Ketika pulang kuliah Erika terkejut mendapati apartemen Anna berantakan. Bantal, buku-buku, bahkan makanan yang ada di dalam kulkas tercecer di lantai. Memang Erika tak keberatan membersihkan segala kekacauan yang sahabatnya buat, tapi Anna tak pernah separah ini jika marah. Sebelum-sebelumnya, jika emosinya tak terkendali, ia hanya akan mengumpat.
Sebagai anak tunggal dari keluarga berada, Anna tak pernah kekurangan apapun. Segala yang diminta tanpa harus merengek atau berusaha, orangtuanya pasti akan menurutinya. Namun sebagai gantinya, ia kehilangan apa itu kasih sayang orangtua. Ia tak pernah bermain dengan ayah ibunya, karena mereka tak pernah ada di rumah. Anna hanya dijaga oleh seorang nanny yang telah merawatnya sejak masih bayi.
"Ma, minggu depan waktunya ambil rapor. Mama datang, ya?!" pinta Anna suatu ketika saat menghubungi mamanya yang sedang ada di Milan.
"Gak bisa,
Setelah lulus dari universitas, keempat sahabat itu menempuh jalannya masing-masing. Erika yang kebetulan bertemu dengan bule Kanada dan langsung menikah. Steve yang tetap menekuni dunia menulisnya dan menggunakan nama pena anonimus Stevan A, dan juga Anna dan Jack yang lulus langsung menikah. Mereka mengelola salah satu perusahaan milik ayah Anna. Dan tak ada alasan bagi orang tua Anna menolak pemuda itu. Meskipun Jack dari keluarga biasa-biasa saja, berkat dirinyalah Anna bisa menjadi sosok yang lebih baik meskipun harus tetap mengkonsumsi obat secara rutin.Hingga suatu ketika Steve, Jack dan putranya mengalami kecelakaan mobil. Jack dan putranya meninggal di tempat, sedangkan Steve terluka tak terlalu parah namun menimbulkan traumatis dalam dirinya. Ia menjadi penyendiri dan tak pernah lagi menyetir mobil. Ia merasa bersalah. Takut. Andai saja saat itu dia membiarkan Jack yang menyetir, tak akan ada yang namanya kecelakaan itu.
Anna tertawa sambil melahap kue pie di pangkuannya. Remahan-remahan crush itu berceceran di rok dan lantai. Aku mengamatinya, pandangan matanya kosong, ia seperti sedang menikmati dunianya sendiri. Dunia yang tak orang lain ketahui."Mama!" Awan berteriak dari dapur. Kedua papanya tengah memasak bersama. Dari baunya, tercium aroma nasi goreng bumbu terasi."Anna. Apa kau mau ikut bergabung bersama kami di dapur?" Ia menggeleng dan kembali menatap layar televisi. Tak ada tayangan yang lucu di sana. Hanya ada berita kriminal dan politik. Aku merasa iba padanya, dan kupikir Anna seharusnya mendapatkan perawatan yang tepat dari tenaga ahli."Steve, bisakah kita bicara setelah ini?""Hmmm. Tentu saja.""James, bisakah kamu bersama Awan sebentar?""Tentu saja, Darling. Lagipula kali
"Mama!" Tiba-tiba suara Awan membuatku membuka mata. Namun saat aku terbangun, sosoknya tak ada. Aku yakin sekali Awan memanggilku. Suara itu terdengar jelas."Ada apa, Key?" Pria di sampingku mengerang. Tubuhnya yang tanpa sehelai benang terpampang di depan mataku."Aku seperti mendengar suara Awan. Ia memanggilku Steve.""Kau hanya bermimpi, Key," kata Stevan sambil memelukku. Sekarang baru pukul dua pagi, Awan pasti tidur lelap bersama James."Aku ingin melihatnya, Steve. Apa kamu mau menemaniku?""Tentu saja, Key," jawabnya mengusap punggungku.Setelah berpakaian, kami keluar kamar bersama. Aku merasakan ada yang aneh yang membuat perasaanku tak enak. Biasanya lampu utama rumah Antonius tidak dinyalakan. Pintu juga dibiarkan terbuka dan televisi masih menyala. Pintu
"key?" Suara Stevan yang lembut dan tepat berad di depan telinga mengagetkanku. Sontak, kepalaku yang sejak tadi bersandar pada meja pun terangkat."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sambil membelai lembut rambutku."Emmm ... anu. Cuma lihat-lihat saja." Buru-buru aku menutup buku diary yang belum selesai aku baca."Anna sudah ditemukan, Key.""Benarkah? Lalu di mana Awan?" Stevan menggeleng pelan. Wajahnya terlihat lelah karena mondar-mandir seharian."Mau ikut ke rumah sakit melihat Anna?" Rumah sakit? Ya Tuhan, sebenanya apa yang sedang terjadi di sini? Karena ingin tahu, aku pun mengiyakan dan mengikuti langkah lelaki itu dari belakang tanpa berkata apa-apa karena Stevan agaknya sedang malas untuk ditanya-tanya. Wajahnya suntuk dan otot-ototnya terlihat menegang.
"Steve?" ucapku begitu lelaki itu meneleponku."Apa James baik-baik saja? Oh, baiklah. Sampaikan salamku padanya. Anna masih belum sadar. Tentang itu ... bisakah kau kemari? Oke. Aku akan menunggumu. Aku harap polisi akan segera menemukan Awan. Baik ... baik ... hmmmm. Cepatlah kemari."Aku menutup telepon dari Stevan lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Katanya, James baru saja siuman. Dan ketika dia menanyakan soal Anna, aku ingin bercerita langsung padanya. Kemudian tentang Awan ... polisi masih mencarinya dan kini mereka tengah menggeledah rumah Stevan. Barangkali, ada petunjuk yang bisa digunakan dalam menyusuri keberadaan Awan. Meskipun begitu, aku bersyukur Stevan tetap tenang. Aku tak tahu lagi bagaimana jadinya jika ia ikut-ikutan panik sepertiku.Aku berjalan ke arah kantin dan meninggalkan Anna di ruangannya. Orangtuanya masih di sana. Dan ibunya yang tadi sempat pingsan dirawa
Polisi telah menemukan Awan ketika aku dan Stevan kembali ke rumah setelah dari rumah sakit. Mereka menemukan buah hatiku di rumah Lunny dan saat polisi menemukannya, Awan sedang tidur di dalamnya."Maafkan Bapak, Mas karena tidak mencari den Awan dengan teliti," ucap Bapak dengan sungguh-sungguh. Kepalanya tertunduk dan ada seugurat penyesalan di wajahnya.Stevan langsung memegangi Bapak. Dia tak mungkin menyalahkan orang yang telah bersamanya puluhan tahu. "Tidak apa-apa, Pak. Siapa yang menyangka dia akan tidur sana. Kami semua lega. Awan baik-baik saja dan dia tetap ceria. Terima kasih karena telah mencari Awan dengan sekuat tenaga."Aku menciumi tubuh Awan yang berbau kelinci mulai dari rambut, wajah, badan hingga tangannya. Tangisku tak terbendung lagi dan rasa syukur aku panjatkan dalam hati. Tak pernah terpikirkan bagaimana hidupku jika aku sampai kehilangan Awan.
"Mau ke mana Steve?" tanyaku pada pria yang beraroma Lunny itu terlihat buru-buru. Jalannya sangat cepat dan aku mengikutinya ke kamar mandi dan menungguinya."Apa kau mau ikut mandi, Key?""Tidak!""Lalu kenapa kau menungguku di sini?""Apakah masalah buatmu melihat suamiku sendiri mandi?""Tentu saja masalah buatku. Kau tahu kan tidak ada tirai yang menghalangi tubuhku. Apa kau merasa sedang melihat tarian erotis di diskotik?""Hmmm ... bukan ide yang buruk. Meskipun kau sudah tua, badanmu tetap bagus.""Apa kau menyebutku tua barusan?" Stevan menyipratkan air padaku. Buru-buru aku menjauh dan dengan cepat dia menyiram tubuhnya yang penuh sabun lalu mendekatiku.🐊"Pakailah handukmu. Lihatlah lantainya bas
Saat Stevan tiba di rumah sakit, aku meninggalkan mereka berdua. Aku tak ingin mengganggu kebersamaan kedua sahabat itu. Anna pasti merindukan dan ingin bercerita banyak hal pada Stevan. Aku berusaha menepis rasa cemburu. Dari jauh, wanita itu terlihat tersenyum dan wajahnya merona. Biarlah, mulai sekarang aku akan berbagi kebahagiaan dengannya dan lebih peduli pada Anna. Karena bagaimanapun juga kami sama-sama perempuan dan harus sama-sama saling memahami.Aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Wajahku terasa lengket dan pucat karena makeup yang kupakai luntur karena terlalu banyak menangis.Setelai selesai dari kamar mandi aku pergi ke taman belakang rumah sakit dan ternyata ayah Anna ada di sana. "Om ...," sapaku ketika memutuskan duduk di sebelahnya."Anna sudah sadar. Om gak mau masuk?" tanyaku memulai pembicaran. Pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak putih dan hita