Dengan antusias, Reinan menuntun Esme menuju mobil yang telah menunggu di depan paviliun. Sebelum pergi, Reinan sempat berpesan kepada Kailash agar tetap berjaga di paviliun. “Kalau Mama pulang tiba-tiba, Paman tahu apa yang harus dilakukan. Jangan biarkan Mama masuk kemari."Kailash mengangguk, sementara mobil yang membawa Reinan meluncur menuju pusat perbelanjaan elite di jantung kota. Sepanjang perjalanan, wajah Reinan dipenuhi kegembiraan. Sesekali ia menoleh pada Esme yang duduk di sampingnya.Setiba di lobi mall, Esme sempat menahan langkah. “Rein, kamu nggak akan menyamar lagi? Seperti waktu itu, saat kita ke hotel?” tanyanya dengan nada khawatir.Reinan terkekeh ringan, jemarinya bertaut erat pada tangan Esme. “Nggak perlu. Aku nggak takut lagi pada siapapun. Selama aku bersamamu, aku merasa lebih kuat.”Jawaban itu membuat hati Esme bergetar. Ada keyakinan dalam suara suaminya yang tak bisa ia sangkal. Mereka berjalan bersisian menyusuri koridor mall, menuju bioskop yang be
“Benarkah itu Nelson Gunadi?” ulang Gita. Matanya tak berkedip menatap pria yang tampak berbahaya sekaligus menggoda.Wina menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.“Tentu saja. Dia adalah saudara iparku.”Gita terperangah. “Apa? Bagaimana bisa?”Dengan nada meremehkan, Wina mengibaskan rambutnya yang panjang. “Apa kau sudah lupa? Kakak tiriku yang tuli dan bodoh itu, Esme, sudah menikah dengan Reinan Gunadi. Maka otomatis, Nelson adalah iparku. Dan sekarang, aku akan menyapanya.”Sebelum Gita sempat mencegah, Wina sudah beranjak dari kursi. Tumit sepatunya beradu dengan lantai kafe, menarik beberapa pasang mata untuk menoleh. Gita hanya bisa membeku, menatap temannya yang melangkah dengan percaya diri menuju meja Nelson.Nelson, yang tengah sibuk menatap layar ponsel sambil menyeruput kopi, tidak memedulikan hiruk pikuk kafe. Wajahnya tetap dingin, dan konsentrasinya terpusat pada laporan yang sedang ia baca. Namun, ketenangan itu terusik
Langkah Esme tak lagi teratur dadanya terasa sesak oleh rasa cemas. Meski Kailash berulang kali memanggil, menyuruhnya berhenti, tetapi telinga Esme seakan tertutup. Pintu besar mansion utama didorong terburu, hingga membuat beberapa pelayan yang sedang beraktivitas terhenti. Mereka menatap Esme dengan wajah penuh tanya. Namun, Esme tidak memberi kesempatan siapapun untuk bertanya. Ia terus berlari menembus koridor yang lengang. Melihat suasana mansion yang lengang, Esme sempat heran. Tidak ada suara Vera, tidak ada Nyonya Tania yang biasanya selalu hadir di ruang utama. Hatinya semakin dicengkeram rasa khawatir. Apakah semua sedang berada di kamar Reinan, karena kondisi suaminya semakin gawat?Di tengah kepanikan, Esme berpapasan dengan Bi Leli yang baru keluar dari area dapur.“Bi Leli, Reinan… di mana Reinan? Apakah sudah dipanggilkan dokter?” Suara Esme parau, matanya memerah karena hampir menangis.Bi Leli menatapnya heran. “Dokter? Untuk apa dokter? Kalau mencari Tuan Muda,
Esok paginya, Esme terbangun diiringi sebuah bersin kecil. Tatkala kelopak matanya perlahan terbuka, pandangan Esme langsung mencari sosok yang semestinya ada di sisinya. Namun, ranjang itu sepi.Yang ia temukan bukanlah Reinan, melainkan dua buah benda. Di atas bantal terletak setangkai mawar putih yang masih segar, seperti baru dipetik dari taman. Sementara di sampingnya, ada sebatang cokelat yang dibungkus dengan pita kecil.Senyum merekah di bibir Esme. Ia tahu, hanya Reinan yang bisa meninggalkan kejutan semanis itu, sederhana tetapi penuh makna.Tangan kanan Esme meraih bunga itu, dan mendekatkannya ke wajah. Ia merasa bagaikan seorang gadis yang dibangunkan oleh pangeran impiannya.Saat melihat sinar matahari yang memantul di jendela, Esme pun meraih ponselnya di nakas. Tak disangka, jarum jam sudah mendekati angka delapan. Mata Esme langsung terbelalak. Barangkali karena beban di hatinya telah berkurang, maka ia bisa tidur cukup lama.Semalam, ia sudah berani berbagi cerita p
Pancaran hasrat yang semula membara di mata Reinan, berganti dengan cahaya belas kasih yang hangat. Ia mengusap lembut punggung Esme, menenangkan sang istri yang tengah terisak di pelukannya.“Cup, jangan menangis lagi. Kalau kamu belum siap punya bayi, aku nggak akan memaksa. Kita bisa mencobanya lain kali. Waktu kita masih panjang.”Esme mengangguk pelan, walau hatinya terasa perih mendengar kata-kata itu. Reinan begitu yakin akan masa depan mereka, sementara dirinya tahu kenyataan tidaklah seindah itu. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Nyonya Tania, mungkin ia memang harus segera pergi. Apalagi, kondisi Reinan terlihat semakin pulih dan sebentar lagi Isabella akan kembali. Melihat Esme masih bersedih, Reinan menghapus butiran air mata yang masih mengalir di sana. Tatapan abu-abu itu meneduhkan, membuat kegelisahan di hati Esme berangsur lenyap. “Kamu pasti kedinginan. Biar aku pakaikan baju untukmu.”Tanpa menunggu jawaban, Reinan beranjak dari ranjang. Ia mengambil pakaian Esme
Setiap hela napas Reinan di lehernya membuat Esme merinding. Saraf-saraf halus di sepanjang tengkuk seakan menegang. Pori-porinya membuka, menyeruakkan rasa geli bercampur nikmat yang menjalar ke seluruh tubuh.Jantungnya berdetak tanpa irama, menimbulkan gemuruh yang sulit diredam. Esme menggigit bibir, mencoba menahan gelenyar yang meledak di setiap selnya. Namun justru rasa itu semakin intens, semakin menusuk. Entah mengapa, ada sensasi asing yang terasa begitu akrab. Sentuhan itu, kehangatan itu, seakan pernah dirasakannya jauh sebelum malam ini. Esme berusaha menepis pikirannya sendiri. Tidak mungkin, bisik hatinya. Pasti ini hanya akibat dari aroma parfum yang mengandung feromon, membuatnya tak lagi mampu membedakan antara kenyataan dan ilusi.Dalam kebimbangan, Reinan tiba-tiba membalikkan tubuh Esme. Gerakannya begitu mantap, tidak lagi seperti sikap manja yang biasa ia tunjukkan.Ada kilatan gelap, sesuatu yang asing sekaligus menawan di mata Reinan. Pandangan itu membuat d