Shock. Ya, itu yang Juwi rasakan sekarang. Dia tidak menyangka perempuan yang tadinya sangat polos, ternyata bisa bermain gila di belakang suaminya. Juwita ingat Lilis banyak diam saat pertama-tama perempuan itu masuk kelar zumba, dan mulai ikut dalam lingkup pertemananya.
Laki-laki itu pun Juwita mengenalnya. Steve Jordan. Walau Juwi tidak pernah menonton sinetronnya yang disiarkan di televisi, Juwita mengenal lelaki itu saat mereka pernah bekerja sama. Steve pernah menjadi model yang mengiklankan salah satu mini market milik keluarga Juwi, yang baru buka cabang.
Sampai Lilis dan Steve menghilang ke dalam mobil yang membawa keduanya pergi, Juwita masih melongo seperti orang bodoh. Dia benar-benar tidak menduga pada Lilis.
“Aku pikir uangnya akan digunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Ternyata seperti ini akhirnya. Ck!” Juwita mendecih.
Harus kah dia menyesal membeli Hendra sebagai suaminya? Rasanya Juwi tak rela uang yang dia berikan dipak
Sempat Hendra ragu mendengar permintaan Juwi. Dia terdiam beberapa detik sampai Juwita memiringkan cangkir itu hingga teh di dalamnya menyentuh bibir Hendra. Saat itu lah dia berani mencicipi teh yang seharusnya untuk Juwi.“Enak?” tanya Juwi, suaranya yang lembut menyejukkan telinga yang mendengarnya, membawa rasa sejuk itu merambat ke hati Hendra.“Enak, kok. Gulanya pas, nggak terlalu manis dan nggak hambar, seperti kesukaan kamu,” kata Hendra, setelah mencicip dua kali tehnya.Juwita mengambil cangkir itu kembali. Dia putar dengan tangan kirinya lantas meminum dari bekas bibir Hendra. Juwi merasa tersanjung, belum lama dia menikah dengan Hendra tapi suaminya tahu selera Juwi.“Gimana, pas nggak?”“Ini enak, sangat enak.” Juwi tersenyum sangat manis, lebih manis dari rasa teh yang Hendra buatkan. Selama menjadi suami, Hendra tidak pernah mendapat perhatian seperti ini. Dia adalah suam
Lilis bergerak liar di atas tubuh lelaki yang berbaring di bawahnya. Mulutnya melantunkan desah-desah nikmat dari gesekan persatuan tubuh mereka. Perempuan yang sudah dimabuk kepayang itu bagaikan lupa dengan fakta bawa dirinya masih menjadi istri resmi Hendra.Bagai tidak mengenal waktu dua manusia itu melakukan olah raga ranjang. Kapan saja, di mana pun asal ada kesempatan, Lilis dan Steve akan melakukannya lagi dan lagi.Sampai keduanya mencapai puncak yang sejak tadi didaki bersama, hingga akhirnya terkapar di atas ranjang yang sudah kusut di mana-mana.“Kamu hebat banget, sih. Punya kamu juga legit banget, pengen terus terusan ada di dalam sini,” puji Steve, mencolek nakal milik Lilis yang sensitif.Dipuji seperti itu membuat Lilis besar kepala. Dia menaikkan kepalanya ke dada Steve, dengan tangan liar membelai dada bidang lelaki itu. Lilis sudah sangat menyukai Steve sampai berpikir andaikan Steve yang menjadi suaminya.&ldq
“Bu, kapan ibu balik ke rumah?” tanya Lilis pada Ratna.Wanita yang tengah menemani cucunya menonton televisi, memutar kepala menatap Lilis di sofa.“Pulang ke mana? Ibu kan udah di sini, mau dipulangin ke mana lagi, Lis?”Mendapat desakan dari Steve membuat Lilis tidak punya pilihan. Dia tidak mau Steve berpikir dirinya istri seseorang lantas lelaki itu akan meninggalkannya begitu saja. Lilis tidak rela, dia sudah sangat menyukai Steve sejak pertama kali mendengar lelaki itu seorang aktor terkenal.Tapi tetap saja tidak mungkin dia membawa Steve kalau Ratna dan Alan ada di rumah itu. Lilis berencana menyuruh ibunya kembali ke rumah lamanya bersama Alan.“Ya ke rumah ibu, lah. Kan ibu punya rumah sendiri. Gimana sih?”“Lilis!” Ratna kesal. Baru saja merasakan hidup yang enak tinggal di apartemen mewan, anaknya sudah menyuruhnya kembali ke rumah itu. “Kamu kan tau, Lis. Rumah itu udah bany
‘Apa Hendra dengar aku cium-cium di hp?’ Lilis masih tetap diam. Pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan, apakah benar suaminya mendengar semua yang dia ucapkan di telepon tadi? Lilis khawatir jika Hendra benar mendengarnya, mungkin rumah tangga mereka akan hancur. ‘Mampus deh kalo dia sampe tau, bisa habis kamu, Lis... Lis!’ Tapi kalau pun tahu, memangnya apa yang bisa Hendra lakukan? Semua uang ada di tangan Lilis, atas nama Lilis sendiri. Apartemen dan mobil yang Juwita kasih pun, semua atas nama Lilis. Hendra tidak bisa mengambil semua itu dari dia, tanpa persetujuan Lilis sendiri. Lagian toh mereka sama. Lilis sudah mencarikan wanita lain untuk Hendra, bahkan sah jadi istrinya. Kenapa Lilis tidak boleh memiliki lelaki lain? Jika Hendra ingin bercerai bukannya malah bagus? Dia bisa bebas bersama Steve tanpa perlu bersembunyi-sembunyi lagi. Lilis akan hidup bahagia jika dia menikah dengan aktor terkenal. “Apaan sih, Hen?” Lilis memasang wajah juteknya. “Aku telponan sama
Sejak menikah dengan Juwita ini pertama kali Hendra menginap di rumah istri pertamanya. Hendra begitu senang mendapat perlakuan Lilis yang lebih baik dari padanya. Lilis benar-benar berubah, bahkan sangat jauh dari Lilis yang sebelum, saat mereka hidup di rumah kontrakan lama.Bukan sekedar seperti saat pengantin baru saja. Meski tadi malam Lilis dan Hendra sempat cek cok perkara Juwita, kemudian istrinya itu menjadi sangat baik dan lembut. Hendra dipijiti sampai benar-benar merasa tubuhnya lebih baik.Ketika bangun pagi pun, Lilis sudah menyiapkan sarapan di atas nakas. Dia bangunkan Hendra dengan kecupan-kecupan manja yang membuat Hendra merasa dirinya benar-benar menjadi suami sejati. Lalu sekarang keduanya tengah menikmati sarapan pagi sambil menikmati indahnya pemandangan dari apartemen tempat tinggal mereka.“Hen, maafin aku, ya,” kata Lilis tiba-tiba. Wajahnya sedih, tampak sangat menyesal.“Minta maaf untuk apa sih, Lis? Bukannya masalah tadi malem kita udah lupain?” sahut He
“Hendra, tunggu, Hendra!”Lilis mengejar Hendra yang bergegas keluar dari kamar mereka. Suaranya sangat keras sampai asisten rumah tangga di rumah itu ketakutan semuanya. Lilis jika mengamuk sangat menakutkan, tidak bisa mengontrol omongannya. Para asisten rumah tangga sering mendapat bentakan dari perempuan itu.“Hendra, jangan begini, dong! Bukannya kamu udah setuju mau ubah hidup kita ke depan nanti?”“Nggak, aku nggak setuju kalo begitu caranya!” Hendra menolak permintaan Lilis yang sangat menjengkelkan, dia tidak habis pikir istrinya akan meminta Hendra melakukan hal menjijikkan lagi setelah yang sudah terjadi.“Ini udah terlanjur, kamu nggak boleh mundur!” Lilis memegangi daun pintu sebelum Hendra keluar dari unit apartemen mereka, Matanya menatap Hendra sangat garang. “Aku udah terlanjur ngomong sama orangnya, kamu nggak boleh nolak!”Alan menangis di kamarnya. Baby sitter yang menjaga anak itu tidak mampu mendiamkan Alan yang terkejut mendengar keributan kedua orang tuanya. He
"Loh, Hendra? Bukannya kamu seharusnya di rumah Lilis? Atau... mungkin ada sesuatu yang ketinggalan?" Juwita sedikit terkejut melihat suaminya duduk di kursi teras. Kemarin malam Hendra sudah berpamitan akan ke rumah istri pertamanya, sebab memang sudah jadwalnya dia ke sana. Ini masih terlalu pagi jika pun Hendra datang sekedar ingin mengambil sesuatu ke rumah Juwi.Tanpa berkata-kata, Hendra langsung memeluk Juwita. "Juwi, maafin aku," katanya lemah. Dia peluk perempuan itu seperti tidak rela melepaskannya.Juwita tertegun. Ada apa dengan Hendra? Dia tidak merasa Hendra membuat kesalahan, lantas kenapa meminta maaf? Tapi merasakan tangan Hendra yang begitu erat di tubuhnya, Juwita menjadi diam. Tak ingin dia tanyakaln apa yang membuat lelaki itu meminta maaf. Juwi berpikir pasti ada sebuah masalah di rumah Lilis.Untuk beberapa saat Hendra memeluk tubuh Juwita, sampai akirnya dia lepaskan perempuan itu. Wajah sendunya menatap Juwi sejenak."Kamu akan ke kantor?"Juwita mengangguk s
Kepala Juwita seperti ditimpah beban puluhan ton, dadanya sesak, sangat sulit dirasa untuk bernapas. Bagaimana seorang istri tega ingin menjual suaminya untuk yang kedua kali? Yakin lah Lilis pasti tidak punya hati! "Aku udah bilang ke Hendra, tapi dia bilang nggak bisa ambil keputusan. Karena sekarang kamu juga jadi istri kedua suami aku, kamu harus ikut kasih dia ijin."Belum lagi Juwi bisa mencerna kalimat pertama Lilis, perempuan itu sudah kembali berbicara di depannya. Hati yang tadi sesak penuh amarah pada Lilis, kini juga kecewa. Juwita sangat kecewa mendengar penjelasan dari perempuan di depannya itu."Hendra bilang begitu?" tanya Juwita, dia harus meyakinkan apa yang baru saja didengarnya."Iya. Hendra nggak mau ambil keputusan sendiri karena nggak mau kamu marah. Tapi gimana pun, kamu nggak bisa marah, Juwita. Hendra punya keluarga yang sebenarnya dan dia harus membiayai kami."Dadanya semakin sesak, sakitnya semakin terasa. Juwita sampai kehabisan kata-kata untuk kalimat