“Leya, calon suamimu akan datang jam 5 sore nanti. Namanya Rajendra. Dia adalah keponakan jauh Bi Ijah yang tinggal di desa Purwabinangun. Usianya baru 24 tahun, tapi dia pemuda yang pendiam, lugu, dan sederhana. Dengan pekerjaannya sebagai peternak ayam, Mama yakin dia bisa menjadi suami yang baik untukmu.”
Mata Catleya seketika membulat saat mendengar kata-kata dari ibu tirinya itu.
Tak ada angin tak ada hujan, mendadak ia dijodohkan dengan pemuda dari desa terpencil yang merupakan keponakan asisten rumah tangganya. Haruskah ia menerima suami yang enam tahun lebih muda darinya?
“Tapi, Ma–”
Belum selesai Catleya memprotes, Nyonya Nandini tampak menghembuskan napas panjang seolah “bersedih”.
“Ini demi keluarga kita, Catleya. Dua minggu lagi, adikmu akan menikah dengan Adrian. Di pesta pernikahan nanti, kamu akan menjadi bahan pergunjingan jika dilangkahi olehnya. Karena itu, Mama memutuskan untuk menikahkan kamu dengan Rajendra,” ucapnya.
“Benar itu, Kak Leya! Semestinya kamu berterima kasih kepada Mama karena sudah mencarikan calon suami. Mama hanya ingin keluarga kita tidak dipermalukan saat acara pernikahanku nanti!”
Suara sang adik tiri tiba-tiba terdengar.
Catleya sontak menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia memutar bola mata dengan malas kala menyadari Meliana datang bersama Adrian–mantan kekasih Catleya yang dulu kepergok selingkuh dan kini menjadi tunangan sang adik tiri.
Jika bukan karena menghormati Nyonya Nandini yang telah merawatnya sejak kematian sang ibu, mungkin Catleya akan menjambak rambut keduanya sejak lama. Namun, hari ini dia tak bisa lagi menahan rasa jengah karena Meliana seperti sengaja mengejek dirinya.
“Mel, sudahlah jangan ikut campur yang bukan urusanmu,” ujar Adrian memperingatkan sang tunangan.
Tampak ekspresi bersalah dari mantan Catleya itu karena ucapan sembarang Meliana. Sayangnya, ini justru membuat Meliana berdecak kesal karena Adrian terkesan membela Catleya.
Sebelum Catleya menjadi besar kepala, buru-buru Meliana duduk menempel pada Adrian sembari mengelus lengan pria tersebut.
“Apa maksudmu, Mas? Kak Leya adalah kakakku, tentu saja aku harus ikut memikirkan nasibnya. Bukankah lebih baik bila Kak Leya menikah duluan sebelum aku? Aku yakin Mama tidak akan salah memilih menantu,” tuturnya dengan nada manja yang dibuat-dibuat.
Catleya menahan rasa muak mendengarnya. Namun, diam-diam ia mencuri pandang untuk melihat bagaimana reaksi Adrian. Apakah ia berani melawan ke-tidak-masuk-akalan Meliana?
Sayangnya, Catleya terlalu banyak berharap. Adrian tetaplah Adrian. Lelaki itu hanya bisa menghela napas, kemudian memilih untuk menutup mulutnya. Di mata Catleya, Adrian sudah mirip bidak catur yang bisa dipermainkan sesuka hati oleh Meliana. Sungguh … Catleya bersyukur karena bisa terlepas dari laki-laki tak berpendirian itu.
“Leya, pokoknya Mama minta kamu menerima Rajendra. Dia datang jauh-jauh dari desa bersama Bi Ijah hanya untuk bertemu denganmu,” ulang Nyonya Nandini mulai tidak sabar, “dia bahkan sampai meninggalkan perternakan ayamnya yang harus dia urus!”
"Peternakan ayam?" beo Meliana. Sudut bibirnya bahkan berkedut. Nampak bahwa gadis itu sedang berusaha keras menahan tawanya karena meremehkan “calon suami” sang kakak.
“Aku tidak menyangka kamu akan berjodoh dengan pengurus ayam, Kak. Mulai sekarang kamu harus berlatih menahan bau suamimu sehabis pulang bekerja, apalagi kotoran ayam itu….iyuuhh,” ejek Meliana sembari menekan ujung hidungnya sendiri. Adik tirinya itu lantas menyenderkan kepala di bahu Adrian sembari masih memperlihatkan ekspresi jijik.
Tangan Catleya terkepal–menahan marah. Memang kenapa dengan peternak ayam? Meski ia sendiri tak tahan dengan bau kotoran hewan pematuk itu, tetapi tingkah adik tirinya sungguh keterlaluan. Meliana sendiri saja pengangguran, berani-beraninya merendahkan orang yang bekerja dengan halal?!
Catleya yang tadinya ingin menolak Rajendra secara langsung pun menahan diri. Setidaknya, ia tak akan mempermalukan “adik laki-laki” tersebut di depan Meliana.
“Baiklah. Aku setuju untuk berkenalan dengan Rajendra. Namun, untuk menuju ke jenjang pernikahan aku akan memikirkannya setelah kami bertemu,” tuturnya kemudian berlalu dari hadapan Meliana yang terkejut.
Namun ... itu semua tak bertahan lama karena Meliana dan Nyonya Nandini langsung bertukar pandang. Seutas senyum tercetak di bibir mereka. Paling tidak, rencana mereka telah berhasil untuk menjebak Catleya menemui si pria kampung. Toh, mereka akan memaksa Catleya untuk menikahi Rajendra apa pun caranya, agar perempuan itu berakhir di desa Purwabinangun. Dengan demikian, harta warisan dari almarhum ayah dan ibunya Catleya bisa dikuras dengan mudah.
Diam-diam, Nyonya Nandini bahkan berencana untuk menjual rumah besar ini beserta seluruh isinya. Bukankah sudah selayaknya Nyonya Nandini mendapat rewards atas usahanya menjadi istri dan ibu yang "baik" selama ini? Sudah saatnya, ia dan Meliana berbahagia di atas penderitaan Catleya.
***
Tok tok!
“Leya, keluarlah, Rajendra dan Bi Ijah sudah datang!”
Bersamaan dengan suara ketukan dan panggilan ibu tirinya, Catleya yang sudah dalam balutan gaun hitam selutut pun membuka pintu. Ia sama sekali tidak merasa gugup maupun cemas meski tidak tahu bagaimana rupa pemuda itu. Baginya, pertemuan dengan Rajendra tak lebih dari semacam ajang pertaruhan. Hanya saja, begitu sampai di ruang tamu, Catleya membulatkan matanya kala beradu pandang dengan laki-laki yang duduk di samping Bi Ijah.
Untuk sesaat, Catleya merasa terhipnotis oleh manik hitam lelaki itu.
“Ehemmm, kenapa kalian malah saling diam begini? Kalian harus saling memperkenalkan diri sebelum bicara lebih lanjut tentang pernikahan,” ucap Nyonya Nandini memecah keheningan.
Dari tempatnya berdiri, Catleya melihat laki-laki itu berjalan untuk menghampirinya.
Sungguh, Catleya masih termangu saat melihat penampilan fisik lelaki yang dia yakini sebagai Rajendra. Rambut yang tebal dan tertata rapi, hidung mancung, bibir penuh, dan sepasang mata elang yang berbinar terang. Ditunjang postur tubuh yang tegap, dengan tinggi badan sekitar 180cm, membuatnya terlihat lebih gagah daripada Adrian.
Catleya merasa dirinya begitu mungil saat mereka saling berhadapan. Andai saja lelaki ini memakai kemeja lengan panjang, mungkin dia akan cocok menjadi seorang eksekutif muda ibu kota.
Pikiran Catleya pun dipenuhi oleh tanda tanya. Mungkinkah orang yang berdiri di hadapannya ini benar-benar pemuda dari desa?
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry