Share

7. Siapa wanita itu?

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-09-18 07:25:43

Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang.

hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.

“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.

Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.

“Baik, Mbak.”

Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan.

Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.

Tubuhku yang tinggi tentu sangat mudah untuk menggapainya. Aku mengulurkan tangan untuk meraihnya. Dahiku berkerut merasakan sesuatu yang tak nyaman pada perutku.

“Arkkhh …,” ringisku menahan rasa sakit di perutku.

“Apa kau baik-baik saja?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh dan terkejut melihat siapa yang ada di sampingku saat ini.

“Kak, Bian! Apa kabar? Rasanya sudah lana sekali kita tidak jumpa,” sapaku begitu riang.

"Kabar baik, sekarang kamu tanbah berisi, El. Maaf aku tak bisa datang di hari pernikahanmu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku mengerti. Bagaimana kondisi Kakak sekarang dan tibggal di mana? Apa sudah ada yang baru nih? Jangan lupa kenalin sama aku ya."

“Dimana suamimu, kenapa dia meninggalkanmu pergi sendiri begini?”

Kak Bian mengedarkan matanya ke sekililing. Mengabaikan ucapanku barusan.

“Dia sedang sibuk kerja, aku tadi sama Bi Ninis ke sini. Dia sedang aku suruh untuk membeli barang yang lain,” jawabku.

Aku menarik napas lalu menghembusnya secara perlahan sambil mengusap lembut perutku agar rasa sakitnya sedikit berkurang.

“Kamu ingin mengambil ini, kan, tadi El? Apa kamu hamil?”

Kak Bian menyodorkan kotak susu yang ingin aku ambil tadi. Aku menerimanya dengan senang hati. Lalu mengangguk. Dia menatap tajam ke arah perut rataku yang berada di balik dres motof floral yang aku kenakan.

Tatapan matanya menyiratkan makna yang aku sendiri sukar untuk mengartikannya. Fabian Hermawan Rarendra putra dari Rahmat Rarendra, teman se-almamater almarhum Papaku.

Paman Rahmat dan Papa sangat dekat seperti jari manis dan kelingking. Sayang persahabatan itu tak dapat terjalin antara kami, anak-anaknya. Fabian yang dingin dan pendiam sangat bertolak belakang denganku yang ceria.

“Ada apa, kak. Apa ada yang aneh dengan perutku?”

“Kau hamil?” tanyanya kembali.

“Iya, seharusnya kau mengucapkan selamat padaku,” jawabku ceria.

“Oh, ini susumu. Minum yang teratur, jangan angkat yang berat-berat!” balasnya dingin. Tak ada kata selamat yang aku harapkan dari mulutnya.

Tangannya kembali meraih dua kotak lagi susu Ibu hamil itu dengan ukuran kotak yang sama besarnya. Lalu meletakkannya ke dalam keranjang troli-ku. Aku tercengang melihat tingkah lelaki yang seumuran dengan suamiku ini.

“Apa ada yang mau diambil lagi?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala.

“Baiklah, aku pulang duluan,” Tandasnya seraya berlalu pergi.

Aku berdecak melihat sikap dingin dan kakunya itu. Tak bisakah ia sekedar berbasa-basi terlebih dahulu denganku? Pantas saja diusianya yang segitu fia masih saja sendiri.

Kak Bian pernah menikah, itu dua tahun yang lalu. Tepatnya satu tahun setelah pernikahanku. Dia menikah dengan salah seorang model majalah fashion. Secara pandangan fisik dirinya dan model itu sangat serasi.

Mereka berdua tampak cantik serta gagah. Kak Fabian memiliki tubuh yang tinggi tegap, kulit kuning langsat yang cendrung putih didapat dari sang Mama yang masih keturunan China. Sedangkan hidung mancung dari sang Papa yang asli orang aceh.

  Sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunanku menatap punggung lelaki tinggi tadi. Aku pun menoleh.

“Mbak, ini barangnya. Apa sudah betul?” tanya Bi Ninis menunjukkan barang yang dia dapatkan.

Ada beberapa barang yang berbeda merek dari yang aku perintahkan. Tapi ya, sudahlah … terpenting fungsi dan kualitas barangnya tetap sama.

Aku dan Bi Ninis mulai berkeliling, mencari lagi benda-benda serta bahan-bahan makanan yang kami butuhkan di rumah.

Suasana supermarket yang kami datangi ini selain cukup besar dan juga isinya lengkap serta berada di pusat kota hingga sangat mudah dijangkau.

Bangunan yang memiliki tiga lantai yang cukup luas. Supermarket yang aku datangi berada di lantai paling bawah berhadapan dengan game city dan beberapa outlet makanan cepat saji. Sedangkan di lantai dua dan tiga adalah aksesoris, baju, sepatu dan juga bioskop.

  Banyak sekali pengunjung hari ini, mereka ada yang datang dengan pasangan kencannya dan ada pula yang masuk dengan keluarga kecil mereka. Karena troli kami penuh dan mulai berat, jadi Bi Ninis kini yang mengambil alih untuk mendorongnya.

Setelah semua yang kami butuhkan sudah dapat, serta sudah dibayar. Aku pun mengajak Bi Ninis untuk pulang. Bi Ninis berjalan di depan masih dengan tangan yang mendorong troli.

Mataku tak sengaja melihat sebuah mobil berwarna hitam melewati kami. Aku terpaku melihat siapa yang berada di balik kemudi mobil itu. Mataku terus saja memperhatikan kemana mobil itu melaju hingga ke belakangku.

Aku memutar tubuhku dan melihat mobil itu akhirnya terparkir di ujung sana. Mataku melebar sempurna melihat sosok yang aku yakini sebagai Mas Galuh keluar dari dalam mobil itu sambil menggendong seorang bocah kecil yang tertutupan dengan topi.

Sedetik kemudian seorang wanita bertubuh mungil juga ikut keluar dari bangku penumpang di sebelahnya. Mataku nanar menatap pemandangan tersebut. Baru saja kakiku ingin melangkah maju. Bi Ninis menarik lengan tanganku hingga aku menoleh padanya.

“Mbak El, Mbak mau kemana? Mobilnya terparkir di sebelah sana. Kenapa Mbak El justru berjalan berlawanan arah?!” tanya Bi Ninis bingung.

Dia menunjuk mobil kami yang terparkir berlawanan arah dengan tempat yang mau kutuju

“Itu, Bi. Tadi ada …,” ucapanku terjeda. Aku kembali menoleh. Namun tak kudapati lagi Mas Galuh dengan wanita tadi. Aku mengucek-ngucek mataku, tetap saja tak kudapati keberadaannya lagi.

Justru yang ada di sana, seorang lelaki gendut yang sedang membukakan pintu untuk kekasih yang sama gempalnya itu. Apa aku salah lihat? Rasa-rasanya tidak mungkin.

Aku merasa yakin sekali jika yang aku lihat tadi adalah Mas Galuh. Walau wajah wanita dan anak kecil itu tak tampak karena posisi mereka yang membelakangiku. Tapi aku yakin itu Mas Galuh, suamiku. Kenapa sekarang berbeda?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   48. Alasan dibalik ajakan rujuk.

    Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   47. Ayo rujuk kembali padaku.

    "Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   46. Istana yang terlupakan.

    "Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   45. Memulai usaha baru.

    Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   44. Musim semi.

    Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   43. Lamaran dadakan.

    Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status