Home / Urban / Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa / Bab 6 Berlaku Satu Tahun

Share

Bab 6 Berlaku Satu Tahun

Author: S.Z.Lestari
last update Last Updated: 2024-08-26 14:44:38

“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” 

Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.

“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” 

Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi.  Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.

“Mau ke mana?” 

Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”

“Enggak. Saya dari toilet.”

“Kamu mules?”

Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”

Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aja.” Aku ragu dia punya uang untuk membayar makanan kami. Terlebih lagi dia memintaku memesan sesukaku. 

“Kenapa?” Sigit mengangkat alisnya padaku.

“Mahal makanannya.” Aku menjawab gelisah. “Bayar pakai apa? aku enggak ada duit.”

Sigit meminum air putih yang disediakan restoran seraya kami menunggu pesanan datang. “Saya ada uang.” Sigit menjawab santai. 

Dia meletakkan pelan gelas itu. Kuperhatikan gerak-geriknya. Tidak ada yang mencurigakan darinya. 

“Cukup enggak?” aku bertanya lagi. Tambah gelisah.

Sigit mengangguk. “Cukup.” Kemudian dia menatapku serius. “Kenapa? kamu enggak perlu khawatir. Saya ada uangnya. Sengaja saya ajak kamu ke sini.”

Aku menyandarkan tubuh ke kursi. Berusaha tenang. “Buat apa? kita bisa makan di warung nasi yang murah.”

Sigit masih menatapku ketika dia membalas, “ini sebagai bulan madu yang bisa saya berikan ke kamu.”

Aku hanya menghela napas sebagai balasannya. Baru mengenalnya saja sudah membuatku terkejut. Dia susah ditebak. 

“Sekaligus saya mau bahas surat perjanjian kontrak yang tadi sore saya kasih ke kamu.” Dia berkata lagi. “Sudah kamu baca?”

Aku mengangguk. Surat perjanjian kontrak pernikahan yang kubaca di toko sore tadi membuatku kembali teringat. “Apa gunanya? Apa kita mesti jaga privasi masing-masing? Apa itu wajib?”

Sigit mengangguk. “Sudah saya tulis jelas di suratnya. Bisa kamu baca lagi?”

Aku mengeluarkan surat itu dari saku celana yang kupakai. Kubuka suratnya lalu membacanya, “Kedua belah pihak tidak diperbolehkan mencampuri urusan masing-masing. Selanjutnya, tidak boleh memiliki anak selama masa kontrak, tidak boleh tidur bersama.” Kuhentikan bacaku. Aku menatap Sigit dongkol. “Bagaimana caranya kita enggak tidur sama-sama? Kamarnya cuma satu. Sempit.”

Sigit menyandarkan tubuhnya di kursi. “Saya bisa tidur di lantai. Simpel.”

Kuputar mataku. Sigit menggampangkan masalah. “Kalau orang tuaku tahu bagaimana?”

“Enggak akan. Saya jamin.” Dia kembali menjawab santai. 

Aku kembali membaca isi kontrak itu. Isinya tidak banyak. Hanya beberapa point saja tetapi membuatku berpikir. Heran dengan surat ini. Kuletakkan surat itu di meja. “Kamu dapat ide dari mana mengenai surat ini? maksudnya apa kamu buat ini? kupikir kita menikah selamanya.” 

Aku menunduk menatap surat yang sudah kutanda tangani itu sebelumnya. Dibagian akhir tulisan terdapat kalimat ‘Surat perjanjian ini berlaku hingga satu tahun setelah penandatanganan kontrak. Tidak ada unsur paksaan antara kedua belah pihak.’ 

“Saya tahu kamu enggak menerima saya atas dasar suka.” 

Ucapan Sigit membuatku mendongak. Dia menatapku dengan tatapan santai seolah berbicara dengan teman kerja dan bukan dengan istrinya. Jika seperti ini, aku pasti akan mengira Sigit bukanlah kuli panggung walau kenyataannya dia memang kuli pasar.

“Maka dari itu, saya pikir perlu ada perjanjian kontrak sederhana untuk kita sepakati. Ada hitam di atas putih yang mesti ada sebagai pengingatnya.” Dia berkata panjang lebar.

“Dan berlaku satu tahun?” aku menegaskan kembali yang kubaca.

Dia mengangguk. “Ya. Setelah itu kita berpisah. Akan kupikirkan nanti caranya agar orang tuamu enggak curiga.”

Aku menelan ludah. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu padaku. 

“Sepertinya ada yang mengganjal hatimu. Bilang saja.”

Aku menatapnya. Padahal kami baru menikah tetapi dia seolah tahu mengenaiku lebih lama dari seharusnya. 

“Bilang saja. Saya pasti jawab.”

“Jawab jujur,” kataku menatapnya serius. “kamu kerja apa sebenarnya? pasti kuli panggul bukan pekerjaan utama kamu, kan? Iya, kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lovely Bintang
waa penasaran jadinya. jgn jgn sigit uda lama kenal ayu nih. seru ya ceritanya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 40 Curiga

    “Tetapi aku enggak mau kamu Kembali ke rumah Ibu.” Sigit berkata lagi. “Tunggu di sini. Aku tebus obat dulu.” Kemudian dia mendudukkan aku di kursi tunggu. Dia berjalan ke bagian penebusan obat.Aku memerhatikannya. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi pagi. Melihatnya berpakaian membuatku teringat kalau aku ingin bertanya pakaian yang dia pakai sebelumnya. Aku ingat betul dia tidak membawa pakaian ketika berangkat dari rumah malam kemarin.Aku memang orang miskin akan tetapi aku tahu merek pakaian mahal. Seperti yang dia gunakan sekarang ini. Ada logo di bagian dada kanannya. Walau kecil logonya tetapi jelas sekali itu merek pakaian ternama dunia. Mahal. Harga termurahnya bisa satu juta rupiah. Aku menghembuskan napas. Kugigit bibirku. Bagaimana caranya aku bisa bertanya padanya?‘Apakah dia menginap di rumah Perempuan? Apakah dia bertemu lagi dengan Dinda?’ pikiran itu muncul begitu saja.“Ayo.” Suara Sigit membuatku mendongak. Aku mengangguk pelan lalu berdiri.“Kapan kita ketem

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 39 Mama

    “Ma?”Aku memanggilnya lagi. Namun, Mama hanya tersenyum. Walau begitu, aku tetap senang. Setidaknya Mama tersenyum padaku. Tidak mengapa asal aku bisa bertemu beliau.“Mama.” Aku ingin menangis ketika melihat Mama hanya berdiri seraya masih tersenyum. “Ma, aku kangen.” Aku berkata lagi.Tiba-tiba, Mama sudah mendekapku. Dekapannya begitu erat sekali. Tubuhku berguncang-guncang. Aku merasakan seperti diangkat ke atas. “Ayudisha,” Ucapan itu terdnegar di telingaku tetapi bukan Mama. Itu suara orang lain.“Ayu, buka matamu.” Suara itu terdengar lagi. Dekapan itu mengendur. Pelukan Mama perlahan menghilang.“Ma,” aku berbisik.“Ayudisha?” kini, aku mengenali suara itu. Itu suara Sigit.Perlahan aku membuka mata. Kulihat Sigit menatapku lalu memelukku erat. Suara sirine terdengar begitu dekat sekali. Aku mengedarkan pandangan. Aku berada dalam sebuah mobil. Bersama satu orang lainnya.“Aku takut kamu pergi.” Sigit berbisik lalu merebahkan tubuhku lagi.Aku bernapas perlahan dengan alat ba

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 38 Serangan Panik

    “Sigit?” aku menatapnya dari atas sampai bawah tatkala membuka pintu rumah. Pagi betul dia sampai rumah. Kupandangi lagi dia. Mataku kemudian berkedip. “Sigit?” aku memanggil lagi. Takut penglihatanku salah.Pria di hadapanku mengangguk. Benar, dia Sigit. Aku menunjuknya. “Kamu pakai baju siapa?” aku menatapnya.“Ayu!” teriakan heboh Ibu membuatku terlonjak. “Siapa tamunya?!”Aku tergagap. “Sigit, Bu.” akhirnya aku bisa menjawab juga. Kutarik napasku perlahan. Kembali aku menatapnya. “Kamu pakai baju siapa?”Sigit menunduk. “Oh, ini.” Dia lalu tersenyum. “Nanti aku cerita. Boleh aku masuk?”Aku berdehem pelan lalu menyingkir dari ambang pintu.“Siapa katamu? Sigit?!” suara Ibu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Aku menoleh lalu mengangguk.Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebentar lagi pasti Ibu mencecar Sigit.“Kamu baru pulang?” Ibu bertanya pada Sigit. Tangan berkacak pinggang. “Pukul berapa ini?! apa enggak lihat jam?!”“Saya kerja, Bu.” Sigit menjawab ringan.

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 37 Siapa Itu?

    “Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 36

    "Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 35 Mobil Baru

    “Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status