“Mbak, perkenalkan, saya Rajendra,” kata lelaki itu mengulurkan tangan, “biasa dipanggil, Jendra.”
Suara dalam milik Rajendra membuat Catleya terlempar kembali ke dunia nyata.“Mbak Leya?”
Rajendra memanggil Catleya sekali lagi hingga perempuan itu sedikit gugup. “I-iya. Ternyata kamu sudah mengetahui nama panggilanku.”
“Bibi Ijah yang memberitahukannya pada saya,” balas Rajendra cepat.
Tangan mereka pun bersentuhan. Seketika Catleya bisa merasakan betapa hangat dan kokohnya genggaman pemuda itu. Rasanya begitu kontras dengan telapak tangannya yang lembap dan sedikit dingin.
Canggung, Catleya pun buru-buru menarik lengannya. Wanita itu bahkan tidak sadar jika Rajendra menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya.
“Mari kita duduk, ada banyak hal yang perlu kita bicarakan,” sela Nyonya Nandini.
Perempuan paruh baya itu kemudian melipat kedua tangannya sembari menatap Rajendra.
“Jendra, karena kamu sudah datang bersama Bi Ijah, maka aku anggap kamu dan Catleya sama-sama setuju dengan rencana pernikahan kalian,” umumnya penuh keyakinan.
“Tunggu, Ma, aku sudah bilang akan minta waktu untuk mengenal Jendra dulu,” potong Catleya.
Mendengar protes dari anak tirinya, Nyonya Nandini hendak membuka suara. Namun, Rajendra tiba-tiba menimpali perkataan Catleya, “Benar, Nyonya. Saya ingin bicara empat mata dengan Mbak Leya.”
Raut wajah perempuan paruh baya itu berubah tidak suka, tetapi ia segera mengendalikan ekspresinya.
“Sepertinya, kalian berdua sangat kompak dalam hal ini. Baiklah, aku akan memberikan kesempatan kepada kalian untuk saling mengenal. Aku dan Bi Ijah akan kembali satu jam lagi,” ujarnya lalu pergi bersama Bi Ijah.
Sontak, Catleya menarik napas lega. Begitu keduanya tak terlihat lagi, Catleya pun memberanikan diri untuk memulai obrolan dengan Rajendra.
“Terima kasih karena kamu sudah jauh-jauh datang kemari untuk berkenalan denganku, Jendra. Tetapi, untuk menjadi suami istri, kita perlu berpikir ulang. Bagaimanapun, pernikahan itu bukan permainan dan hanya terjadi sekali seumur hidup.”
Mendengar itu, Rajendra hanya mengangguk pelan tanpa berujar sepatah kata pun.
Tidak ada penyangkalan sama sekali!Catleya semakin yakin dan berusaha membujuknya, “Mungkin, kamu belum terlalu paham soal berumah tangga karena usiamu masih muda. Apalagi sebagian penduduk desa masih berpikir bahwa menikah muda adalah hal yang baik, padahal kenyataannya tidak demikian. Justru sekarang ini kasus perceraian dan perselingkuhan semakin merajalela.”
Diambilnya ponsel yang sedari tadi ia sembunyikan di dalam saku gaunnya.
“Pasti di desa kamu jarang sekali mengakses media sosial. Aku akan menunjukkan kepadamu beberapa berita perceraian yang viral.”
Hanya saja, ketika Catleya hendak menunjukkan layar ponselnya, Rajendra dengan sopan menolak niat wanita itu.
“Mbak… Walaupun saya tinggal di desa, tetapi setiap hari saya membuka media sosial. Di desa kami, hampir semua orang memakai internet untuk mempromosikan usaha atau dagangannya.”
Deg!
Catleya serasa tertampar saat mendengar penjelasan Rajendra. Ternyata, selama ini, dia terlalu berpikiran sempit. Tentu saja di zaman modern seperti sekarang, orang desa sekalipun sudah mengenal internet!
“Oh, kalau begitu kamu sudah mengerti apa yang aku maksud. Sebenarnya, aku ingin kita berdua bekerja sama,” tawar Catleya setelah berhasil mengendalikan dirinya. Jangan sampai Rajendra tahu bahwa ia memendam rasa malu saat ini.
“Bekerja sama untuk apa, Mbak?” tanya Rajendra dengan polosnya.
“Untuk sementara waktu, kita berdua pura-pura bertunangan. Nanti setelah resepsi pernikahan adikku selesai, kita berpisah secara baik-baik. Kamu bisa kembali ke desa, dan aku akan menjalani hari-hariku di sini seperti biasa.”
“Saya tidak biasa bersandiwara di hadapan orang lain, apalagi menyangkut kehidupan pribadi saya. Jika Mbak Leya berkenan, lebih baik kita menikah sungguhan. Saya tidak akan menuntut Mbak Leya untuk melakukan kewajiban sebagai istri sebelum Mbak Leya mencintai saya.”
Catleya sontak mengerutkan kening, bingung. Semula, ia mengira pemuda itu akan menerima tawarannya dengan senang hati. Namun di luar dugaan, Rajendra malah mengutarakan keinginan untuk menikahi dirinya!
“Tunggu, Jendra, apa kamu yakin ingin punya istri seperti aku? Aku lebih tua darimu dengan selisih usia enam tahun. Selain itu, kulitku pucat. Orang-orang mengira aku adalah penderita albino. Aku penuh kekurangan! Tidak bisa memasak, tidak bisa merawat anak kecil, dan aku juga bukan orang kaya. Aku memang bekerja di perusahaan Chandra Kirana Grup, tapi aku akuntan biasa yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup,” pungkas Catleya sengaja merendahkan diri. Dia ingin Rajendra mundur sesudah mendengar semua kekurangan yang ada pada dirinya.
Di luar dugaan, pemuda itu tetap tenang dan tak terpengaruh sedikit pun.
“Saya memilih istri bukan melihat dari fisiknya saja, Mbak, tetapi dari ketulusan hatinya. Bagi saya masalah umur tidak terlalu penting. Justru saya menyukai perempuan yang lebih matang daripada yang masih kekanak-kanakan,” tutur Rajendra dengan tenang.
Catleya menjadi kehabisan kata-kata. Entah pemuda ini terlalu bijaksana atau hanya berbasa-basi supaya terlihat baik sebagai calon suami. Yang jelas … hingga detik ini, Catleya masih belum percaya dengan alasan yang diberikan oleh Rajendra.
“Kita baru bertemu hari ini, bagaimana kamu bisa yakin jika aku orang yang tulus?” tanya Catleya balik.
“Karena sedikit banyak saya sudah mengetahui tentang Mbak Leya dari Bibi Ijah. Kita memiliki banyak kemiripan dalam pengalaman hidup. Oleh karena itu, saya tergerak untuk memberikan bantuan kepada Mbak Leya,” balas Rajendra cepat.
Catleya terperanjat. “Bantuan apa yang kamu maksud?”
“Bantuan pertama, saya akan melindungi martabat Mbak Leya dari cibiran orang-orang,” ucap pria itu, “dan yang kedua, saya akan membantu untuk mengungkap penyebab kematian ibu kandung Mbak Leya lima belas tahun yang lalu.”Kedua pelupuk mata Catleya melebar seketika. Sebenarnya, Catleya memang merasa ada yang janggal dari kematian ibunya. Seingatnya, sang ibu terlihat sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Namun, kurang lebih empat bulan sesudah Nyonya Nandini tinggal di rumah mereka, ibunya mendadak dilarikan ke rumah sakit. Tak lama kemudian, sang ibu pun menghembuskan napas terakhir.
Sempat terpikir oleh Catleya, bahwa Nyonya Nandini terlibat. Akan tetapi, tuduhannya terbantahkan dengan sikap sang ibu tiri yang selalu baik kepadanya. Terlebih, Nyonya Nandini adalah sepupu ibunya yang sudah mendapatkan banyak bantuan dari keluarga mereka.
“Bagaimana Mbak Leya?” tanya Rajendra lagi.
Wajah Catleya sontak berubah serius. Dia kembali berpikir bagaimana Rajendra bisa tahu mengenai sang ibu? Mungkinkah Rajendra diam-diam memata-matai dirinya dengan tujuan tertentu?
Catleya menggelengkan kepala–menertawakan pikirannya sendiri. ‘Mungkin, Bi Ijah yang membeberkan semua masa laluku padanya.’ batinnya.
“Maaf, Jendra, bukannya aku meremehkan niat baikmu, tetapi bagaimana caranya kamu bisa mengungkap kematian ibuku?” balas perempuan itu akhirnya, “kamu tidak punya sumber daya dan kekuatan untuk melakukan semua itu, apalagi kamu….”
“Hanya seorang pemuda desa yang miskin dan tidak tahu apa-apa. Itu yang ingin Mbak Leya katakan?” potong Rajendra seolah membaca pikiran Catleya.
“Ma–maaf. Aku tidak bermaksud.”
Rajendra hanya tersenyum. “Tenang saja, Mbak. Saya tidak masalah, tapi saya harap Mbak datang ke tempat tinggal saya di Desa Purwabinangun. Di situ, Mbak Leya bisa melihat sendiri apakah saya pantas menjadi suami Mbak Leya atau tidak.”
“Ke Desamu?”“Ya. Pokoknya, saya akan menunggu kedatangan Mbak Leya sampai hari Kamis, karena saya ingin kita melangsungkan akad nikah di hari Jumat,” jawabnya, “bila Mbak Leya tidak datang, saya anggap perjodohan ini dibatalkan.”
“Hah?!” pekik Catleya tanpa sadar. Untuk kesekian kalinya, dia dibuat terkejut oleh Rajendra.
Mengapa pemuda ini tampak begitu percaya diri? Adakah rahasia yang disembunyikan olehnya?
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry