"Baiklah kalau menurut Bapak seperti itu." Catleya tidak memiliki kuasa untuk menolak, terutama bila Rajendra sudah memakai kekuasaannya sebagai CEO. Berdebat pun percuma karena ujung-ujungnya ia harus mengalah. Apalagi ia sudah terikat oleh berbagai pasal yang mewajibkannya tunduk kepada Rajendra. Sungguh, nasibnya hampir sama dengan seekor burung kecil yang terkurung di dalam sangkar emas. "Nanti pulang kantor naik taksi saja. Jangan mau diantar pulang siapa-siapa.""Baik, Pak. Ada lagi?" Catleya memiringkan kepala sedikit. Menunggu barangkali ada lagi perintah atau larangan yang diberikan sang suami. "Tidak ada, kamu boleh berangkat sekarang."Catleya mengangguk kemudian membuka pintu. "Saya permisi, Pak," ucapnya sebelum keluar.Sepeninggal Catleya, Rajendra masuk ke ruang kerja dan menemukan bukti rekaman tergeletak di atas meja. Lelaki itu duduk dan menyalakan laptop. Tidak sabar mengetahui isi yang ada di dalam.Awalnya, tidak ada yang aneh dari rekaman tersebut. Hilir mudi
Rajendra tiba di kantor sekitar pukul sepuluh. Lelaki itu buru-buru masuk ke ruangannya di lantai sembilan. Seperti biasa, Rama selalu mengiringi langkah Rajendra seperti seorang bodyguard yang mengawal sang tuan muda. Mengetahui Rajendra sudah datang, hal pertama yang Catleya lakukan adalah menyeduh teh. Kemudian, ia mengambil laporan yang sudah dibuatnya untuk diserahkan kepada sang atasan. Sementara itu, Rama terlihat sibuk mencari referensi video iklan. "Selamat pagi, Pak. Ini perbandingan laporan keuangan yang Bapak minta kemarin." Catleya meletakkan cangkir teh dan laporan ke atas meja Rajendra.Rajendra membuka laporan tersebut. Membaca dengan cermat dan teliti hasil pekerjaan sang sekretaris. Senyum puas tersungging di bibirnya begitu selesai."Bagus," puji Rajendra.Usai melapor, Catleya membuka buku agenda yang dibawanya. Membacakan revisi jadwal sang CEO berdasarkan pesan dari Pak Haikal. Sebelum menyebut rencana pertemuan dengan Maharani, Catleya memandang Rajendra denga
"Itu anaknya Pak Bintang? Lucu banget, ya. Cantik seperti blasteran orang Eropa,” puji Fani.“Aku dengar dari Bu Olive, mendiang istrinya Pak Bintang memang keturunan bule. Kulitnya putih bersih mirip Leya,” celetuk Ineke. Sekumpulan wanita muda itu terdiam ketika Bintang berjalan mendekati salah satu meja kafe. "Selamat siang, Pak Bintang!" sapa mereka serempak. Mendengar namanya dipanggil, Bintang lantas menoleh. Senyumnya terulas kepada para staf yang juga tengah makan bersama. Membuat sebagian dari mereka serasa tertancap panah asmara ketika melihat pria matang yang menawan itu. "Ini anaknya, Pak?" tanya Ineke dengan mata berbinar.Bintang mengangguk lantas menatap putrinya semata wayangnya yang masih terlihat bingung."Sayang, perkenalkan diri kamu pada Tante-tante ini. Bisa, kan?" Bintang berjongkok menyamakan tingginya dengan sang putri."Halo Tante, aku Milly."Catleya tersenyum kecil. Suaranya persis seperti yang ia dengar melalui telepon."Hai, Milly. Kamu cantik sekali.
Sekitar pukul dua, CEO dan asistennya baru kembali setelah makan siang. Rajendra selalu terlihat serius saat di kantor, Catleya jadi tidak bisa menebak perasaan lelaki itu setelah pergi dengan artis ternama. Mungkin dia senang atau malah biasa saja. Yang jelas Catleya tidak yakin kalau sang suami bisa tahan terhadap pesona Maharani. Permintaan izin untuk makan malam bersama dengan divisi akunting harus ditunda lebih lama. Rajendra langsung sibuk menggelar rapat bersama Pak Haikal untuk membahas syuting iklan yang akan dilakukan Maharani. Wanita itu sudah setuju untuk melakukan kerjasama. Catleya menunggu rapat selesai dengan gelisah. Sesekali kepalanya melongok dari ruangan mencari tahu Rajendra sudah keluar apa belum. Namun, hingga lebih dari waktu yang ditentukan sang suami belum juga kembali.Rajendra memang memiliki urusan lain. Lelaki itu pergi ke lantai delapan untuk menemui Ibrahim. Sesuai keinginannya setelah melihat rekaman CCTV, dia akan mengamati sendiri bagaimana reaksi
Menjelang waktu makan malam, Catleya membereskan pekerjaannya kemudian turun ke lantai tiga. Di sana Ineke dan yang lain sudah menunggu. Rupanya staf wanita yang tadi makan siang bersama Catleya belum puas menggoda. Mereka kembali membahas kedekatan Catleya dengan Milly sambil bisik-bisik.Catleya memilih untuk tetap diam daripada bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin mengikrarkan pernikahannya dengan CEO, jadi biarlah para staf itu berasumsi sendiri selagi masih bersikap masuk akal. Toh, dia juga tidak bisa mengendalikan ucapan dan pemikiran setiap orang/ Rombongan dibagi menjadi dua. Staf pria ikut mobil Pak MK, sedangkan yang wanita ikut mobil Ineke. Sepanjang jalan, Catleya juga tidak banyak bicara. Hanya menatap gedung-gedung tinggi yang berkelebatan melalui jendela mobil."Leya, nanti kamu pulang bareng kami lagi, kan?" tanya Ineke."Mungkin nanti aku pulang naik taksi saja," jawab Catleya. Ineke tidak tahu tempat tinggal barunya ada di mana. Bagusnya juga tidak perlu tahu.
Sementara para staf sibuk memesan makanan, Bintang membuka obrolan dengan Rajendra. Sebagai tuan rumah acara itu, dia merasa perlu menawarkan lebih dulu kepada sang tamu penting. Meski jujur, Bintang merasa kesal karena Rajendra datang tanpa diundang. Entah ini tak disengaja atau Rajendra memiliki tujuan tertentu untuk mengacaukan acara penting divisinya.“Pak Rajendra mau pesan apa?” tanya Bintang. “Sama dengan Pak Bintang saja,” balas Rajendra juga memakai bahasa yang formal.“Baik kalau begitu kita pesan menu favorit di kafe ini.”Bintang lalu memanggil pelayan kafe untuk menanyakan menu unggulan dari kafe tersebut. Ternyata yang paling banyak dipesan oleh pengunjung adalah steak wagyu. Bintang langsung memesan makanan tersebut untuk dirinya dan Rajendra. Akan tetapi di luar dugaan, Rajendra kembali memanggil pelayan itu.“Mbak, saya pesan steak wagyu satu porsi lagi, satu brownies, dan satu mochi ice cream,” ucap Rajendra. Semua orang kembali dibuat tercengang. Mungkinkah CEO Ch
Iris mata Catleya terbelalak lebar. Pertanyaan macam ini. Apakah Rajendra sekadar iseng atau pria ini memiliki maksud terselubung? Sialnya pertanyaan Rajendra itu membuat gejolak aneh muncul dalam diri Catleya. Pipinya terasa memanas. Lebih parahnya lagi pikirannya langsung ke mana-mana, membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya. Sebelum Rajendra menyadari reaksinya, Catleya buru-buru menundukkan wajah. Enggan untuk bertatapan langsung dengan sang suami. Namun Rajendra menggamit dagu Catleya dan memaksanya untuk bersitatap.“Apa kamu berminat punya anak?” tanya Rajendra sekali lagi. Catleya pun menahan napas lantaran ujung hidungnya hampir bersentuhan dengan Rajendra. Mundur pun tidak mungkin karena punggungnya sudah menempel pada pintu. “S-saya pernah bilang tidak mau hamil, dan itu juga tidak mungkin terjadi,” jawab Catleya gugup. “Kenapa tidak mungkin? Kamu adalah wanita yang bersuami,” kata Rajendra.“Tapi suami saya adalah Bapak dan kita sudah berjanji untuk tidak saling me
“Apa Bapak tidak mengidolakan Maharani? Dia punya banyak fans pria,” celetuk Catleya tiba-tiba.“Saya tidak menyukai perempuan yang agresif dan berpenampilan terbuka,” jawab Rajendra.Pemuda tampan itu semakin mengeratkan pelukannya, menghirup harum aroma vanila dari tubuh sang istri. Aroma manis ini yang telah memikatnya sejak mereka bertemu untuk pertama kali. Sayang sekali Catleya belum juga mengingatnya hingga detik ini. Berbeda dengan Rajendra yang merasa nyaman, Catleya justru sangat kepanasan. Bukan hanya karena bajunya yang berlapis-lapis, melainkan akibat dipeluk oleh Rajendra. Detak jantungnya juga berdebar makin kencang. Jika begini terus mungkin dia tidak akan tidur sepanjang malam.Catleya pun memutar otak, bagaimana supaya dia bisa melepaskan diri dari Rajendra. Tak ada cara lain, kecuali dia harus melakukan sesuatu yang cukup ekstrem. “Bapak sudah tidur?”“Hmmmm,” gumam Rajendra. “Maaf, saya mendadak ingin ke toilet. Bisa lepas sebentar, Pak?”Dengan malas, Rajendra