Tiga Hari Setelah Kecelakaan…Nafeeza masih terbaring lemah di ICU. Rafa setia di sisinya. Namun, di luar ruang ICU, ada sosok lain yang diam-diam bergerak dalam diam.Arfan.Ia bukan lagi pria yang sama seperti dulu, emosional, egois, dan mudah lepas kendali. Kehilangan Nafeeza, dan penolakan Danis, mengubahnya perlahan. Ia tahu, satu-satunya cara untuk menebus semuanya, adalah melindungi Nafeeza… bahkan dari bayang-bayang.***Kantor Kepolisian Metro Ruang Intelijen Kriminal. “Saya ingin kalian telusuri semua transaksi yang dilakukan atas nama Aurel sejak tahun 2019. Terutama pada bulan terjadinya kecelakaan saya dulu.”“Saya korban dari kejahatan mereka sebelumnya. Dan… saya tidak akan biarkan Nafeeza dan Danis jadi korban selanjutnya,” lanjut Arfan sambil menunjuk sebuah dokumen.Petugas itu terdiam, lalu mengangguk. “Kami akan ajukan surat penangkapan dan pelimpahan berkas secepatnya, Pak.”****Keesokan Harinya – Pers Konferensi Polri “Hari ini, kami resmi menetapkan dua tersa
Koridor RS Bhakti Medika – Depan Ruang Observasi AnakArfan melangkah keluar dari ruang Danis dengan langkah gontai. Matanya sembab, napasnya berat. Ia berhenti sejenak di lorong, memijit pelipisnya yang berdenyut hebat.Namun, langkahnya terhenti saat melihat Rafa berlari masuk ke area resepsionis, wajahnya penuh kegelisahan. “Nafeeza sudah datang?!” tanya Rafa cepat pada petugas jaga.Arfan menoleh, tubuhnya refleks mundur ke belakang tiang. Ia tidak berniat bertemu Rafa, apalagi dalam kondisi seperti ini. Tapi telinganya menangkap jelas apa yang terjadi.“Belum, Pak. Tapi Danis sudah aman, masih di ruang observasi,” jawab perawat.Belum sempat Rafa bereaksi, seorang satpam tergesa menghampiri. “Pak… barusan kami dapat telepon dari pos pengawasan tol. Ada kecelakaan. Mobil korban atas nama Ibu Nafeeza Mahendra...”Arfan langsung membeku. “Apa…?” suara Rafa lirih, nyaris tak terdengar.“Ambulans sudah menuju lokasi. Tapi katanya mobil terguling parah... korban tidak sadarkan diri…
Di dalam mobil, Nafeeza sudah duduk di balik kemudi sedan hitamnya, matanya masih basah. Napasnya belum stabil, tapi tangannya menggenggam setir erat. Ia menyalakan mesin mobil, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju perlahan keluar dari garasi rumah mewah mereka.Ponselnya berdering kembali. Di layar: “Mas Rafa”Nafeeza melihat sejenak, tapi tak langsung menjawab. Ia tahu apa yang akan Rafa katakan. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk menurut.Ponsel terus berdering. Akhirnya Nafeeza menekan tombol jawab di setirnya. Sambungan suara tersambung lewat sistem audio mobil.“Feeza… Sayang, kamu di mana sekarang?” “Aku sudah di mobil, Mas. Di jalan tol. Aku enggak sanggup nunggu...” jawab Nafeeza lirih, suaranya masih parau. “Feeza, please... tolong berhenti di rest area terdekat. Aku akan segera susul kamu ke sana. Tolong jangan lanjut sendiri... kamu masih lemah, dan..”“Mas, aku ibunya Danis...” Nafeeza menyela. “Aku harus peluk dia. Hari ini... detik ini... aku enggak bisa tunggu lebih
Arlena terlihat gelisah. Napasnya mulai tak beraturan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka tas kecil yang sejak tadi terletak di samping kursinya. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk mungil berwarna merah marun.Semua penyidik di ruangan itu langsung waspada. “Apa itu?” tanya Kompol Yudha dengan suara datar namun penuh tekanan.Arlena meletakkannya perlahan di atas meja. Jemarinya bergetar. “Sesuatu yang... harus kalian lihat.”Arfan menyipitkan mata, wajahnya menegang. “Jangan bilang ini akal-akalan lagi, Arlena.”Arlena menggeleng cepat. “Tidak... ini tentang... kecelakaanmu dulu, Arfan.”Ruangan seketika hening.“Apa?” tanya Arfan nyaris berbisik.Arlena menatapnya dengan mata merah.“Selama ini kau pikir kecelakaan itu murni... Tapi sebenarnya tidak.”Ia menunduk, lalu melanjutkan lirih. “Itu... ulah Aurel.”Wajah Arfan mengeras, nyaris tak percaya. Kompol Yudha memberi isyarat agar penyidik segera memutar isi flashdisk. Sebuah video terbuka: rekaman hitam-putih dari kamera p
Tiga mobil polisi meluncur cepat menuju kawasan elit di Jakarta Selatan. Salah satunya ditumpangi oleh Kompol Yudha dan Arfan. Wajah Arfan tampak kaku, penuh amarah dan luka. Ia tak berbicara sepatah kata pun selama perjalanan. Hanya tatapan kosong, namun dalam, menyimpan dendam yang mulai menyala.Mobil berhenti tepat di depan gerbang besi rumah Arlena. Salah satu petugas menekan bel pagar dengan nada tegas.Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh seorang pembantu. Wajahnya tampak bingung melihat rombongan polisi.“Selamat siang. Kami dari Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Kami ingin bertemu dengan Nona Arlena,” ucap salah satu petugas.Seketika, suara langkah tinggi terdengar dari dalam rumah. Arlena muncul dengan gaun panjang berwarna krem, riasan wajah sempurna seperti biasanya. Tapi sorot matanya menyimpan kegelisahan. “Ada apa ini? Mengapa datang seenaknya ke rumah saya?” tanyanya dengan nada tinggi namun masih menjaga citra anggun.Kompol Yudha menunjukkan surat. “Kami datang de
Satu jam kemudian..Di dalam kamarnya, Arlena berjalan mondar-mandir, gelisah. Di tangannya, ponsel yang terhubung ke ponsel Aurel."Arfan meneleponku," ucap Arlena panik.Aurel diujung telepon. “Dan?”“Dia lihat aku keluar dari apartemenmu. Aku sempat bilang aku cuma rapat... tapi dia tahu aku bohong.”Aurel meneguk anggurnya. “Dia mulai mencurigaimu?”“Bukan cuma itu.” Arlena menarik nafas panjang. “Dia mengancam akan membatalkan semuanya kalau tahu aku berbohong... Bahkan menyeretku ke pengadilan.”Aurel tertawa sinis. “Itulah Arfan. Selalu jadi pahlawan. Terutama untuk Nafeeza dan anak kecil itu.”“Danis,” desis Arlena. “Selama anak itu ada… Nafeeza akan terus ada di hidupnya. Tak peduli dia sudah menikah atau tidak.”Aurel mengangguk, suaranya berubah dingin. “Makanya kita buat dia... menghilang. Aku bantu kamu karena kita punya musuh yang sama.”“Tapi jangan pernah lupa, Aurel. Pada akhirnya... hanya salah satu dari kita yang akan berdiri di sisi Arfan,” potong Arlena tegas.Aur