“Menurutmu saya kerja apa?”
Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya. “Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya. Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya. “Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus. “Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.” Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi. Makan malam berlangsung santai. Sigit benar melakukan janjinya. Dia membayar makanannya. Ketika pelayan restoran menawarkan bantuan untuk membayar kepada kasir, Sigit menolak. Dia malah membayar sendiri di meja kasir. Heran dengan pria itu. Ada yang mudah malah dia mau yang repot. Aku sebenarnya ingin mengikutinya ke meja kasir, tetapi Sigit mencegah. Dia ingin aku menunggu saja seraya menghabiskan makanan penutupnya. Aku turun dari atas motor butut Sigit. Pintu rumah masih terbuka. Sepertinya Ibuku masih terjaga. Kulirik jam tanganku. Jam Sembilan malam. Lama juga aku makan malam. Tidak lama motor dimatikan, Ibuku keluar dari dalam rumah. Tangannya berkacak pinggang. “Darimana saja kamu?!” Ibu bertanya marah. “Belum laporan penjualan toko, sudah pergi seenaknya!” “Bu.” Sigit maju ketika aku hendak menjawab pertanyaan Ibu. “Ayu saya ajak makan malam.” Ibu mengibaskan tangannya. “Halah! Makan malam?” diperhatikannya SIgit dari atas sampai bawah dengan tatapan tidak suka. “Gaya kamu kayak orang kaya aja! Sok-sokan.” Lalu Ibu tertawa. Tawa mengejek. Sigit mengulurkan tangannya pada Ibu. “Ini untuk camilan Ibu. Martabak.” Ibu melirik sekilas makanan pemberian Sigit yang kami beli di penjual martabak pinggir jalan dengan jijik. “Enggak level saya! makan sendiri sana!” ucapnya diakhir dengan bergidik. “Baik,” ucap Sigit kembali menurunkan tangannya. Aku menatap wajah Sigit berusaha mencari kekecewaan padanya tetapi aku tidak menemukan apa-apa selain wajah tenangnya. “Ayu, mana uangnya!” Ibu tanpa basa-basi menarik tas selempangku dan mengeduk isinya hingga uangnya berhamburan. Aku belum sempat menghitungnya tadi, hanya kurapikan saja tanpa kuberikan ikatan agar tidak lepas. Kuperhatikan Ibu yang tidak sabar menghitung uang itu. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang luar biasa. Dia menatapku seraya mengacungkan uang yang sudah dihitungnya kepadaku. “Ayu, kenapa cuma sedikit? Mana sisanya?!” “Bu,” ucapku pelan. “Memang segitu, Bu. Enggak ada lagi.” “Halah!” Ibu menarik tas selempangku hingga talinya putus. Tas yang sudah ringkih itu akhirnya rusak. Tas milikku satu-satunya. “Bu.” Aku berkata pelan berusaha menghalau sedihku. Tas milik Ibu kandungku rusak sudah. “Bu, kenapa tas Ayu ditarik?” Sigit mulai maju lagi satu langkah. Dihalanginya aku dengan punggungnya. “Diam kamu!” Ibu berteriak pada Sigit. “Kamu orang luar. Jangan ikut campur!” “Tapi bisa baik-baik, Bu.” Sigit berkata lagi. Nada suara masih sama. Tenang. Tidak terpancing marah. “Saya enggak suka ada yang bantah omongan saya termasuk kamu!” Ibu benar-benar marah sekarang. Aku mengulurkan tanganku menarik ujung kaus yang dipakai Sigit. “Sudah,” kataku serak. Aku tidak mau mencari ribut. “Tetangga nanti dengar.” Sigit berbalik. “Tas kamu rusak, Ayu.” “Enggak apa-apa.” aku menjawab berusaha menjadi seperti Sigit yang tenang. Namun, aku yakin gagal. Wajahku selalu terbaca ketika sedih atau gundah. “Ayu, kamu makan uangnya, ya?!” Ibu berkata lagi. Ibu masih mengeduk tas selempangku dan membalik tasnya. Tidak akan ada yang jatuh dari dalam tas itu. Aku tidak membawa apapun selain uang penjualan toko yang kata Ibu tidak seberapa hari ini. Sigit menatapku. Sebaliknya, aku menatap Ibuku. “Enggak, Bu. Aku berani sumpah. Cuma segitu yang kudapat hari ini.” Ibu menggeram lalu melemparkan tas selempang itu padaku. Belum sempat aku menangkapnya, tas tersebut jatuh ke tanah yang sedikit basah malam ini. Sigit mengambil tasnya lalu menatapnya. “Enggak apa-apa,” kataku padanya. “Maaf, ya.” Sigit berucap lalu menatapku. “Kenapa kamu yang minta maaf?” aku tidak mengerti pikirannya. “Karena saya, kamu jadi kena marah.” Aku menghela napas. “Bukan kamu,” balasku. “Aku sudah biasa dimaki-maki Ibu.” Kataku lagi lalu masuk ke dalam rumah. “Ayu!” kali ini Utami yang memanggilku. Aku menghentikan langkahku. “Kenapa?” jawabku tanpa minat. “Kata Ibu, kamu dan suamimu tidur di luar malam ini.” “Apa?” aku tidak salah dengar? “Kenapa?” “Ayu, cepat kita istirahat.” Sigit berjalan melewati Utami begitu saja. “Hey!” Utami protes saat Sigit tidak memedulikannya. “Aku adukan pada Ibu!” dia berkata lagi setengah berteriak. “Sigit!” aku mengejarnya yang sudah menghilang dibalik pintu kamar. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan Utami yang masih bersedekap menatap kami. “Sigit,” panggilku lagi. Sigit hanya menoleh tanpa menjawab. Aku mendekatinya. “Bagaimana kalau itu benar perintah Ibu?” Terdengar hela napasnya. “Tunggu Ibu ketuk pintu kamar ini.” “Apa?” mudah sekali dia menjawabnya. Tidak lama kemudian pintu kamar diketuk. Kutatap Sigit. “Itu pasti Ibu.”“Dan kamu, Ayudisha!” Ibu menunjukku dengan jarinya yang bercat kuku merah. Nada suaranya tinggi. “Kamu jangan pikir bisa terus-terusan belain dia dan seolah kamu yang paling benar di rumah ini!”Aku tidak menyangka, Ibu akan mengatakan itu padaku. Aku memang benar di rumah ini.“Aku cuma membela suamiku, Bu. Dia baru aja pulang dari pemeriksaan dan—”“Persis!” potong Ibu cepat. Mata itu masih melotot menatapku dan nada suaranya tidak bisa rendah sama sekali. “Baru pulang dari kantor polisi! Kamu enggak malu suaminya dicurigai sebagai penyebab kebakaran?! Nama baik keluarga hancur gara-gara kamu!”Aku mengepalkan tangan. Nafasku naik-turun. Aku hanya berdoa tidak terkena serangan panik saat seperti ini. jika itu terjadi, betapa kasihannya Sigit.“Saya enggak minta Ibu percaya,” kataku akhirnya setelah napasku teratur. “Tapi saya tahu siap
Sigit menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Banyak tanya. Kronologi, posisi, siapa yang terakhir matiin lampu semua ditanya. Aku jawab jujur,” jawabnya lalu memejamkan mata.“Dan?”“Belum ada kesimpulan,” balasnya mengangkat bahu. “Tapi katanya ada saksi lain yang melihat kabel dari kios sebelah meledak duluan.”Aku menghela napas dalam. Ucapannya itu seuatu angin segar bagiku. “Jadi kamu bersih?” tanyaku antusias.“Masih saksi,” ucapnya lalu membuka mata. “Tapi setidaknya mereka mulai buka kemungkinan lain.”Ibu Maharani muncul dari ruang belakang. “Udah pulang?” tanyanya dengan nada setengah sinis.“Iya, Bu.” Sigit lalu duduk tegak.“Selamat ya. Tapi saya belum percaya kamu benar-benar enggak bersalah,” katanya seraya
Mentari belum naik sepenuhnya saat aku membuka jendela kamar. Pikiranku masih tertinggal di malam kemarin. Di sisi ranjang, selimut Sigit belum kusentuh. Aku hanya tidur satu jam lalu terjaga hingga fajar. Sesekali aku menatap layar ponsel seolah bisa mempercepat waktu.“Apakah dia baik-baik aja?” bisikku seraya melirik ponselku yang tidak ada muncul notifikasi sama sekali.Hanya satu yang Sigit kirim tadi malam, memintaku beristirahat. Tapi bagaimana aku bisa tidur saat suamiku sedang diperiksa karena sesuatu yang tidak pernah dia rencanakan?Kupaksakan diriku turun dari tempat tidur. Aku tidak mau dikatakan anak durhaka oleh Ibu Maharani. Aku ke dapur.Aroma kopi dari termos yang tadi malam sempat kubuat sudah hilang. Aku diam sejenak lalu menuang sedikit ke gelas. Tanganku gemetar. Perutku kosong, tapi yang terasa hanya nyeri di ulu hati.“Pagi-pagi udah keluyuran, Ayu?” Suara Utami menyentakku dari ruang te
“Ya enggak usah sok nggak tahu.” Mata Ibu melotot. “Lelaki yang kerjaannya cuma ngangkut barang, enggak jelas asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan jadi suamimu. Kamu pikir saya enggak punya pertimbangan?”"Ibu yang paksa dia nikah sama aku," jawabku nyaris berbisik. Tapi aku tahu mereka mendengar.Ibu tiriku ini aneh. Dia yang memaksaku menikah dengan Sigit yang dia bilang ‘setara’ denganku. Malah dia yang menyesal telah menikahkanku dengan Sigit. Aneh jalan pikirannya.“Mungkin kamu memang cocoknya sama orang kayak dia,” Utami menambahkan dengan nada menusuk. “Tapi jangan bawa-bawa kami semua kalau ternyata dia biang masalah. Kamu pikir harga nama baik gampang ditebus?”Aku menggigit bibir bawahku, menahan kata-kata. Tapi tatapanku tetap tidak bergeming. "Kalau kalian mau terus menyalahkan Sigit, silakan. Tapi aku tahu siapa dia. Dia enggak akan sengaja me
Genggaman tangannya pada tanganku mengencang. Aku tahu, Sigit sedang menahan amarahnya. Entah kenapa suamiku hari ini tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah.“Kami akan cari tempat lain,” kataku mulai angkat suara saat Sigit hanya diam. “Kami enggak niat numpang.”Utami menertawakan. “Pakai apa? Gaji kuli?” tanyanya meledek.“Gaji kuli lebih halal daripada uang hasil menekan orang lain,” balasku tajam.Maharani menatapku seperti baru pertama kali melihatku benar-benar bicara.Sigit meraih tanganku. “Ayo, Yu. Enggak usah dengerin.”Kami masuk kembali ke kamar tanpa pedulikan suara Ibu Maharani yang menggelegar memaki kami tanpa ampun.Sigit duduk di tepi ranjang, aku duduk di sampingnya lalu mengelus bahunya lembut. Aku mendadak malu pada Sigit mengenai keluargaku yang tidak
“Polisi? Datang ke sini?” tanya Ibu Maharani dan langsung mematikan kompor. Wajahnya menegang.Utami berhenti mengunyah tempe dan menoleh padaku seolah aku yang menyebabkan semuanya. Aku diam. Napasku tercekat. Aku mengekori keluargaku ke ruang tamu.Dua pria berseragam masuk ke ruang tamu. Salah satunya membawa map tebal."Maaf mengganggu, Bu Maharani. Kami dari kepolisian sektor Tarrim.” Salah satu polisi yang kubaca bernama Dennis berbicara. “Kami ingin menindaklanjuti laporan kebakaran Pasar Kopajung. Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan."Ibu Maharani mencoba tersenyum. "Tentu, silakan duduk."Sigit belum pulang. Rasanya tubuhku mendadak lemas memikirkan nasib suamiku nantinya."Kami mendapat informasi bahwa titik awal api berasal dari kios milik Ibu,” ucap pria yang membawa map. Kubaca namanya Rinto. “Apakah benar saat kejadian ada aktivitas listrik atau a