Selama tiga tahun, Kael hidup sebagai bayangan—menantu yang dipaksa menikah, dihina setiap hari, dan dianggap beban oleh keluarga istrinya. Tak ada yang tahu, di balik senyum santai dan sikap tengilnya, tersembunyi sosok yang bahkan dunia bawah pun berlutut padanya. Tapi waktu hampir habis... dan ketika batas yang ditetapkan oleh wasiat telah terpenuhi, rahasia yang dijaga rapat akan mulai mengusik mereka yang dulu menginjak-injaknya.
View More“Semua orang di sini lapar simbol status,” gumam Kael pelan sambil menyilangkan kaki. “Aku cuma butuh satu barang… sesuatu yang bisa membuat nenek tua keras kepala itu setidaknya berhenti meremehkanku.”
Hari ini adalah ulang tahun nenek mertuanya. Hadiah bukan sekadar hadiah, dia butuh sesuatu yang berbicara lebih keras daripada kata-kata. Sejak hari pertama menginjakkan kaki di rumah keluarga Laurent, Kael tidak pernah benar-benar dianggap bagian dari mereka. Setiap langkahnya selalu diiringi cibiran. Mereka menganggapnya tak lebih dari beban, seseorang yang tak pantas duduk sejajar dengan mereka. Kalau bukan karena wasiat kakeknya yang memintanya melindungi mereka dan tetap menyembunyikan jati dirinya, dia sudah pergi sejak lama. “Barang berikutnya; nomor tiga belas. Lonceng Jiwa Seribu Tahun,” suara juru lelang menggema. Sebuah kotak kaca diletakkan di atas meja. Di dalamnya, sebuah lonceng kecil berkilau redup. Permukaannya memantulkan cahaya seakan diselimuti kabut tipis. “Benda ini diperkirakan berasal dari Era Transenden. Terbuat dari paduan logam langka, diyakini mampu memperpanjang umur dan menenangkan jiwa. Harga pembukaan: lima ratus ribu dolar.” Kael sedikit menoleh. Ia menatap lonceng itu sejenak, lalu menyeringai tipis. “Kecil, tapi auranya bersih. Cocok untuk nenek tua yang gemar meditasi sekaligus pamer spiritualitas.” Lelang dimulai. “Lima ratus lima puluh ribu!” “Enam ratus ribu!” “Tujuh ratus ribu!” Suara-suara bersahutan, semakin panas. Seorang pria tua berbadan gemuk menawar sambil mengetuk-ngetukkan tongkat gadingnya. Tak jauh darinya, seorang wanita beranting berlian ikut memanas-manasi harga. “Orang kaya ternyata bisa ribut gara-gara lonceng, ya,” bisik Kael, masih bersandar santai. “Delapan ratus ribu!” seru si wanita. “Satu juta!” sahut pria gemuk dengan suara berat. Suasana makin riuh. Beberapa tamu berhenti meneguk sampanye, menoleh pada duel dua orang itu. Lalu, di tengah hiruk-pikuk, suara tenang terdengar, dari Kael. “Tiga juta.” Ruangan sontak membeku. Semua kepala menoleh. Juru lelang terbelalak, sempat tercekat. “Tiga… tiga juta dolar, dari peserta nomor tujuh puluh tujuh?!” Kael hanya mengangkat alis tipis. “Aku buru-buru. Bisa langsung diketok?” katanya ringan. Hening. Tak ada yang berani melawan angka gila itu. Akhirnya... Tok. Tok. Tok! “Lonceng Jiwa Seribu Tahun terjual kepada peserta nomor 077.” Bisik-bisik segera memenuhi ruangan. Nama-nama besar saling bertukar pandang, berusaha menebak siapa pria asing itu. Tak dikenal, namun berani melempar tiga juta seolah membeli roti. Kael berdiri, melangkah menuju meja pengambilan barang. Ia mengeluarkan kartu hitam eksklusifnya dengan gerakan tenang, seperti sudah terbiasa dengan transaksi semacam ini. Di sana, sudah menunggu Paul William; penguasa dunia bawah Kota Elmridge. Dengan senyum hangat dan penuh hormat, Paul berkata, "Jika Anda menginginkan lonceng ini, Anda tidak perlu membayar, Yang Mulia. Sudah merupakan kehormatan bagi saya karena Anda mengunjungi tempat saya yang kecil ini." Kael langsung membalas, "Tidak! Aku tidak ingin berhutang budi kepada siapa pun. Lagipula, tiga juta bukan nilai yang besar. Cepat selesaikan transaksinya karena aku sedang buru-buru." Paul menyadari jika dia terus memaksa Kael untuk tidak perlu membayar, itu akan membuatnya kesal. Jadi dia mau tidak mau mengambil kartu hitam itu, menyelesaikan transaksi, lalu mengembalikannya kembali pada Kael. "Transaksi selesai, Yang Mulia. Terima kasih karena telah memilih rumah lelang saya. Saya merasa sangat terhormat," kata Paul dengan nada hormat, tapi menyimpan kepahitan. Ini adalah kesempatannya menjalin hubungan yang baik dengan Penguasa Sekte Naga Langit yang hebat dan berpengaruh, yang mana mampu mengguncang dunia hanya dengan mendengar namanya, tapi dia gagal. Bagaimana mungkin dia tidak sedih tentang itu? Setelahnya, Kael melangkah keluar dengan langkah tenang. Tapi identitasnya yang misterius mulai tersebar diam-diam di dalam ruangan. “Siapa pria itu?” “Dia bukan kolektor biasa...” “Matanya… seperti pernah melihat kematian.” Pada titik ini, si pria tua gemuk sebelumnya menghampiri Paul dan bertanya, "Siapa dia sebenarnya, Tuan William? Saya melihat Anda begitu menghormatinya dan berbicara sangat sopan padanya. Apa dia putra dari keluarga yang sangat rahasia dan berpengaruh?" Paul tersenyum saat dia membalas, "Identitasnya lebih dari itu. Dia adalah seseorang yang mampu mengguncang dunia. Tidak, bahkan ketika dia mau, dia bisa menghancurkan dunia. Dia adalah seseorang yang berada di luar imajinasi kita!" Jika bukan Paul yang menyampaikannya, dia pasti tidak akan percaya. Paul kemudian menepuk-nepuk pundaknya, melanjutkan dengan ekspresi serius, "Richard, jika kau bertemu dengannya, lakukan segalanya untuk memuaskannya. Jika tidak bisa, setidaknya jangan singgung dia, atau kau akan hancur berkeping-keping, seperti cermin yang dihantam batu." Richard langsung mengangguk mengerti. Wajah Kael sekarang tersimpan jelas di pikirannya. --- Langit malam bergemerlap, tapi tak bisa menandingi cahaya dari chandelier kristal yang menggantung megah di langit-langit mansion keluarga Laurent. Malam itu, aula utama rumah warisan yang luas itu dipenuhi tamu berpakaian mahal dan mewah. Pesta ulang tahun ke-75 Nyonya Agatha Laurent adalah acara keluarga besar dan relasi bisnis yang paling ditunggu-tunggu. Para kolega, pejabat, dan kalangan sosialita kelas menengah berkumpul dalam tawa, anggur mahal, dan basa-basi. Lalu pintu masuk terbuka. Kael datang. Dia mengenakan pakaian sederhana—kemeja hitam tanpa merek terkenal, sepatu kulit biasa, dan celana panjang hitam polos. Di tangannya hanya satu kotak kaca kecil persegi, dibungkus kain merah. Beberapa kepala menoleh. Bibir mereka mulai bergerak. Tertawa. Berbisik. "Itu dia… menantu sampah keluarga Laurent." "Katanya nganggur, kan? Sungguh pengangguran dengan nyali besar datang pakai wajah itu." "Lihat bajunya… kasihan. Pasti bekas." Salah satu sepupu Evelyne, gadis bermata sipit dengan rambut ikal pirang terang, berujar keras sambil tersenyum merendahkan, "Hei, Kael! Ini pesta, bukan wawancara jadi satpam mall!" Tawa langsung pecah di sekitarnya. Kael hanya melirik dan menjawab ringan, "Oh, kupikir ini pesta cosplay. Jadi aku pilih karakter: 'Orang miskin yang bahagia'. Ternyata kebanyakan di sini pilih 'Orang kaya yang nyebelin' ya?" Tawa di sekitar langsung terhenti, berubah menjadi ekspresi dingin. Seperti biasa, bajingan ini benar-benar tidak tahu malu. Grace Laurent, ibu Evelyne, menyela dengan ekspresi penuh penghinaan di matanya. "Kael... akhirnya datang juga. Kami semua sudah menunggu 'kejutanmu' malam ini. Atau... kehadiranmu itu adalah kejutan itu sendiri?" Kael menjawab datar, "Apakah kau kecewa, Ibu, aku tidak datang telanjang? Padahal pasti lebih seru." Grace mengabaikan balasan itu, matanya tertuju ke kotak kaca kecil di tangan Kael. "Itu hadiahmu? Kami semua membawa hadiah bernilai ratusan ribu. Lalu, apa yang kau bawa itu?" "Oh, ini sangat berharga," jawab Kael santai. "Dijaga di ruang tertutup. Banyak yang ingin memilikinya, tapi hanya aku yang mendapatkannya." Grace tertawa. Dia sepenuhnya menganggap Kael melontarkan omong kosong. Baginya, setiap hal yang dilakukan Kael hanyalah lelucon! Benar-benar aib bagi keluarga! Ini membuatnya semakin bertanya-tanya, mengapa ayah mertuanya menikahkan Evelyne dengan sampah ini? Sungguh, itu adalah keputusan terbodoh! "Kalau begitu tunjukkan jika itu benar-benar hadiah yang hebat!" balas Grace dengan senyum merendahkan. Kael kemudian melangkah ke tengah aula, mendekati kursi besar tempat Nyonya Agatha Laurent duduk seperti ratu di singgasananya. Di sekelilingnya ada lebih dari 20 kado, semua mewah; perhiasan, lukisan, parfum langka. Kael membuka kotaknya dan mengeluarkan sebuah lonceng kecil berwarna perunggu, bersinar tenang di bawah lampu gantung. Hening. Lalu... ledakan tawa. "Astaga, itu... lonceng sapi?" "Serius? Hadiah ulang tahun nenek ke-75 dari menantu adalah lonceng kumuh?" "Mungkin dia pikir itu cocok untuk nenek: tinggal di rumah, pakai lonceng." Agatha menatap benda itu dengan ekspresi dingin, sebelum akhirnya berkata, "Apa ini mainan anak-anak? Apakah pesta ini lelucon bagimu?! Aku belum pernah mendapatkan sesuatu sekosong ini sebelumnya!" Tawa kecil pun kembali terdengar di sudut ruangan. Bibi, paman, dan sepupu-sepupu Evelyne semua tampak senang bisa melihat Kael kembali mempermalukan dirinya sendiri. Evelyne yang duduk tak jauh, menahan napas. Wajahnya sedikit pucat, bercampur kesal. "Kael, aku tadi sudah mentransfer lima puluh ribu... tapi kenapa hanya lonceng? Aku menyesal telah memintamu membeli hadiah!" bisiknya, nyaris tak terdengar.Napas Bella tersenggal, tubuhnya masih bergetar dalam selimut tipis yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Lampu temaram di langit-langit menggantung seperti bintang-bintang palsu, dan udara malam yang masuk dari celah jendela terbuka membawa dingin samar yang justru membuat peluh di kulit terasa lebih nyata.Ia berbaring di sisi ranjang, rambutnya terurai di atas bantal satin berwarna abu-abu gelap. Vincent duduk di sisi ranjang, membelakanginya, menyisakan punggung tegap dan garis bahu yang seolah tak pernah menunduk untuk siapa pun. Ia belum berbicara sejak tadi. Hanya diam, menatap ke kaca besar yang menghadap ke kota dengan ekspresi tak terbaca.Bella, dengan mata setengah terpejam dan senyum kecil yang masih tergantung di bibir, meraih lengannya dan bersandar pelan ke punggung pria itu.“Aku… merasa baru saja dilahirkan kembali,” bisiknya.Tak ada jawaban.Ia tertawa kecil, lembut, seperti seseorang yang baru saja menang dalam pertarungan panjang. “Terima kasih… karena telah memili
Langit malam menggantung tenang di atas kota, diselingi kerlip lampu-lampu gedung pencakar langit. Di antara semua bangunan megah itu, hanya satu yang menjulang paling angkuh: Albrecht Tower. Dinding kacanya memantulkan cahaya malam dengan kemewahan yang menyilaukan, seperti istana kaca dari masa depan.Sebuah mobil coupe mewah berhenti di pintu masuk utama. Dari dalamnya, Bella Laurent melangkah turun dengan anggun. Gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tanpa berlebihan, sementara anting berlian kecil di telinganya memantulkan kilau halus setiap kali ia bergerak.Petugas lobi membungkuk tanpa banyak bicara, dan dalam hitungan detik, Bella sudah dibawa naik dengan lift pribadi—menuju lantai 51.Pintu lift terbuka dengan suara mendesing halus. Di depannya, terbentang koridor sunyi berlapis karpet kelabu, diterangi cahaya lampu gantung minimalis. Di ujung lorong, berdiri dua pria berjas hitam dengan earpiece—tak menyapa, hanya memeriksa wajahnya, lalu membuka pintu
Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis kamar Bella Laurent. Ia sedang duduk santai di sofa beludru di samping jendela, mengenakan gaun santai berwarna krem muda, sambil memutar-mutar gelas infused water yang belum disentuh.Di pangkuannya, tablet menyala menampilkan katalog tas terbaru dari rumah mode luar negeri, tapi pikirannya melayang. Kemarin malam—makan malam di mana tatapan Vincent Albrecht sempat bersinggungan dengan matanya, hanya sekejap... tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak kencang."Aku yakin dia melihatku," bisiknya pelan.Dan seolah menjawab pikirannya sendiri, ponsel di meja kecil tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari aplikasi eksklusif bernama LionLine, platform komunikasi terenkripsi milik kalangan ultra-elit.Bella mematung. Jarang sekali ada notifikasi dari aplikasi itu. Saat ia meraih ponsel dan membuka pesannya, matanya langsung membelalak.Pengirim: Vincent AlbrechtWaktu: 13.02Pesan itu pendek, tapi cuku
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menghilang di lorong, keheningan perlahan mengisi kamar itu. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut menahan napas.Kael berdiri diam di samping Evelyne, matanya masih menatap pintu, seakan memastikan tidak ada yang kembali. Setelah beberapa detik, ia berbalik, memandang perempuan itu dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.“Terima kasih,” ucapnya pelan. "Aku terharu kau berada di pihakku kali ini."Evelyne menatap Kael. Sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya keras.“Aku melakukan ini karena wasiat Kakekku,” katanya dengan suara datar. “Tidak lebih.”Kael tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menatapnya dalam diam.“Aku menghormati Kakek lebih dari siapa pun di dunia ini,” lanjut Evelyne. “Dan karena itulah aku berdiri di sampingmu tadi. Jadi jangan salah paham, Kael.”Ia mengambil satu langkah menjauh darinya. “Namun aku penasaran… kenapa kau menantang Vincent?”Kael tetap diam, menunggu Evelyne menyelesaikan pe
Di salah satu kamar di lantai tiga, kamar Kael dan Evelyne. Di dalam, Kael duduk santai di kursi dekat jendela, dengan kaki bersilang dan tangan menyesap teh hangat yang baru saja ia buat sendiri. Tak lama, suara langkah kaki terdengar terburu-buru dari koridor.Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka kasar, dan masuklah Hector, Agatha, Mariana, dan Grace dalam satu rombongan. Wajah mereka semua mengeras, seperti baru saja menelan bara.“Beraninya kau menantang Vincent?!” seru Hector, matanya membelalak seolah ingin menghajar Kael saat itu juga.“Apa kau pikir orang rendahan sepertimu bisa berdiri setara dengan Vincent Albrecht?!” Mariana menimpali, suaranya tinggi dan tajam seperti pecahan kaca.Kael hanya melirik sekilas ke arah mereka. Ia tak berdiri. Bahkan tak tampak terkejut sedikit pun. Ia hanya mengangkat alis ringan sambil menyesap tehnya sekali lagi.“Bukankah sudah jelas,” katanya santai, “itu semua hanya candaan.”Agatha melangkah maju. Suaranya dingin dan getir. “Apa menurutmu k
Evelyne akhirnya buka suara. Dia tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak berbicara. Ia mengangkat wajah, menatap Vincent dengan sorot yang tajam.“Saya tidak akan meninggalkan Kael,” katanya pelan tapi jelas. “Tidak peduli bahkan jika Anda punya status yang besar... saya berpegang teguh pada...”Namun sebelum dia bisa melanjutkan, sebuah tangan kurus tapi dingin mencengkeram pergelangan tangannya di bawah meja. Agatha.“Cukup,” bisiknya lirih namun menusuk. “Jangan permalukan keluarga ini hanya karena bajingan itu! Berhentilah membela dia!"Evelyne terdiam, rahangnya mengeras. Tapi ia tahu... Agatha sedang marah, dan dia tak boleh memancing kemarahannya lebih parah, atau itu akan berakibat buruk pada kondisi kesehatannya.Pada akhirnya, Evelyne menutup mulutnya, tidak berkata apa-apa lagi.Agatha mengangguk puas dengan reaksi Evelyne, lalu menoleh lembut ke arah Vincent. Wajahnya tersenyum tenang, namun ucapannya tajam seperti jarum beracun yang dibungkus satin.“Jangan dengarkan omo
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments