Share

Penolakan Keluarga Widi

"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya.

"I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.

Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya.

"Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.

Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba...

"Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang.

"Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu.

"Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?"

"Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.

Plas!

Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya.

"Kenapa denganmu?" 

"Kau pikir aku masih sudi menerima jabatan tanganmu?"

"Memangnya kenapa?"

"Kau itu mantan pengguna narkoba yang hanya bisa menyakiti hati kakak sepupuku,"

"Tapi..."

"Cuih! Pergi kau! Tak usah kau datang lagi kemari. Kau pasti datang hanya untuk menyakiti Widi, kan?"

Bram mengerutkan keningnya lalu menatap Dory yang sebenarnya begitu dekat dengannya sebelum kasus narkoba yang menimpanya, dia terus menatap pemuda berbaju jas berwarna biru itu dengan tajam berharap tau alasan Dory berubah sedrastis ini.

"Kau masih berani menatapku seperti itu?" kesal Dory lalu mendorong bahu Bram dengan kasar.

"Kau kenapa? Kau bahkan masih menyapaku saat aku selesai konser dulu?"

"Itu dulu! Sekarang semua berubah. Pergi saja kau..." 

Belum selesai Dory memaki suami dari sepupunya, Tuan Hartono, ayah Widi menghampiri keduanya.

"Bram! Syukurlah!"

"Ayah!" panggil Bram merasa menemukan angin sedar ditengah pertikaiannya dengan Dory.

"Kau pasti ingin bertemu dengan Widi, kan?"

"Ya, Ayah! Mana dia!"

"Ikut aku," lirih Hartono sambil mendorong lembut bahu menantunya itu menuju lift yang akan membawa mereka menuju lantai 4, lantai dimana Widi sedang dirawat.

"Sial! Dia masih saja bisa beruntung, padahal aku hamil mengusirnya," lirih Dory lalu meremas jarinya hingga berbunyi.

"Dory! Sedang apa kau disini?" tanya Dwi, Ibu tiri Widi yang kebetulan melihat Hartono melangkah menuju lift.

"Tante, kita harus menghentikan Paman, dia akan membawa Bram mendekati Widi! Aku tak mau dia akan..."

"Tenang!" potong Dwi dengan wajahnya yang jahat. "Aku tau maksudmu, tapi tenang saja, penerus bisnis suamiku tetaplah dirimu,"

"Bagus! Aku tak mau posisiku rusak karena kehadiran pria menyebalkan itu!"

"Semua anggota keluarga sudah setuju kalau kau yang akan duduk di singgasana itu, aku tenang saja!"

Dory tersenyum lebar sembari menangguk puas. 

Saat Dory begitu puas dengan dukungan dari Dwi, Bram tiba di lantai empat dan menemui Widi yang terbaring lemah di sana.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Bram saat mengintip istrinya dari balik pintu ruang perawatan.

"Bayinya sudah ingin keluar, tapi usia kandungannya belum genap sembilan bulan," tutur Hartono dengan kepala tertunduk.

"Ini pasti salahku, Ayah."

"Terlambat, Bram. Semua sudah terjadi dan kita harus menerima kenyataan ini. Kau tenang saja, aku akan tetap memberikan perawatan untuk cucuku hingga dia lahir nanti,"

Bram memeluk Hantono dan rasa bersalahnya semakin memuncak. Andai saat penangkapannya itu dia melakukan perlawanan pada pembuat fitnah atas dirinya pasti hari ini Widi tak akan mengalami masala kandungan.

“AAH!” rintih Widi sambil meraba-raba perutnya.

“Widi!” panggil Bram bersiap untuk masuk ke dalam kamar perawatan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status