Share

2. Makna yang tersirat.

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-08-29 23:54:01

Kami menoleh ke belakang. Tampak Mama sedang melambaikan tangan untuk memanggil menantu yang merangkap jadi asisten rumah tangga dadakannya itu.

Sontak Mbak Vina pergi menghampiri, seraya melengoskan wajahnya dariku. Kenapa jadi dia yang marah.

Seharusnya aku dong, suamiku dia fitnah disini. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin yakin, ada niat tak baik yang dia selipkan di balik foto yang ditunjukkan padaku.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Meredam amarah yang sempat memuncak. Kembali kuusap perutku yang datar. Semenjak hamil aku suka mengusap-usap perutku ini.

“Bibimu itu pasti berbohong pada, Mama. Iya, kan, sayang. Papamu orang baik, mana mungkin berbuat hal sejahat itu pada kita. Bibimu itu jahat, dia ingin merusak keluarga kecil kita. Bisa jadi sih, selama ini Bibimu itu iri melihat Mama yang lebih di sayang daripada dirinya,” celotehku pada janin yang belum bisa merespons apa pun.

Aku pun kini beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki menuju rumah. Untuk apa aku duduk sendirian di belakang. Selain sepi dan semak, banyak nyamuk nakal juga yang bikin gatal-gatal.

Belum beberapa lama aku disana, kulit putihku sudah memerah dengan bentol beberapa bagian di lengan.

"Menyesal aku ikut dengannya ke belakang ini. Jadi gatal semua badanku sekarang!" rutukku jengkel dan kembali ke kamar.

Malam kini mulai menghampiri. Suasana di meja makan ini tampak begitu ramai seperti biasanya.

Ada Mbak Vina dan suaminya serta dua anak kembar mereka. Bagas dan Viona. Mama serta aku dan suamiku. Kami bertiga duduk berhadapan dengan Mbak Vina dan keluarganya.

Satu rumah ini diisi dengan dua keluarga. Aku pernah bertanya pada Mas Galuh apakah Mas Ridho tak mau membeli rumah sendiri? Sudah lama mereka menikah tapi masih saja tinggal satu rumah dengan orang tua.

Mas Galuh bilang, mertuaku itu yang tak mau anaknya pergi semua darinya. Untungnya aku tak tinggal seatap dengan mereka semua. Satu atap tiga ratu, tak terbayangkan dibenakku.

“Lama kita tak bisa makan bersama seperti ini, Galuh. Senang rasanya bisa kumpul bareng seperti ini,” ujar Abang iparku itu memulai percakapan.

Memecah keheningan di antara mereka. Acara makan malam di rumah ini selalu tampak canggung dan mencekam. Lebih mirip obrolan dua lawan yang tak sengaja berjumpa dalam satu meja ketimbang dua saudara.

Mama mertua asik menikmati makanan kesukaannya, begitupun dengan yang lainnya. Bahkan dua bocah yang seharusnya bertengkar memperebutkan sesuatu saat makan, justru tak pernah terdengar di meja makan ini. Semuanya tampak tenang, teratur dan sunyi tanpa adanya obrolan hangat yang menghiasi. Jauh dari kata keluarga harmonis menurutku.

“Mas Ridho yang jarang ada di rumah setiap kami mampir ke sini. Tampaknya Abangku ini sibuk sekali,” balas suamiku santai. Terdengar seperti mencibir di telingaku.

“Mau gimana lagi, Masmu itu tak seberuntung kamu Galuh. Memiliki istri yang mandiri dan pembawa hoki. Makanya dia harus pontang-panting siang malam untuk bekerja. Tapi tetap saja, hidupnya gitu-gitu saja.” celetuk Mama mengejek putra sulungnya itu.

Raut wajah Mbak Vina langsung berubah. Tak sedap di pandang walau sebisa mungkin dia mengalihkan tatapan matanya dari Mama. Aku tahu saat ini, Mama sedang membandingkan aku dengan menantunya yang satu lagi.

Pasti rasanya sangat sakit.

“Iya, kamu beruntung Galuh. Jangan sia-siakan keberuntunganmu itu. Kesempatan tak datang dua kali. Tak ada yang kurang dari Eliana. Dia baik, cantik, mandiri dan sebentar lagi akan memberikanmu pelita hati. Kau sungguh beruntung Galuh!” puji Mas Ridho begitu luwes tanpa memperdulikan wanita yang duduk di sebelahnya itu.

Entah pujian itu tulus atau tidak. Namun aku merasa tersanjung mendengarnya walau aku juga merasa kasihan dengan Mbak Vina. Sebegitu buruk keluarga ini memperlakukannya, tapi kenapa dia tak pergi saja atau memberontak. Sampai kapan dia diam tak berkutik seperti itu saat harga dirinya di injak-injak?

“Mas Ridho bisa saja kalau memuji. Terlalu manis sampai bikin sakit gula,” kelakarku sambil tertawa seraya melirik wanita di sebelahnya.

Tak perlu ditanya bagaimana ekspresi wajah Mbak Vina saat ini.Masamnya jeruk nipis, masih kalah asam dengan raut wajahnya itu.

Mas Ridho ikut terkekeh. “Mau aku kasih tahu keahlian Galuh saat kecil, El?”

“Apa itu, Mas?” tanyaku antusias. Aku ingin tahu bagaimana suamiku saat kecil dulu. Bahkan kini aku sampai membayangakan saat anak kami lahir akan mirip diriku atau suamiku itu.

“Adikku ini …,” Mas Ridho menjeda ucapannya. Dia menatap Mas Galuh sejenak dengan tatapan yang sulit aku artikan. Lalu beralih menatap mataku dalam.

“Sangat pandai bermain petak umpet. Aku tak yakin kamu bisa menang melawannya bermain, El!” jelasnya. Dengan tatapan mata yang syarat akan makna.

"Petak umpet? Jadi Mas Galuh suka permainan anak perempuan seperti itu? Aku pikir melihat dirinya yang seperti ini, Mas Galuh suka main bola atau permainan laki-laki yang lain."

"Petak umpet justru lebih menyenangkan baginya. Dia bisa menyembunyikan banyak hal dan ya ... suamimu itu penyembunyi yang ulung. Apa kau tahu, dulu dia pernah menyembunyikan—"

"Sebaiknya kita habiskan makanan ini sebelum semuanya dingin. Ayo!" Mas Galuh memotong ucapan saudaranya. Tatapan matanya tajam seperti mengancam.

Mas Ridho terkekeh dan kembali menatapku penuh arti.

"Kenapa? Apa kamu takut Eliana mengetahui siapa dirimu?"

"Memangnya seperti apa aku? Jangan bercanda, kau membuat Eliana bingung dengan gurauan garingmu. Dari dulu hingga sekarang kau tak berubah. Suka mengarang cerita," balas Mas Galuh dengan kekehan khasnya.

"Ya ... mungkin aku terdengar seperti seorang pengarang cerita karenamu. Tapi ada masanya 'lepas kaki lehermu terjerat' dan aku menantikan masa itu, ha ha," ucap Mas Ridho tertawa.

Hatiku tersentak. Ada maksud lain dari ucapannya itu. Apa maksud dari perkataan Mas Ridho tersebut?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   48. Alasan dibalik ajakan rujuk.

    Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   47. Ayo rujuk kembali padaku.

    "Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   46. Istana yang terlupakan.

    "Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   45. Memulai usaha baru.

    Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   44. Musim semi.

    Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   43. Lamaran dadakan.

    Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   42. Mulai ketar-ketir.

    Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   41. Berada di ujung tanduk.

    Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   40. Mulai kalut.

    Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status