“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”
Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.
Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.
“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”
Deg!
Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.
“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,”
“Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padanya. “Ujang teh gimana? Jang ujian hidup apa coba yang tidak Enin dapat dalam hidup ini, tapi selesainya pake sholat. Kenapa Ujang malah gak sholat.”
“Maaf, Nin. Bram terlalu larut sama masalah, selama di sana Bram hanya menyalahkan keadaan saja,”
“Hah! Ya sudah atuh. Yang udah lewat mah biarin lewat aja. Sekarang Ujang mulai lagi dari awal,”
“Tapi Bram lupa bacaan sholatnya, Nin!”
“Astagfirullah hal adzim, Ujang teh gimana? Jaman sekarang teh sudah canggih. Bacaan sholat tinggal bilang di hp, ‘Oke g****e cari bacaan sholat’ gitu terus keluar,”
Bram terkekeh melihat ekspresi wajah neneknya yang memang kadang sok tau tapi juga ada benarnya. Diapun menirukan perkataan neneknya menghadap ke ponsel dan benar saja semua bacaan sholat yang dia lupakan seketika muncul di layar ponselnya.
“Tuh, jangan gini apa yang susah, Jang. Cepat sholat ya. Insya Allah Enin tunggui Ujang sampai Ujang hafal lagi bacaan sholatnya.”
Bram yang tak punya pilihan kemudian berdiri untuk melangkah menuju kamar mandi.
Dadanya tiba-tiba sesak saat memasuki ruangan kecil di dalam rumah neneknya itu mengingat saat-saat dia akan ditangkap.
“Ruangan ini lagi,” bisiknya kemudian menuju cermin tempatnya berdiri terakhir kali. “Aku harus mandi, kali ini semua akan baik-baik saja,”
Bram segera bersiap untuk mandi lalu mulai membasuh tubuhnya. Hatinya yang hancur perlahan merasa tenang meski rasa bersalah masih begitu besar dia rasakan.
Setelah merasa peluhnya yang menumpuk telah bersih, Bram keluar dari kamar mandi lalu mulai menjalankan sholat dengan pengawasan Enin yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri menghadap kiblat.
“Allahu akbar,” Tangan Bram setinggi telinga mengucap kata yang seketika membuat beban di pundaknya terangkat.
Satu persatu ayat dia baca dan air matanya perlahan mulai membasahi pipinya.
Assalamualaikum warahmatullah.
Bram mengakhiri shalatnya dan Enin segera mendekat untuk memeluk tubuh lemah ini.
“Tak apa, Bram. Nangis aja, kita tak pernah tau kapan Allah kasih ujian ke kita. Gapapa, semua yang pahit pasti ada saatnya jadi manis,”
Bram memejamkan matanya, tak terbayang baginya jika wanita paruh baya ini tak pernah ada di sampingnya. Dia langsung memeluk Enin yang seakan me-recharge energi hatinya yang redup setelah semua kejadian mengerikan yang dialami selama ini.
Permisi!
Terdengar seorang pria dengan suara yang berat berucap di balik pintu rumah Enin yang reot dan tanpa menunggu lama Enin segera berdiri untuk membuka pintu.“Nin, jangan dibuka,” pinta Bram yang ingat siapa pemilik suara itu.
“Kenapa?”
“Itu suara ayahnya Widi,”
“Masa dia mau datang ke rumah Enin yang reot ini? Pasti orang lain,”
“Nin, jangan!”
Permisi!
Kata itu berulang namun kali ini si empunya suara mendorong pintu rumah dengan lembut.
“Ada orang?”
“Iya, silahkan. Siapa ya?” Enin melebarkan senyumannya pada pria yang tak lain adalah ayah dari Widi, wanita yang menikah siri dengan Bram.
Tentu wajah Bram jadi abu-abu melihat pria tinggi besar itu melangkah masuk ke dalam rumah neneknya.
“Saya, Hartono, ayahnya Widi,” tutur lembut pria itu sambil mengulurkan tangannya meraih tangan Enin yang bergetar.
“Bapak, kenapa jauh-jauh kemarin,”
“Saya datang untuk kabari Bram kalau putri saya masuk rumah sakit,”
“Astagfirullah!” Enin meraba dadanya menahan kaget.
“Iya, saya datang karena pengacara bilang Bram memilih pulang ke sini.”
“Bram, kenapa tidak temui Widi!”
“Mau apa?!” teriak Bram tak terima. “Aku sudah bukan siapa-siapa lagi sekarang. Bukankah Widi hanya mau saat aku ada di puncak karir!”
“Kau ini, sudah baik aku mau datang kemari untuk menjemputmu!”
“Kalian sudah hancurkan karirku, sekarang minta aku datang temui Widi?! Tak sudi!”
Enin meraih tangan cucunya lalu menatapnya tajam berharap amarah Bram yang memang sedang tak stabil tidak semakin merusak hubungannya dengan ayah mertuanya. “Jang, istighfar. Kamu baru datang ke Allah untuk minta ampun. Masa sekarang kamu sudah buat dosa lagi,”
“Iya, kasih tau sama cucumu, Nek. Bagaimanapun putriku dan anak yang dia kandung masih tetap tanggung jawabnya. Dia tak boleh lari,”
“Alah! Alasan!” ketus Bram lalu melangkah meninggalkan Enin dan Hartono yang masih berbincang panjang lebar.
Hati Bram tentu remuk dengan semua kabar yang dia dengar, tapi amarahnya masih terlalu tinggi untuk menurunkan egonya di depan orang yang memfitnahnya.
Tangan Bram lalu meraih ponsel di tas ransel yang dia bawa dari RSKO dan segera menyalakannya.
Saat ponsel mulai menyala, seketika ingatannya tentang masa lalunya mulai memenuhi memorinya.
Dia kembali teringat pada awal karirnya merupakan anak kuliahan broken home yang mencari jati diri di musik hingga menemukan Widi yang membantunya meniti karir di dunia musik dengan memperkenalkan pada Hartono, ayahnya yang memang memiliki perusahaan rekaman.
“Astagfirullah, Widi,” bisik Bram lalu meneteskan air matanya. “Bagaimana aku memperbaiki semua ini, Widi,”
Krek!
Terdengar Enin mengunci pintu rumah dan Bram tersadar dari lamunannya. “Nin!” serunya sambil melangkah keluar dari kamar.
“Ada apa, Jang,”
“Mana Ayah?”
“Maksudmu Pak Hartono?”
“Iya,”
“Dia pulang, katanya Widi ada masalah dengan kandungannya,”
Bram terdiam sesaat lalu menatap Enin dengan bingung. “Ujang harus gimana sekarang, Nin?”
“Temui, Widi. Dia pasti akan sangat senang jika kau mau menemuinya sekarang,”
“Tapi mereka pasti ada di sana, Nin!
“Siapa?”
“Orang-orang yang memfitnah Bram!”
“Jang, temui Widi!” Hanya itu yang bisa kamu lakukan sekarang, Jang!”
“Tapi,” ucap Bram ragu.
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta
“Aku sangat menyesal, Ayah! Maafkan aku!” ucap Bram berkali-kali sambil terus menangis meski tangisan ini tak sedikitpun ingin dihentikan oleh salah satu anggota keluarga istrinya. Tangisannya baru terhenti saat supir kepercayaan ayah mertuanya mendekatinya."Pak, biar saya antar pulang. Ada pesan dari Pak Hartono sebelum Beliau meninggal dunia,""Ayah bilang apa?" tanya Bram sembari memutar lehernya ke arah pria berbaju supir itu."Mari ikut saya,"Bram tersenyum simpul lalu melangkah bersama supir itu meninggalkan ruang persemayaman terakhir Hartono.Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya apa gerangan yang dikatakan pria yang mengorbitkannya di dunia musik sebelum tutup usia."Masuk, Pak!" Supir mempersilahkan."Baik!" Bram segera duduk di kursi penumpang sambil bersandar menunggu pria kepercayaan Hartono itu duduk di kursi kemudi."Saya cerita dulu, ya. Jangan di sela," pintanya sambil memutar kunci mobil."Iya!""Jadi sebelum Bapak meninggal, Bapak mengatakan kecurigaannya pada Pa
"Terima saja kenyataan ini, Dory. Ini sesuai isi wasiat pamanmu!" ucap Bram dengan wajah meledek."Tidak akan! Mana mungkin aku membiarkan pria tak berguna sepertimu jadi pemimpin di perusahaan besar ini!!""Tapi itu yang Pak Hartono mau!" tegas pemimpin rapat membuat Bram tersenyum simpul. Dia merasa menang dan sangat yakin akan membuat Dory yang sombong kehabisan kata untuk menolaknya."Aku tak terima keputusan ini! Aku tak akan menyetujui pengangkatannya!" tegas Dory lalu melangkah keluar dari ruang rapat."Tapi Pak!" Pemimpin rapat mencoba mencegah kepergian Dory tapi dia bersikukuh pergi. Melihat Dory meninggalkan ruangan, Bram tampak tak peduli. Baginya sekarang dia adalah pemimpin dari label musik ternama ini dan seperti janji supir kepercayaan ayah mertuanya, mereka akan membantunya."Jadi bagaimana sekarang?" tanya Bram yang masih menunggu keputusan dari peserta rapat."Kami akan mendiskusikan ini dul," "Hah! Jadi aku belum resmi jadi CEO?""Benar! Dory itu pemilik saham te
"Kau sudah bertemu dengannya?""Dia yang menghalangiku jadi CEO di perusahaan Pak Hartono," jelas Bram dengan kesal."Aku rasa selama ada pria itu, kau tak akan pernah bisa jadi CEO, Bram!""Astaga!""Dia sangat membencimu, bahkan yang melaporkan kita ke polisi itu dia,""Apa maunya?""Memangnya orang jahat harus punya alasan untuk jahat?"Bram menggelengkan kepalanya, dia tak habis pikir dengan perlakuan Dory padanya yang sebenarnya sempat sangat baik padanya di awal perkenalan mereka."Sudah! Kamu makan saja," Kholil menepuk bahu temannya untuk menurunkan marahnya. "Kau bisa kok kembali ke dunia musik tanpa harus mengambil perusahaan itu."Tapi amanah Ayah. Dia ingin aku jadi CEO!" tegas Bram yang paham betul alasan pemilihannya sebagai CEO oleh ayah mertuanya."Aku paham niatmu. Tapi kalau itu justru membuatmu dalam bahaya, kan lebih baik tak kau lanjutkan!"Bram memasang wajah tak setuju. Tentu bukan begitu keinginan Hartono padanya. Dia harus bersikukuh dan terus berjuang sekuat
“Siapa dia?” bisik Bram semakin penasaran pada sosok yang tersenyum tipis kepadanya.“Dia pengacara yang akan membantu kita mengukuhkan kau di posisi CEO,” ucap Widi penuh penekanan. “Kau baik-baiklah padanya karena dia adalah kartu mati untuk Dory,”Mendengar perkataan sang istri tentu senyum Bram segera melebar, dia tak menyangka istri yang selama ini hanya dia jadikan istri rahasia ternyata punya ide brilian untuk melawan saudaranya, Dory yang begitu angkuh padanya.“Pak Bram! Senang bertemu denganmu!” Pria tua itu lalu menjabat tangan Bram lalu melangkah menuju kursi untuk duduk bersandar di sana.Kholil yang duduk di samping pria tua ini lalu tersenyum sambil mendekatkan wajahnya. “Kita punya manuver apa hari ini, Pak Tua!”“Kholil! Kau tau lah aku siapa. Aku tak mau main gegabah. Santai saja, jangan sampai musuh kita tau apa rencana kita!”“Kau juga mengenalnya?” tanya Bram pada mantan manajer grup band D’Klok itu.“Iya, dia itu Pak Warsa! Yang bantu kita buat perjanjian kerja s