalam tasnya lantas menel
“Wah, gila... seumur-umur baru kali ini aku masuk ke diskotik!” seru Lilis begitu dia menemui Vanny. Matanya liar menyusuri arena bar yang dipenuhi lautan manusia.Mereka sangat banyak, tak terhitung oleh Lilis. Sebagian dari mereka menari gembira dan menjerit sangat kencang, seakan ingin mengalahkan suara musik. Sebagiannya lagi duduk di atas sofa yang disediakan, tak lupa mereka juga menggoyangkan tubuhnya.“Pen, omnya kamu nggak marah kamu ke tempat begini?” tanya Lilis mendekatkan mulutnya ke telinga Vanny.“Marah? Kenapa harus marah? Lis, hidup ini hanya satu kali, kita harus pintar-pintar menikmatinya. Aku nggak pernah larang dia ngapain aja, mau seminggu hanya nemani istrinya juga aku nggak peduli, yang penting uang lancar. Dan dia juga nggak larang aku ngapain pun selagi aku melayani dia dengan baik. So, apa yang mau dimarahkan?” terang Vanny panjang lebar.Jadi begini kah hidupnya orang kaya? Pasangan tak
Lilis masih terpaku menatap wajah pria di depannya. Tampan. Itu yang pertama kali tersirat dalam pikiran wanita dua puluhan itu. Alisnya yang tebal, bibir tipis dan seksi, juga mata tajam bak elang yang siap untuk menyergap, sungguh sempurna di mata Lilis. Ditambah dengan cahaya lampu berwarna-warni yang menerpa wajahnya membuat lelaki itu terlihat sangat menawan.“Maaf, saya tidak sengaja.”Suaranya yang lembut mendayu ke telinga Lilis, mengalahkan sejuknya sentuhan air hujan. Lilis semakin terpaku sampai melupakan pakaian yang basah atas perbuatan lelaki di depannya. Saat si lelaki menunduk di depan Lilis, dia bahkan tidak bergerak dan membiarkan lelaki itu menyentuh bagian pinggangnya. Bagaikan kembali ke masa-masa remaja, jantung Lilis berdebum hebat merasakan sentuhan lembut yang dilakukan si lelaki tampan.“Bajumu sangat basah. Aku takut kamu akan masuk angin karena ini,” ucap si lelaki sekali lagi, dan sejenak dia seperti sedang be
Hendra mengulurkan tangannya ingin meminta restu pada mertuanya yang baru, tapi lansung ditepis begitu saja. Papanya Juwita menatap masam, menunjukkan betapa dia tidak menyukai Hendra.“Putriku mungkin memilih kamu sebagai suaminya, tapi sampai kapan pun kami tidak akan pernah menerima kamu menjadi menantu di rumah kami!” Papa Juwita mengatakannya tanpa sedikit pun perasaan.Tangan Hendra kembali ke belakang tanpa mendapat restu dari mertuanya. Dia menunduk malu, sadar bahwa dirinya hanya orang miskin yang tidak mungkin bisa diterima oleh keluarga kaya. Tapi, Hendra tidak bisa berbuat apa pun sebab dirinya dan Juwita juga menikah hanya karena uang. Harga dirinya sudah benar-benar hilang, tergadai oleh uang tiga miliar.“Maafkan saya, Pak.”“Maaf, maaf. Kamu sengaja menggoda putri kami karena harta, kan? Tapi jangan pernah bermimpi, kami tidak akan pernah memberikan sedikit pun harta kami padamu!” Lantas dia menari
Hendra masih tertegun di tempatnya berdiri. Dia cerna kata demi kata yang diucapkan Juwita sebelum menghilang dari pandangannnya. Hendra yakin Juwita tadi berkata dia tidak akan boleh bertemu Lilis sampai satu minggu ke depan nanti.Apakah mungkin Juwita marah karena Hendra berkata ingin kembali ke rumah? Apakah dia berpikir Hendra ingin meninggalkannya demi Lilis? Padahal, sebelum pernikahan mereka pun Hendra sudah tahu untuk satu minggu ini dia memang harus tinggal dengan Juwita.“Aku tak punya baju ganti, bagaimana akan tinggal satu minggu?” Hendra semakin bingung.Pagi tadi kedatangan Juwita terlalu buru-buru. Tak memberi waktu untuk Hendra mengambil barang apa pun, dia sudah memaksa agar mereka segera mengurus pernikahan. Dan sekarang hanya satu setelan pakaian pengantinnya lah yang Hendra miliki untuk melapisi tubuhnya. Ini akan sangat bau jika Hendra bertahan dengan satu pakaian selama satu minggu.Namun apa yang bisa dilakukan se
Lilis terbangun dengan tubuhnya yang sakit di mana-mana. Memutar tubuhnya ke samping, dia temukan seorang lelaki yang tidak dia kenal sedang terlelap di sebelahnya. Lilis yang belum sepenuhnya sadar lantas bangkit buru-buru."Ar...!" pekik Lilis. Dia sadari dirinya tidak mengenakan satu helai pakaian pun. Tangannya berusaha menarik selimut untuk menutupi bagian dada yang terekspos. "A-apa ini? Ke-kenapa aku begini?" tanya Lilis kelabakan sendiri.Lelaki yang tidur di sebelahnya juga bangun dan menggosok matanya. "Kenapa, Sayang? Kamu udah teriak masih pagi begini.""Sa-sayang?" Bibir Lilis berucap terbata.Kala itu pun dia teringat tentang tadi malam, di mana dia bertabrakan dengan seorang lelaki di dalam diskotik dan berakhir bersamanya.Lelaki itu bernama Steve, Lilis mengingatnya. Steve menyuruh seseorang membawakan baju ganti untuk menukar baju Lilis yang basah. Lalu selanjutnya... mereka memutuskan minum bersama di atas mobil Steve.Lil
“Mau ke mana kamu?”Juwita tiba-tiba berdiri di ambang pintu ketika Hendra akan keluar dari kamarnya. Dia terkejut sebab sudah tiga hari tinggal di sana, tak sekali pun Juwita menampakkan diri. Apa mungkin perempuan itu sudah lelah bermain petak umpet?“Aku mau kunjungi Alan. Sejak berapa hari ini aku nggak bisa hubungi Lilis,” sahut Hendra jujur.“Kamu rindu istrimu?”Kenapa menanyakannya lagi? Juwita tahu jelas Hendra memiliki istri pertama yang masih sangat dia cintai. Lilis tidak bisa dihubungi sejak tiga hari, dan itu membuat Hendra tidak tenang. Apakah mungkin istrinya sakit, atau apa ada hal lain? Hendra harus memastikannya.“Nona Juwita tau sendiri aku memiliki istri. Tolong jangan membuat kita rumit,” sahut Hendra lagi. Bagaimana pun, dia tahu Juwita tidak senang setiap kali dia menyebut nama Lilis. Tapi, bukankah seharusnya wanita ini tahu resikonya jika menikah dengan Hendra? Juwita harus p