“Jadi kau mengijinkan aku tak kembali ke perusahaan ayahmu?” “Bukan begitu ceritanya!” tegas Widi yang segera menarik tangan suaminya menuju sebuah kantin kecil tak jauh dari tempat mereka berada.“Kita kemana?”“Ikuti aku saja,” pinta Widi lalu duduk di kursi kayu di pojok kantin lalu meminta Bram duduk dekatnya.Bram tak menolak, dia mengikuti permintaan Widi dan mulai mendengarkan rencana baru dari istrinya.Widi terus meyakinkan jika ibunya seperti itu karena Dory dan dia berharap suaminya mau menjauhkan sepupu itu tanpa kekerasan.“Tapi bagaimana caranya?” tanya Bram mencoba mengerti maksud dari rencana sang istri.“Itu yang belum aku ketahui,”Bram menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya ke tembok kantin. “Tak akan mudah menyingkirkan dia dari ibumu karena dia tau ibumu akan memudahkan rencana jahatnya,”Hah!Widi nampak kesal karena tak menemukan jawaban yang dia harapkan. “Jangan kesal dulu, nanti kita tanya Kholil!”Dagu Widi segera menopang ke tangannya lalu wajah c
"Bram! Kenapa kau diam saja?" tanya Widi yang kesal dengan sikap Bram padanya."Tapi ibumu bersalah!" tegas Bram yang tau dia tak mungkin main-main soal hukum dengan Pak Warsa. "Kau harus rela ibumu dihukum kalau ternyata dia,""Cukup!" teriak Widi sambil mendorong suaminya. "Kalau sampai dia dihukum, aku tak akan mau kembali padamu!""Eh!" Bram meraih tangan Widi yang membalikkan badannya dengan cepat dari hadapannya. "Jangan begitu, Widi!" "Tidak! Aku tak akan rela jika kau memenjarakan ibuku," ucap Widi sambil terisak. "Aku baru saja kehilangan ayahku, sekarang kalian akan memenjarakan ibuku!""Sayang," Bram memeluk tubuh Widi yang mulai menangis sejadinya, dia tau wanita ini sangat lemah untuk urusannya dengan keluarga kaya yang selalu menopang hidupnya. "Aku akan melindungimu, tapi kalau ternyata kau,""Diam!" Widi meronta meminta Bram melepas pelukannya. "Jangan sentuh aku!" Widi berlari meninggalkan Bram dan Kholil berdua di sana."Ih, kenapa dia jadi seperti itu?" Kholil meli
"Jadi aku harus bagaimana?""Kau harus optimis, berbaik sangka atas apa yang akan kau hadapi kelak. Percayalah. Kalau kau sudah terbiasa maka kau akan punya hidup yang lebih berarti!" jelas Kholil dengan penuh penekanan.Bram sebenarnya tak sepenuhnya mengerti akan apa yang dikatakan oleh Kholil, tapi dia tetap mengangguk sebagai tanda dia menghargai nasehat dari pria tinggi besar ini. Dia kemudian melangkah pulang kerumah Enin sambil terus memikirkan tulisan yang ada di wallpaper ponselnya.Wajahnya yang terus menunduk membuat Enin penasaran. Wanita paruh baya itu lalu mendekati Bram yang memang semenjak pulang dari RSKO selalu saja merenung sendirian di malam hari.Tangan wanita paruh baya itu lalu meraba bahu Bram sebelum mulai bertanya akan kegalauan hatinya."Kau sudah makan?""Sudah," jawab Bram lirih. "Tadi makan sama Kholil sambil ngobrol.""Ngobrol apa?""Soal prasangka umat. Ku tak begitu paham tentang itu, tapi aku rasa dia benar.""Prasangka umat? Apa yang Ujang maksud?"
"Terima kasih, Pak," ucap Bram dengan lembut saat percakapannya di sambungan telepon yang tak lama itu akhirnya dia akhiri.Tangannya segera meletakkan ponselnya dengan wajah penuh kelegaan."Siapa itu?" tanya Enin sekali lagi berharap kali ini cucunya akan memberikannya jawaban."Itu tadi Pak Warsa, Nin!""Dia bilang apa?"Bram membaringkan tubuhnya di lantai sambil tersenyum simpul menambah penasaran wanita paruh baya ini. "Dia cuma minta aku ke kantor besok,""Ada apa?" tanya Enin sekali lagi dan kali ini sambil mendorong bahu Bram yang tak juga bergeming dari tempatnya."Cuma diminta memeriksa berkas, tak banyak yang dia katakan," Enin menghela nafasnya lalu matanya pun segera menyipit. "Tak mungkin hanya bicara begitu. Aku yakin kau tak katakan semuanya,""Ih!" Bram bangkit dari tempatnya berbaring lalu memeluk neneknya yang begitu penasaran dengan apa yang tadi dia perbincangkan. "Pokoknya Enin tahu beres!""Kau yakin tak ada hal penting lain yang dikatakan pria tua itu?'"Ya
"Sekarang bagaimana?" tanya Bram bingung. "Kita kumpulkan dulu semua data yang kita butuhkan. Aku yakin Dory masih menyimpan banyak rahasia di data perusahaan," "Dan kita akan menemukan semuanya di sini?" Warsa mengangguk lalu mencari lebih jauh semua dugaannya pada sepupu Widi itu. Selama Warsa mencari data yang dia mau, Bram hanya termenung membayangkan semua kemungkinan buruk jika Dory sampai tertangkap, termasuk soal ibu mertuanya yang semakin jelas hubungannya dengan pria jahat itu. Brak!Sebuah folder berkas terjatuh ke lantai dan Bram terperanjat di buanya. "Apa itu?" tanya Bram mengarahkan lampu meja ke arah suara. "Sepertinya ada tikus," "Hah! Bagaimana mungkin tempat ini ada tikusnya?" "Memang seperti itu adanya?" Bram berdiri lalu mendekati folder itu untuk meyakinkan berkas di dalamnya masih dalam keadaan baik. "Lihat!" tunjuk Bram menyadari berkas itu sudah sebagian dimakan tikus. "Apa?" "Berkasnya! Wah! Kalau begini data di ruangan ini tak aman dari hewan," "
"Kenapa kau diam saja?" "Andai mertuaku terlibat, apa yang harus aku lakukan?" "Tentu saja kau harus melaporkannya ke polisi!" "Tak akan semudah itu, Pak!" kesal Bram lalu menghembuskan nafasnya. "Kalau aku melaporkan mertuaku sendiri ke polisi, bisa-bisa istriku marah!" "Astaga, Anak muda. Kau benar-benar dalam masalah kalau seperti itu adanya," Bram kembali tak menjawab, dia hanya manggut-manggut mencoba mencari pemecahan atas masalah pelik yang sedang dia hadapi. Kring! Ponsel Bram berdering dan dia segera menjawabnya. "Halo!" ["Kau dimana?"] tanya Widi dengan suara berbisik. "Aku di lantai 5 dengan Pak Warsa," ["Aku kesana!"] Widi langsung menutup panggilan telepon dan tak lama kemudian mengirim pesan jika dia sudah ada di depan lift. "Aku susul Widi dulu. Bapak di sini saja," pinta Bram lalu melangkah keluar ruangan dan tak lama kemudian kembali bersama istrinya yang nampak cantik dengan dress bunga berwarna merah. "Kenapa kalian ada di ruangan ini?" tanya Widi penasar
"Selamat!" seru seluruh pegawai yang terus bertepuk tangan seperti perintah Dory. "CEO yang baru, kau hebat, Bram!" "Ini benar-benar terjadi?" tanya Bram masih tak percaya dengan pernyataan Dory yang dia pikir akan selalu menolaknya untuk posisi penting di perusahaan peninggalan ayah mertuanya."Iya, aku rasa dia akhirnya menyetujui pengangkatan mu ini, Bram," bisik Warsa lalu ikut berdiri dan bertepuk tangan seperti pegawai lain yang masih terus menuruti permintaan Dory."Cukup!" Dory mendekati Bram lalu tersenyum sinis pada gitaris kenamaan ini. "Ini awal yang baik untuk perdamaian kita, kan?""Perdamaian! Memangnya siapa yang bertikai," sindir Bram lalu terkekeh.Tentu sindiran itu membuat wajah Dory yang awalnya tersenyum kembali terlihat kesal. Dia lalu meraih ponselnya dan menghubungi Dwi, ibu dari Widi dengan melakukan video call untuk melanjutkan rencananya."Ibu Dwi, aku sedang bersama Bram. Dia akan kita angkat jadi CEO mulai besok. Kamu setuju, kan?"Dalam video call itu D
"Bramasta!" seru Dwi begitu lantang membuat semua orang di ruangan itu bertepuk tangan dengan meriah.Bram tersenyum simpul menatap sekeliling ruangan yang riuh menyambutnya di posisi yang paling ditunggu sejak beberapa hari yang lalu."Aku jadi CEO!" ucapnya bangga dengan tangan menggenggam jemari istrinya yang juga tersenyum menyambut keputusan Dwi yang begitu indah untuk mereka.Sesaat setelah pengumuman semua mata masih menatap Bram hingga dengan dada membusung dan senyum menyeringai Dory masuk ke dalam ruangan mengulurkan tangannya untuk Bramasta yang masih terbuai oleh perayaan malam ini."Selamat!" seru Dory lalu menjabat tangan suami Widi Hartono, sepupunya."Terima kasih!" Bram memeluk Dory mengira jika pria tinggi besar di depannya ini telah mengibarkan bendera putih."Kau layak jadi CEO!" tambah Dwi dengan senyuman ramah."Ibu, terima kasih!""Kau jadi CEO mulai besok!" Dory terkekeh lalu melirik ke arah Dwi penuh makna. "Kita pasti akan menolongnya kan?""Tentu!" sahut Dwi