Demi biaya pengobatan suamiku yang mengalami kecelakaan, aku terpaksa meninggalkannya. Ibu mertuaku berjanji akan menanggung semua biaya perawatannya, dengan satu syarat, aku harus pergi dari hidupnya. Diam-diam, aku membawa serta anak dalam kandunganku. Aku tak pernah membayangkan harus memilih antara tetap di sisi suamiku atau memastikan dia mendapatkan perawatan yang layak. Tapi ibu mertuaku tak memberiku pilihan lain. "Jika kau benar-benar mencintainya, buktikan dengan menghilang dari hidupnya," katanya dingin, menatapku dengan penuh kebencian. "Kamu sudah cukup membawa sial dalam hidupnya." Dadaku sesak. Aku ingin membela diri, ingin berteriak bahwa aku bukan penyebab semua ini. Tapi saat aku menoleh ke arah Arfan, terbaring lemah dengan nafas yang bergantung pada alat medis, aku tahu aku tak punya pilihan lain. Malam itu, dengan tangan gemetar, aku mengemasi barang-barangku. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan tentu saja, rahasia terbesar yang ku sembunyikan dari ibu mertuaku, kehidupan kecil yang tumbuh dalam rahimku. Sebelum pergi, aku berdiri di ambang pintu kamar rumah sakit, menatapnya untuk terakhir kali. Aku ingin menyentuhnya, menggenggam tangannya, membisikkan bahwa aku mencintainya dan berharap dia segera sadar. Tapi aku takut. Takut jika aku menunggu lebih lama, aku tak akan sanggup pergi. "Aku mencintaimu," bisikku pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan hatiku bersamanya.
View MoreKeesokan harinya…Nafeeza menatap bayangannya di cermin, membenarkan kerudungnya sambil mengatur napas. Setelah menyiapkan sarapan dan memastikan Danis aman bersama Bibi Rara, Nafeeza pun bersiap berangkat ke Avila Studio.Tepat pukul sebelas siang, ia menghampiri ruang kerja Pak Edo dengan langkah pelan tapi yakin.“Pak Edo,” sapanya sambil mengetuk pelan pintu yang setengah terbuka.Pak Edo menoleh dari layar komputernya. “Oh, Nafeeza. Ada apa?”“Apa saya boleh pulang lebih awal hari ini, Pak? Orang tuanya Rafa akan datang. Saya harus menyiapkan beberapa hal.”Edo langsung menyunggingkan senyum lebar, seperti menemukan topik yang sudah lama ia tunggu-tunggu.“Wah, calon mertua datang, ya?” godanya sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan menyilangkan tangan di dada.Nafeeza langsung tersipu, tapi berusaha tetap menjaga ekspresi datarnya. “Pak Edo…” ucapnya memperingatkan, setengah malu, setengah geli.“Lho, saya serius,” Edo mengangkat alis dengan gaya dramatis. “Ini pertemua
Akhir pekan…Nafeeza berdiri di teras rumah kontrakannya, memandangi tumpukan kardus dan koper yang sudah ia siapkan sejak semalam. Sebagian sudah diberi label: baju Danis, alat dapur.“Semua udah beres di dalam?” suara Rafa terdengar dari dalam rumah, disusul langkah kakinya yang ringan membawa dua kardus ke halaman.Nafeeza tersenyum kecil. “Sudah hampir. Tapi… aku masih ragu bawa rak buku yang itu. Berat banget.”Rafa menengok ke arah dalam. “Yang coklat tua itu? Tenang aja, aku yang angkut.”Nafeeza hanya tersenyum, menyembunyikan kelelahan yang mulai merayap di ujung bahunya. Ia duduk sebentar di pinggiran teras, memandangi halaman yang selama ini jadi tempat Danis bermain bola kecil. Ada semacam rasa sentimental yang mengapung di udara. Tempat itu bukan rumah impian, tapi jadi saksi jatuh bangunnya ia sebagai ibu tunggal.Rafa menatap wajah Nafeeza yang teduh tapi menyimpan banyak luka tersembunyi. Ia tahu betul Nafeeza bukan perempuan lemah. Tapi luka yang terus-menerus diperta
“Tolong Ma! Jangan ganggu Nafeeza lagi. Dan jangan berani ganggu Danis,” kata Arfan dengan tegas.“Apa maksudmu?”“Jangan pura-pura, Ma. Aku tahu soal laporan ke dinas.”Nyonya Yuliana menarik napas pelan. “Aku hanya… khawatir pada Danis, cucu mama.”Arfan melangkah lebih dekat, nadanya meninggi namun tetap terkendali. “Khawatir? Mama tidak sedang khawatir. Mama sedang mencoba mencabut hak Nafeeza sebagai ibu. Itu bukan kekhawatiran, itu pengkhianatan.”“Arfan..”“Aku sudah cukup diam, Ma,” potong Arfan, kini suaranya lebih dingin. “Diamku selama ini justru membuat Mama merasa berhak atas sesuatu yang bukan milik Mama. Danis bukan milik Mama. Dan Nafeeza… dia bukan musuh.”“Dulu Mama memfitnah Nafeeza, sekarang ingin merebut Danis, setelah apa yang telah kita lakukan pada Nafeeza. Diluaran sana, Nafeeza melahirkan Danis sendirian Ma,” lanjut Arfan dengan mata yang berkaca-kaca.Nyonya Yuliana menunduk, ia kehilangan kata-kata. Sorot matanya bergetar, tapi ia menolak menunjukkan kelema
Nafeeza berdiri di lobi Veranza Grup dengan wajah pucat tapi matanya menyala penuh tekad. Ia tak bisa lagi menunggu. Pesan dari Dinas Perlindungan Anak yang diterimanya pagi tadi membuktikan bahwa ini bukan sekadar ancaman diam-diam. Ini perang terbuka, dan ia tahu dari mana asalnya. Langkah-langkahnya mantap, meski jantungnya berdebar cepat. Ia memakai setelan sederhana berwarna netral. Sorot matanya tajam dan tenang.Resepsionis wanita yang duduk dibalik meja tinggi itu menatapnya ragu.“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.“Saya ingin bertemu Pak Arfan,” jawab Nafeeza singkat.Resepsionis memandang ke layar komputernya, lalu kembali menatap Nafeeza. “Sudah ada janji sebelumnya?”“Tidak. Tapi bilang padanya… Nafeeza ada di sini.”Suasana hening beberapa detik. Nama itu, Nafeeza, membuat si resepsionis mengerutkan dahi, tapi ia segera menelpon lantai direksi. Tak lama kemudian, dua pria dari tim keamanan berpakaian rapi datang menghampiri.“Saya mohon maaf, Ibu.
Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik
Senyum licik itu belum sepenuhnya hilang dari wajah Nyonya Yuliana saat pelayan masuk membawakan teh hangat tambahan. Setelah Arfan pergi, suasana kembali hening, tapi di dalam pikirannya, rencana-rencana terus bergerak.“Perempuan kampung itu benar-benar keras kepala,” gumamnya sambil menyesap teh. “Tapi dia lupa siapa yang pegang kuasa sebenarnya.”Sudah sejak awal Yuliana tak pernah menyukai Nafeeza. Bukan karena pribadi atau sikapnya, melainkan karena asal-usulnya. Baginya, Nafeeza bukan pasangan sepadan untuk Arfan, pewaris keluarga pemilik jaringan properti dan logistik ternama.“Aku sudah buat dia keluar dari hidup Arfan sekali, dan aku bisa melakukannya lagi,” bisiknya dingin.Namun kali ini, segalanya berbeda. Nafeeza tidak lagi lemah. Ia berdiri tegak, berani menentang bahkan ketika tak punya apa-apa. Yuliana tahu, jika ia ingin merebut Danis, ia tak bisa melawan langsung. Ia harus bermain lebih licik, lebih halus. Jika ia bisa menyerang dari sisi citra, ia bisa menekan po
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments