Share

Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa
Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa
Author: Zila Aicha

1. Perawan Tua

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-04-04 10:18:54

"Gaji kamu nggak seberapa, umur juga udah 25. Mendingan kamu cepet nikah sebelum jadi perawan tua, Na."

Wanita berambut panjang keriting bernama Herni itu pun mendesah penuh kesal sembari melirik ke arah putrinya, Kirana yang hendak berangkat bekerja.

"Ibu udah bosen denger orang-orang nyebut kamu 'perawan tua'. Lagian, kalau kamu nikah, tuh suamimu bisa bantu kasih Ibu tambahan uang," lanjut Herni dengan begitu entengnya.

Kirana hanya terdiam, tanpa berniat membalas perkataan sang ibu. Dia justru ingin lanjut pergi saja, tapi kemudian suara sang ayah pun terdengar olehnya.

"Kalau kamu enggak bisa cari suami, biar Bapak yang carikan. Kamu tinggal terima beres aja," ucap Parlan yang sedang meniup kopi panasnya tanpa repot-repot menoleh pada putrinya ketika dia berbicara.

Gadis manis dengan tubuh cenderung kurus itu pun seketika membeku di tempatnya berdiri, tak bisa begerak selama beberapa detik lamanya. 

Apa ini? 

Maksudnya dia sedang dipaksa menikah? Dia akan dijodohkan? 

Begitukah?

Kirana ingin memutar badan dan segera membantah ide kedua orang tuanya itu, tapi saat ini dia sedang terburu-buru sehingga dia akhirnya memilih mengabaikan perkara itu terlebih dulu. 

Dia harus berjalan kaki kira-kira sekitar 300 meter dari rumah berukuran tidak terlalu besar itu untuk mencapai halte Bus Solo Trans. 

Dan dua puluh menit kemudian, Kirana telah sampai di minimarket yang cukup besar. 

Minimarket itu memiliki delapan karyawan dan Kirana merupakan karyawan biasa yang telah bekerja di sana selama lima tahun lamanya di sana tapi belum mendapatkan kenaikan posisi.

Pemilik minimarket itu beralasan tidak memberikan posisi yang lebih bagus pada Kirana lantaran gadis itu hanyalah seorang tamatan sekolah menengah atas. Tetapi, sesungguhnya Kirana tidak mempercayainya. 

Sebab, dia ingat dengan benar bila dulu salah satu orang yang pernah menjabat sebagai kepala minimarket hanyalah lulusan sekolah menengah atas, sama seperti dirinya.

Sayangnya, sang pemilik seolah tak ingin didebat sehingga dengan terpaksa Kirana menerima keputusan tak adil itu. 

Hal ini dikarenakan bapak dan ibunya tak bisa membiayai dia untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dikarenakan adik-adiknya.

Hanya dirinyalah di keluarganya yang hanya lulusan sekolah menengah atas akibat mengalah.

Terkadang Kirana selalu merasa hal itu tidak adil tapi dia tak bisa berbuat apapun lagi untuk sekarang dan memilih untuk melanjutkan hidup tanpa mengeluh.  

Tidak lama setelah Kirana mulai mengerjakan tugasnya, para karyawan lain pun mulai berdatangan. Beberapa di antara mereka terlihat memandang sinis ke arah Kirana yang sedang menata barang-barang di bagian perlengkapan bayi.

"Alah, Mbak Na. Nggak usah rajin-rajinlah. Orang kamu juga enggak mungkin diangkat jadi kepala toko juga," ujar Serin, gadis bermata belo dengan rambut diikat ke belakang.

Seseorang lainnya menanggapi, "Bener, mau jadi penjilat pun enggak akan dilirik kok sama bos. Biasa aja deh jadi karyawan, Mbak."

Kirana tak menanggapi ucapan dua rekan kerjanya itu dan hanya melanjutkan pekerjaannya.  

"Ah, sampai lupa. Ini aku mau kasih undangan pernikahan aku," salah seorang karyawan menyeletuk. 

"Wuih, udah laku aja ini kamu, beb. Kapan acaranya?" tanya Serin sambil tersenyum cerah.

Sang karyawan yang akan menikah itu menyerahkan undangan pada satu per satu teman kerjanya sambil menjawab, "Masih 12 hari lagi sih, tapi sekalian aja aku bagi undangannya sekarang. Soalnya bentar lagi aku mau cuti, udah bilang sama si bos."

"Wuih, keren! Masih 22 tahun kan kamu, Ve?" Serin bertanya sembari membuka undangan bersampul biru muda itu.

Vena mengangguk dengan penuh senyum, "Iya nih. Kemudaan ya buat nikah?"

Serin menggelengkan kepala cepat-cepat, "Ya enggak dong. Daripada umur 25 tapi masih belum nikah-nikah juga, dih. Jadi perawan tua ntar."

Mereka pun cekikikan sambil sesekali melirik ke ara Kirana. Sedangkan Kirana sadar dirinyalah yang sedang disindir. Sebab, di minimarket itu, hanya dia yang sudah berusia dua puluh lima tahun tapi belum juga kunjung menikah. 

Vena yang ikut menertawakan hal itu tiba-tiba menoleh ke arah Kirana, "Mbak Na. Jangan lupa datang ya ke acaraku!"

Kirana memaksa diri untuk tersenyum dan membalas, "Iya, Ve. Aku pasti datang kok."

"Jangan lupa bawa pacar ya, Mbak! Ntar nggak lucu kalau kamu sendirian di sana sementara kami datang sama suami-suami kami," ucap Serin sambil menahan senyum.

Kirana hanya mengangguk kecil sebagai balasan.

Pacar? 

Tentu saja dia tak punya. Sejak putus dengan Handi sekitar satu tahun yang lalu, dia belum sekalipun menjalin hubungan dengan pria manapun. 

Di saat jam kerjanya telah berakhir, Kirana berjalan menuju ke halte bus sembari menatap undangan pernikahan Vena dengan lesu. 

Dia pasti akan merasa canggung sendirian di sana nanti. Tapi, mencari pacar dalam waktu dua belas hari juga bukan merupakan sesuatu yang mudah. Apalagi dia sadar dirinya tidak cantik dan berpenampilan biasa-biasa saja.

"Harus bagaimana aku sekarang?" gumam gadis muda itu, bingung.

Esok paginya, semuanya masih berjalan sama seperti biasa. Kirana menjalani rutinitas paginya. Setelah dia memakai seragam minimarketnya, yakni polo T-shirt dengan warna biru tua itu dia berjalan keluar kamar. 

Namun, pagi itu terasa agak berbeda. Dilihatnya di ruang makan tidak hanya dua orang tuanya yang duduk di sana, melainkan juga ada Nadia dan Siska, dua adik kandungnya. Sedangkan dua suami adik-adiknya itu justru tak terlihat di sana.

Kirana tiba-tiba memiliki firasat buruk, tapi dia tetap duduk di kursinya yang biasa dan menatap mereka dengan pandangan heran.

"Ih, tenang aja kali, Mbak. Aku ke sini bukan untuk minta duit," kata Siska merasa sebal ditatap sang kakak.

Biasanya Siska memang sering meminta uang pada Kirana jika wanita muda itu datang ke sana.

Nadia memutar bola mata, "Aku ke sini juga bukan untuk makan pagi tapi dipanggil sama bapak ibu."

Tapi, nyatanya di depan Nadia sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan lauk yang siap untuk disantap.

Namun, Kirana sedang tidak ingin mendebat dua adiknya itu sehingga memilih untuk memutar kepala, menatap ibu dan bapaknya.

Kirana mengamati Herni dan Parlan yang duduk di seberangnya dengan wajah datar sambil menyendok nasi goreng mereka.

"Ada apa sih, Pak? Bu?" Kirana bertanya dengan menatap was-was.

Parlan melirik istrinya dan Hernilah yang kemudian berbicara, "Ada duda dari desa sebelah yang naksir kamu. Dia mau nikahin kamu. Minggu depan mau melamar kamu. Siap-siap ya, Na!"

Kirana membelalakkan mata. Mulutnya pun juga terbuka. 

"Terima saja, Na. Dia duda kaya kok, punya ruko dua lantai. Anaknya dua, tapi yakin aja, kamu enggak bakal kekurangan uang," kata Parlan, terlihat mencoba meyakinkan sang putri.

"Iya, Mbak. Aku udah cari tahu juga tentang calon suami Mbak itu. Umurnya masih 45 tahun, masih tergolong muda juga. Enggak jelek-jelek amat. Rugi kalau kamu nolak, Mbak," ujar Nadia dengan senyum setengah menyemangati tapi ada tatapan mengejek yang bisa Kirana tangkap dari mata jernih adiknya itu.

Hah? 

45 tahun dikatakan masih muda? Kirana semakin tak percaya mendengar perkataan adiknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zila Aicha
Selamat datang, selamat membaca ^•^
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   218. Akhir

    Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   217. Terlalu Miskin?

    Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   216. Dengan Cara Apa?

    Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   215. Bagaimana Bisa?

    Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   214. Hinaan Lain

    Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   213. Tertampar!

    Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status