Demi biaya pengobatan suamiku yang mengalami kecelakaan, aku terpaksa meninggalkannya. Ibu mertuaku berjanji akan menanggung semua biaya perawatannya, dengan satu syarat, aku harus pergi dari hidupnya. Diam-diam, aku membawa serta anak dalam kandunganku. Aku tak pernah membayangkan harus memilih antara tetap di sisi suamiku atau memastikan dia mendapatkan perawatan yang layak. Tapi ibu mertuaku tak memberiku pilihan lain. "Jika kau benar-benar mencintainya, buktikan dengan menghilang dari hidupnya," katanya dingin, menatapku dengan penuh kebencian. "Kamu sudah cukup membawa sial dalam hidupnya." Dadaku sesak. Aku ingin membela diri, ingin berteriak bahwa aku bukan penyebab semua ini. Tapi saat aku menoleh ke arah Arfan, terbaring lemah dengan nafas yang bergantung pada alat medis, aku tahu aku tak punya pilihan lain. Malam itu, dengan tangan gemetar, aku mengemasi barang-barangku. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan tentu saja, rahasia terbesar yang ku sembunyikan dari ibu mertuaku, kehidupan kecil yang tumbuh dalam rahimku. Sebelum pergi, aku berdiri di ambang pintu kamar rumah sakit, menatapnya untuk terakhir kali. Aku ingin menyentuhnya, menggenggam tangannya, membisikkan bahwa aku mencintainya dan berharap dia segera sadar. Tapi aku takut. Takut jika aku menunggu lebih lama, aku tak akan sanggup pergi. "Aku mencintaimu," bisikku pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan hatiku bersamanya.
Lihat lebih banyakHari itu cerah. Angin sejuk berhembus lembut, menggerakkan pucuk-pucuk pohon di pelataran rumah sakit. Nafeeza duduk di kursi roda, mengenakan dress lembut warna krem yang dipilihkan perawat untuknya. Wajahnya tampak segar, senyumnya kecil namun tulus.Arfan berdiri di sampingnya, tangan menyentuh bahu Nafeeza dengan ringan. Ketika mobil hitam berhenti di depan mereka, pintu dibuka oleh seorang pria muda berpakaian rapi.NAFEEZA (menyipitkan mata, heran): “Eh… ini siapa? Kok bukan Rendy yang jemput?”Arfan menegang seketika. Senyum asistennya, Dimas, tetap sopan meski bingung ditatap tajam oleh perempuan yang belum pernah ia temui sebelumnya.ARFAN (cepat-cepat menimpali): “Oh, Rendy… dia lagi pulang kampung, Feeza. Ada urusan keluarga. Jadi sementara Dimas yang bantuin aku.”NAFEEZA (mengernyit): “Pulang kampung? Tumben banget… biasanya kamu gak pernah lepasin Rendy. Dia kan tangan kanan kamu.”Nada suaranya ringan, seperti sekadar menggoda. Tapi bagi Arfan, kata-kata itu seperti pis
NAFEEZA (manja): “Sayang, kamu kemana aja… katanya cuma sebentar.”Kata-kata itu menghantam dada Rafa seperti palu godam. Tubuhnya membeku.Suasana kamar mendadak terasa sempit, sunyi, padahal suara detak monitor masih berdetak perlahan di latar.ARFAN (mendekat): “Aku cuma keluar sebentar, Feeza. Kamu sudah baikan?”NAFEEZA (tersenyum lembut):“Sedikit pusing... tapi sekarang udah mendingan. Soalnya kamu udah di sini.”Rafa berdiri kaku di ujung ranjang. Tatapannya kosong menatap tangan Nafeeza yang kini perlahan menggenggam jemari Arfan, bukan dirinya.Ia menggigit bibir, menahan sesuatu yang mulai menghangat di pelupuk matanya.Lalu ia berpaling, menunduk, dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata pelan,RAFA: “Aku keluar sebentar. Biar kalian ngobrol…”NAFEEZA: “Oh, iya… terima kasih ya sudah jagain aku, Dokter Rafa.”Kata-kata itu terdengar begitu formal. Jauh. Dingin.Bibir Rafa tersungging sebentar, sekilas senyum hancur yang hanya ia sendiri pahami.Tanpa sepatah kat
Danis duduk di kursi kecil di samping ranjang, sementara Nafeeza mewarnai bunga matahari di atas buku gambar. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi goresan warnanya mulai rapi. Danis ikut mewarnai di sisi lain halaman.NAFEEZA (tersenyum): “Kamu pintar mewarnai, Danis.”DANIS (bangga): “Papa yang ngajarin.”Nafeeza menoleh ke arah Rafa, yang tersenyum dari balik meja. Ia membalas senyum itu, lalu menoleh kembali ke Danis.NAFEEZA (heran): “Kamu manggil dia Papa?”DANIS (mengangguk cepat): “Iya. Papa Rafa.”Nafeeza terdiam sejenak. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak berkata apa pun. Matanya menatap Danis lebih lama, lebih dalam. Seolah ada sesuatu yang berusaha muncul ke permukaan pikirannya, namun masih samar.Nafeeza masih menatap Danis, seolah tengah mengumpulkan kepingan bayangan yang berserakan di pikirannya. Ujung bibirnya bergerak pelan, matanya berkedip lambat, ada getaran aneh yang tidak bisa ia jelaskan.NAFEEZA (pelan, nyaris bergumam): “Papa… Rafa…”Ia mengulangnya perlahan
Taman Bermain Rumah Sakit. Danis duduk di atas ayunan kecil, mengenakan hoodie abu-abu yang sedikit kebesaran. Jemarinya terus menggenggam erat boneka dinosaurus kecil, seolah menjadi satu-satunya pengganti pelukan ibunya. Daun-daun kering berjatuhan ditiup angin lembut. Rafa berdiri tak jauh, bersandar pada pagar kayu pembatas taman. Pandangannya tertuju pada anak itu, bocah enam tahun yang terlalu dewasa dalam luka, terlalu sering menelan rindu tanpa tahu kepada siapa harus bertanya. DANIS (pelan): “Pa…” RAFA (mendekat, lembut): “Iya, Nak?” DANIS: “Kapan aku bisa ketemu Mama? Aku janji nggak akan rewel…Aku cuma mau lihat Mama…” Rafa duduk perlahan di samping Danis, mengelus rambut anak itu yang halus dan mulai lepek oleh keringat. Hatinya terasa seperti digores setiap kali mendengar pertanyaan yang sama. Ia menatap langit senja sebentar, seolah mencari keberanian di antara warna jingga dan bayang senyap. RAFA: “Papa mau jujur sama kamu, Danis…” Danis menoleh, wajahnya seri
Nafeeza perlahan mulai bisa duduk sendiri tanpa bantuan banyak bantal. Wajahnya pucat, tapi ada warna merah muda yang kembali muncul di pipinya. Senyum manja tak henti-hentinya ia tunjukkan, terutama saat Arfan datang.Dan hari ini, senyumnya bahkan lebih ceria dari biasanya. “Mas… kamu telat,” keluhnya saat Arfan masuk membawa buket bunga mawar putih. “Aku tadi nungguin kamu dari jam delapan.”Arfan terkekeh kecil. “Maaf Feeza, tadi mas mampir ke kantor sebentar.” “Tapi aku rindu kamu sejak bangun tidur,” jawab Nafeeza sambil manyun, lalu menepuk sisi ranjang. “Duduk sini.”Arfan mendekat, duduk di tepi ranjang. Nafeeza langsung bersandar di bahunya seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya. “Aku nggak suka tempat ini,” gumamnya. “Bau obat. Bau alkohol. Aku ingin pulang. Ke rumah kita.”Arfan menoleh pelan. “Rumah yang mana?” “Rumah kita dong… yang kamu bilang mau kamu isi dengan bunga setiap hari. Rumah yang di depannya ada taman kecil, dan kita tanam p
Beberapa Menit Setelah Nafeeza Sadar.Rafa duduk terpaku di kursi sisi ranjang. Matanya masih merah, wajahnya pucat. Nafeeza masih dalam keadaan setengah sadar, matanya terbuka tapi tatapannya kosong, terjebak dalam fragmen waktu yang bukan hari ini.“Di mana suamiku?” bisik Nafeeza lemah.Rafa menunduk. Ia mencoba bicara, tapi suaranya tak keluar. Perasaan ditikam dan ditelan sekaligus. Nafeeza bangun, tapi tidak mengenalnya.Suster yang memantau dari luar segera memanggil dokter saraf.*** Ruang Konsultasi NeurologiRafa duduk berhadapan dengan dr. Hilmi, dokter saraf yang menangani Nafeeza. Tangannya gemetar saat mencoba meraih cangkir kopi yang disediakan di meja. Ia tak menyentuhnya. “Saya tahu ini berat, Pak Rafa,” ujar dr. Hilmi dengan tenang. “Tapi Anda harus bersiap. Istri Anda mengalami amnesia retrograde, terutama yang mencakup memori beberapa tahun terakhir.”“Maksudnya... dia hanya ingat masa lalu? Sebelum semua ini?” “Benar. Memori yang ia ingat kemungkinan besar bera
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen