Manik mata coklat perlahan mengerjap, tatapan asing pada sebuah kamar dengan aroma teh yang menguar.
“Di mana aku sekarang?” tanya Ann lirih. Di sampingnya, Sena terlelap dengan menunduk, selang infus yang melekat pada sebelah tangannya. Ann menatap sekeliling, terlihat ruangan vvip, siapa yang membayar biaya rumah sakitnya? Hanya itu yang ada dibenak Ann. “Sena,” lirih Ann memanggil suaminya. Perlahan tubuh jangkung itu mendongak, matanya yang masih setengah terpejam menatap Ann ragu. “Kamu gimana? Sudah mendingan,” tanya Sena cemas. “Ya, aku baik-baik saja, Sena. Kenapa aku ada di sini?” Ann membalikkan tanya pada Sena. Sena menarik garis lengkung dari bibirnya, ulasan manis yang membuat Ann terdiam sejenak. “Tadi kamu pingsan, Ann,” jawab Sena. “Tapi, kata dokter setelah siuman sudah boleh pulang,” tambah Sena. Ann hanya mengangguk paham, tapi dalam pikirannya ia masih bertanya-tanya keras. Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit ini? meski tidak lama tetap saja, ruangan vvip pasti menguras uang Sena. “Kamu mikirin apa, Ann? Kata dokter jangan terlalu stress,” peringatnya. “Ya.” *** Setelah malam-malam sekali Sena membawa Ann pulang ke rumah. Adi dengan bersedekap dada menatap kedatangan putrinya. “Dari mana saa kalian?” tanya Adi. “Rumah sakit, Pak. Ann sempat pingsan dan Anda menolak mendatangkan dokter!” tegas Sena, kepalan tangan yang ia tahan sedari tadi. “Sudah, ayah. Aku ingin istirahat, Sena ayo!” ajaknya. Di dalam kamar, Ann hanya duduk di tepian ranjang. Menatap sekilas pada Sena yang masih berdiri di ambang pintu. “Sena, nanti aku ganti ya biaya rumah sakitnya,” ucap Ann. Sena menatap dengan penuh tanya, apa maksud istrinya itu? bukankah sudah kewajiban Sena menafkahinya. “Tidak perlu, Ann. Itu sudah termasuk tanggung jawabku atas dirimu yang sudah menjadi istriku,” tutur Sena dengan senyuman. Sedangkan Ann merasa tidak nyaman, “Tidak apa-apa, kirimkan saja nomor rekeningmu ya! Aku tidur dulu,” pamitnya. Pagi-pagi sekali Sena sudah sibuk dengan motor vixion bututnya, Ratih memintanya untuk berbelanja ke pasar. Padahal sudah jelas jika keberadaannya dan Rafael di rumah itu sama sebagai menantu. “Kalau cuma orang miskin, mimpinya jangan tinggi-tinggi!” bisik Rafael tepat ditelinga Sena. Ia menatap tajam pria yang tidak lain adalah mantan Ann dan kini menjadi suami Dewi, adik iparnya. Dengan membawa belanjaan masuk, Sena menabrak paksa pundak kiri Rafael. “Aku tidak hidup dalam alam mimpi, Rafael. Nyatanya Ann memilih menikah dengan saya, yang kata Anda hanya orang miskin!” tegas Sena keras dengan penuh penekanan. “Kurang ajar yak au tukang bakso!” pekik Rafael. Nafasnya naik turun, emosinya meluap tatkala ia terlihat tidak punya harga diri. Seorang Rafael manager perusahaan ternama kalah dengan tukang bakso keliling. “Arghhh, bagaimana bisa aku kalah dengan pria cupu itu!” hardik Rafael. “Mas, ada apa?” tanya Dewi yang entah sejak kapan ada di sana. Rafael enggan memalingkan mukanya pada Dewi, hingga sebelah matanya mendapati sosok Ann yang berjalan tidak jauh. Ditariknya tengkuk Dewi, perlahan ia melumat bibir tipis itu tanpa ragu. “Mpph… M-mas,” rintih Dewi. “Minimal tahu tempat kalau mau hubungan pasutri, gak tahu malu emang!” tegur Ann. Dewi menatap ke sumber suara, “Orang kalau iri memang suka nyinyir, Mas. Ayo kita lanjutkan di kamar saja,” ajak Dewi. Segera Ann meninggalkan ke duanya, ia sedang mencari keberadaan Sena suaminya. Sejak ia membuka mata, belum terlihat batang hidung pria tampan itu. entah apa yang dilakukannya pagi ini. “Di mana sih, jangan-jangan nenek lampir itu berulah lagi?” gumam Ann dengan menebak asal. Langkahnya masih berfokus pada beberapa tempat, namun sosok Sena tidak juga ia temukan. “Ann, cari siapa?” tanya Sena yang secara tiba-tiba ada di sampingnya. “Kamu disuruh-suruh lagi?” tanya Ann dengan mengintimidasi. Sena mengangguk, dengan sebelah tangan yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dengan deretan gigi putih yang kini terekspos rapi. “Kamu ini kenapa sih, Sena? Harus berapa kali aku bilang, jangan mau disuruh-suruh. Kamu bukan pembantu!” tegas Ann. Sena hanya diam, “Aku hanya niat membantu, Ann. Selama aku bisa kenapa tidak ‘kan?” dengan lantangnya Sena mengucapkan itu. Suara Adi membuyarkan perdebatan antara Sena dan Ann, ajakan sarapan bersama sudah terdengar. Kini semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. “Maaf, Ayah mertua. Saya tidak bisa makan bersama orang miskin!” sindir Rafael tanpa tahu malu. Dengan satu tatapan tajam, manik mata Ann mengintimidasi Rafael. Entah maksud terselubung apa yang disengaja. “Tidak usah makan, mudahkan! Ajak istrimu makan di luar,” sergah Ann. Sena yang akan beranjak terpaksa kembali duduk, tangannya yang ditahan kuat oleh Ann membuatnya malu. “Apa dia termasuk pria yang berlindung dibalik keberanian wanitanya? Pria seperti itu yang kamu cari, Ann?” tanya Rafael dengan kekehan ringan. Ann mulai tersulut emosi, dengan mengepalkan tangannya dia beranjak dari tempat duduknya. “Setidaknya dia tidak melakukan hal yang menjijikkan menjelang hari pernikahan!” hardik Ann. Suasana sarapan yang cukup rancu, membuat Adi memijit pelipisnya yang sakit. Bingung harus berlaku seperti apa. “Jaga ucapanmu, Ann. Ini meja makan, jangan membuat keributan! Semuanya diam,” suara yang amat memekakkan telinga. “Menantu tersayangmu ini yang memulai, Ayah. Apa mulut kotornya itu tidak bisa berbicara yang sopan dengan iparnya?” elak Ann. Telunjuknya yang dengan tegas menodong Rafael tanpa ragu, dengan suara lantang tanpa peduli siapa yang ia hadapi saat ini. “Ann, jangan melewati batasmu!”"Sena aku ragu," ucap Ann saat tiba di dekat rumah Adi.. "Mau sampai kapan ragunya, Ann? Ayah pasti merindukan anaknya. Kita datang bersama, tidak peduli apa kata Bu Ratih tentang aku," terang Sena dengan yakin. "Tapi, Sena ... ayah tidak tahu aku hamil dan ..," Ann menghentikan ucapannya. "Hust, kamu tidak hamil di luar nikah. Ini anak kandung kita, entah diterima atau tidak oleh Pak Adi. Kita hadapi bersama," Sena menggenggam tangan Ann dengan erat. "Oke." Tibalah ke duanya di halaman rumah Adi, sosok pria paruh baya yang cukup lama tidak Ann lihat. Sepasang mata yang menatap dengan tidak yakin. "Ann, kamu kembali, Nak?" tanya Adi berseru. "Iya ayah." Ann mendekap ayahnya dengan erat, merengkuh tubuh tua yang cukup lama ia tinggalkan. Sama halnya Sena, Adi adalah alasannya untuk tetap yakin dengan hidupnya. "Ini?" sebelah tangannya menunjuk bayi laki-laki yang sedang lelap. "Anakku dengan Sena," ucap Ann. Sempat diam dengan penuh keterkejutan, Adi m
Hari yang paling ditunggu Sena telah tiba, kini ia tiba di desa tempat Ann tinggal. "Selamat pagi, Ibu," sapa Sena pada Ratmi yang sedang berjemur dengan Cakra. "Aduh, kamu sudah datang saja. Cucuku ini harus lekas berangkat dong!" keluh Ratmi. "Tidak, Bu. Masih besok pagi," timpal Sena. Ratmi mengangguk, di atas stroller Cakra terlelap dengan sangat tenang. "Nduk, panggilkan Mbak Ann!" pinta Ratmi pada Ratna. "Iya, Buk." Tidak berselang lama, Ann keluar dari rumah. Matanya berkaca-kaca melihat Sena berdiri di samping stroller. "Kita akan pergi besok 'kan? Sekarang ijinkan aku quality time bareng Bu Ratmi dan Ratna ya. Aku pengen mengajak mereka berbelanja dan makan enak," pinta Ann. "Iya, berangkat saja. Apa kamu perlu kutemani?" tanya Sena. Ann menggeleng. "Tapi, Sena. Aku butuh sopir untuk menyetir, tapi sepertinya mengajakmu tidak masalah," ucap Ann meralat. "Bersiaplah, aku akan menjaga Cakra," Sena mengusap pelan lengan anaknya. "Oke." Se
"Kerja bagus, Arka. Belikan tiket pulang pergi," tegas Sena. "Anda dalam waktu dekat tidak ada perjalanan bisnis, Tuan," Arka sempat termangu sejenak. "Menjemput istri dan anakku, memang bukan perjalanan bisnis," terang Sena. Arka tergelak sejenak, menatap Sena dengan penuh tanya. sebenarnya apa yang terjadi pada pertemuan Tuan dan Nonanya itu? "Anak yang mana, Tuan? Memangnya Nona Ann sudah lahiran?" berondong tanya Arka. Sena mengangguk. "Tuan, kenapa Anda diam saja? kenapa tidak mengumumkan kalau Nona Ann sudah melahirkan anak. Parah sih, bagaimana bisa Anda diam seperti itu!" gerutu Arka dengan penuh kekesalan. Ini hal yang tidak Sena sukai, Arka selalu ingin tahu banyak hal. Bahkan dia sangat oversharing terkadang. "Jangan katakan pada siapa pun, sebelum Ann benar-benar kembali ke rumah. Atau kau akan mendapatkan masalah!" tegas Sena. "Ba-baik!" *** "Kangen banget sama Ann," gumam Lena. Dia gadis yang kini duduk di sudut cafe, menikmati sore har
Pada detik-detik yang menegangkan, kontraksi yang kian terlihat jelas. Mau tidak mau bidan mengambil tindakan. Sena yang kini memasuki ruangan, melihat Ann merintih kesakitan. "Nona Ann, kita berjuang bersama ya, saya akan memberi aba-aba," ucap bidan dengan lembut. Di samping Ann, Sena mengusap pelan kening istrinya. Sesekali ia mengusap keringat yang keluar, dan membantu bidan menyampaikan aba-aba. Suara tangisan bayi yang memecah ramai suara rintihan Ann. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat lucu. "Syukurlah, bayinya lahir dengan kelamin laki-laki. Selamat Nona Ann dan Tuan Sena," ucap Bidan dengan membawa bayi itu untuk dibersihkan. Ann masih menggenggam erat tangan Sena, membiarkan pria di sampingnya itu luruh dalam perasaan campur aduknya. "Sayang, terima kasih banyak. Maafkan kesalahanku," bisik Sena lembut di telinga Ann. Sejenak mengingat keterangan Sena, ia merasa salah besar. Apakah ia berdosa sudah marah pada suaminya? Yah, Ann merasa gaga
Pulang tanpa membawa apa-apa, untuk urusan pekerjaan Sena dan Arka kembali ke kota. Membawa duka dan kesal yang mendalam. "Kita akan meninggalkan Nona Ann di sini, Tuan?" tanya Arka seraya memasukkan kopernya ke mobil. "Ya, kita tunggu saja. Selesaikan dulu yang di kota, lalu biarkan aku kembali di sini," terang Sena. "Tuan? Benarkah Anda akan datang ke sini sendiri?" tanya Arka kembali melempar tanya. "Kau!" pekik Sena. Arka tergelak, tidak biasanya ia mendengar amarah tuannya. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Sena hanya diam. "Arka, berikan nomor Bu Ratmi," tegas Sena. "Untuk apa, Tuan?" tanya Arka dengan mendongak. "Berikan padaku!" seru Sena. Arka langsung memberikan nomor Bu Ratmi. Tidak lama, Sena menjauh meninggalkan Arka. "Halo," sapa Sena. "Siapa?" tanya Ratmi di seberang. "Saya Sena, Bu. Boleh mengobrol dengan Ann sebentar?" tanya Sena dengan lembut. Helaan nafas panjang terdengar samar di sambungan telepon. "Ada apalagi, Sena? B
Ratmi berjalan dengan gusar, setelah kepergian Sena dan Arka. Ia semakin tidak tega dengan Ann. "Ann," panggilnya. "Iya, Bu. Ada apa ya? Apa Sena sudah pulang?" tanya Ann memberondong. "Sudah, dia pria yang baik kelihatannya. Apa mualmu sudah mendingan, Nak?" tanya Ratmi. Ann hanya mengangguk pelan, dengan senyuman yang masih mengembang pada bibirnya. "Bu, apa yang aku lakukan ini salah?" tanya Ann. "Tidak, Ann. Laki-laki memang harus diberi pemahaman lebih agar dia mau berjuang. Jika kamu dengan mudah kembali dengannya, ia akan melakukan kesalahan yang sama," jelas Ratmi. Ratmi menggenggam tangan Ann dengan lembut. Mengusapnya secara perlahan, memberikan kekuatan pada gadis rapuh di hadapannya. "Baiklah, Bu. Aku akan beristirahat lebih cepat malam ini," ucap Ann. Raut wajahnya berubah, rona yang biasa Ratmi lihat kini telah berubah menjadi rona bahagia. Jiwa Ann seolah menemukan ketenangannya. "Ann, tunggu, apa kamu merindukan Sena?" tanya Ratmi. "Hehe