Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."
Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!"
"Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.
Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."
Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti.
"Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.
Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."
Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.
Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.
Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu.
Kirana menaikkan alis kanan, "Lho, Mas. Kamu kok nggak bayar?"
"Udah tadi," jawab Rayan sambil menyungging senyum samar.
"Eh, kapan? Aku kok nggak lihat?" Kirana menatap sang suami dengan setengah melotot.
"E-wallet, Kirana. Sekalian pas order tadi," jawab Rayan, memperjelas ucapannya.
"Oh!" ucap Kirana dengan wajah memerah semerah tomat segar.
Astaga! Dia merasa begitu malu karena lupa akan hal itu. Wanita yang memiliki kulit kuning langsat tersebut bukannya tidak tahu e-wallet atau M-banking. Dia tentu saja tahu.
Wanita bernama lengkap Kirana Adinda itu tidak hidup di gua. Hanya saja dia sangat-sangat jarang menggunakan hal semacam itu. Terlebih lagi, gajinya dari bekerja sebagai karyawan minimarket selalu berupa uang tunai sehingga dia pun jarang menyimpan uang di bank.
Memang di minimarket itu sudah ada fasilitas pembayaran menggunakan scan QCR, tapi lagi-lagi dikarenakan Kirana cukup jarang menjadi kasir, dia pun tidak terlalu akrab dengan hal itu.
Melihat wajah tersipu Kirana, Rayan menahan senyum. Dikarenakan dia tidak mau membuat istrinya lebih malu, dia pun segera berkata, "Eh, ayo, masuk! Bentar lagi udah masuk waktu ashar lho."
"Eh, i-iya, Mas."
Di depan rumah Siti, terdapat sebuah gerobak yang bertuliskan "Kue Serabi Siti". Siti memang seorang penjual kue serabi. Profesi itu sudah dia tekuni sejak baru menikah hingga kini dia beusia 55 tahun.
Suami Siti sudah meninggal dunia dan dia tidak dikaruniai seorang anak pun. Maka dari itu, Siti sangat dekat dengan Kirana dan telah menganggapnya sebagai putrinya sendiri.
Dua anak muda itu pun memasuki rumah Siti dan disambut dengan ceria oleh sang pemilik rumah. Siti bercerita tentang tamu yang membuatnya tidak bisa lama-lama berada saat pernikahan Kirana dan Rayan berlangsung tadi pagi.
"Tadi Bulek ada pesanan, Nduk. Maaf ya, jadinya Bulek nggak bisa lama-lama," ucap Siti terlihat menyesal.
Kirana menggeleng, "Enggak apa-apa kok, Bulek. Kirana ngerti."
"Pesanan serabinya banyak banget ya tadi, Bulek?" Rayan bertanya dengan antusias.
Siti mengangguk penuh semangat, "Iya. Alhamdulillah, Yan. Itu sih mahasiswa UNS sama orang tuanya. Mereka lagi jenguk ke Solo, jadi sekalian beli oleh-oleh khas Solo, begitu. Pesan 100 biji."
Kirana ikut senang dan langsung bertanya lebih lanjut.
Namun, baru sebentar mereka bertiga mengobrol, azan ashar sudah berkumandang, membuat Rayan harus izin untuk pergi ke mushola demi menunaikan ibadah salat ashar.
Setelah suaminya pergi, Kirana tak sabar untuk bertanya pada sang bibi, "Bulek, Mas Rayan itu kerja jadi tukang sol sepatu sudah berapa lama sih? Terus Bulek kenal dia sejak kapan?"
Siti menyipitkan mata, menatap penuh selidik ke arah keponakannya, "Memang kamu belum tanya sama suamimu, Nduk? Kok malah tanya Bulek."
Kirana menggaruk bagian belakang telinga, "Belum, Bulek. Kami kan baru nikah, belum ada sehari lagi. Ya belum sempat."
"Ya udah, kalau begitu, nanti kamu tanya sama suami kamu langsung," ucap Siti dengan senyum lebar.
"Lho, Bulek ...."
Wanita itu ingin bertanya lagi, tapi sayangnya saat itu Siti kedatangan seorang pelanggan yang memesan kue serabinya. Mau tak mau dia menunggu. Akan tetapi, begitu si pembeli pergi, suaminya pun datang sehingga dia tak lagi memiliki kesempatan untuk bertanya pada Siti.
Malam harinya, setelah Rayan mengerjakan ibadah salat Magrib, Kirana mengajak suaminya untuk makan malam bersama dengan Parlan dan Herni.
"Duduk, Mas!" ucap Kirana.
Rayan pun duduk di sebelah Kirana. Kirana dengan cepat bertanya, "Mas mau makan apa? Ibu tadi masak sayur-"
"Eh, ini bukan buat dia ya. Ibu masak buat bapakmu aja," kata Herni sewot sambil memindahkan panci berisi sayur terong buatannya itu.
Kirana membelalakkan mata, "Astagfirullah, Bu."
"Ngapain istighfar segala?" ucap Herni tak suka.
Kirana benar-benar merasa sangat malu atas sikap orang tuanya. Wanita itu sampai tak berani menoleh ke arah suaminya.
"Nggak ada ya makan gratis di sini," tambah Herni.
Kirana mendesah pelan. Andai saja di luar tidak sedang hujan, dia pasti akan membeli lauk pauk di warung. Sayangnya tadi sejak sore, hujan tidak berhenti sehingga dia tak bisa keluar.
Namun, tanpa diduganya suaminya berbisik pelan, "Jangan dipikirin! Nggak apa-apa!"
Tapi Kirana tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dan secara tiba-tiba dia ingat akan uang pemberian suaminya pagi tadi sehingga dia berujar, "Tunggu sebentar, Bu!"
Herni mengeryitkan dahi ketika Kirana bangkit dari kursi lalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi, hanya dalam beberapa menit dia sudah kembali ke ruang makan dan menyodorkan sejumlah uang pada ibunya.
"Itu, Bu. Buat modal toko Ibu," kata Kirana dengan begitu percaya diri sambil melirik suaminya dengan senyuman manis.
Rayan balas tersenyum, senang istrinya terlihat tenang.
Herni melotot kaget sampai hanya menatap uang itu saja tanpa menyentuhnya.
Sementara Parlan yang melihat uang pecahan seratus ribuan itu langsung mengambilnya dan bertanya, "Kamu udah gajian? Tumben banget?"
Dia lalu menghitung uang itu dan semakin terkejut, "Lima juta? Bukannya gaji kamu dua juta, Na? Kamu juga biasa kasih kami satu juta lima ratus."
"Lima juta? Yang bener, Pak?" ulang Herni dengan tatapan tak percaya.
"Beneran, Bu. Nih, hitung kalau nggak percaya," balas Parlan, menyerahkan uang itu pada istrinya.
Herni dengan tidak sabar menghitungnya, lalu sontak menatap putrinya dengan alis kanan terangkat, "Ini uang dari mana? Kamu nggak nyolong di tempat kerjamu kan?"
Kirana yang tadinya tersenyum ceria kini langsung kehilangan keceriannya, "Nyolong, Bu? Astagfirullah, Bu. Nggaklah, Bu."
Rayan sendiri juga terlihat terkejut dengan reaksi sang ibu mertua. "Bagaimana bisa Ibu nuduh Kirana begitu?" ucap Rayan heran.
"Terus ini uang dari mana? Mana mungkin kamu punya sebanyak ini, Na?" tanya Herni pada Kirana sambil memainkan uang itu di atas meja.
Parlan menggelengkan kepala, "Kamu enggak takut dipecat, Na? Mau jadi apa kalau kamu dipecat?"
"Bapakmu benar. Mana bisa kamu andalin suamimu si tukang sol sepatu ini?" ucap Herni dengan melirik menantunya dengan tidak suka.
Kirana menggigit bibirnya, "Bisa. Kirana bisa andalin Mas Rayan."
Parlan mendecih, menatap menantunya dengan tatapan meremehkan.
"Na, Na. Paling penghasilan tukang sol sepatu nggak ada seperempatnya dari gajimu," ejek Parlan.
Kirana menggeleng tegas, "Nggak, Bapak salah. Buktinya, uang yang ada di tangan ibu itu uang yang Mas Rayan kasih buat aku."
Herni yang memainkan uang itu seketika menghentikan kegiatannya. Wanita itu menoleh pada menantunya yang sedari tadi sangat jarang berbicara itu dan wanita itu tertawa mengejek.
"Jangan konyol! Mana mungkin-"
"Itu benar-benar uang dari Mas Rayan, Bu. Dan Ibu tahu kan kalau aku bukan orang yang suka bohong?" ucap Kirana meyakinkan.
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny