"Apa makanan kesukaanmu?" tanya Keyla ketika dia dan Stevan sedang makan siang bersama di dapur. Menjelang hari pernikahannya, Bibi mewanti-wanti agar Keyla tak keluar rumah. Pamali. Sebelum menikah, lebih baik di rumah untuk mempersiapkan hari pernikahan.
"Tidak ada," jawab Stevan singkat, padat dan jelas. Kini Keyla sudah tahu bahwa calon suaminya itu pendiam.
"Cobalah ini. Aku menambahkan sedikit lada cinta dan juga sesendok kasih sayang," balas Keyla lagi sambil menaruh beberapa sendok nasi goreng di piring Stevan. Pria itu pun langsung memakannya dengan lahap bersamaan dengan buncis rebus yang dicampur dengan saus tahini.
"Kamu menyukainya?" Keyla bertanya dengan penuh semangat dan mata yang berbinar. Dia ingin sekali Stevan memuji masakannya meski jika itu bukan seleranya.
Stevan meletakkan sendok ke atas piring yang berisikan rebusa
"Jadi, kamu kabur dari rumah suamimu? Ckckck ... perempuan jaman sekarang, kalau lagi ribut sama suaminya langsung deh pergi dari rumah. Gak dibicarakan dulu," celoteh Mama dengan nada ringan dan suara cemprengnya. Untung saja Keyla sudah menyiapkan telinga untuk mendengarkan omelan Mama. "Belum resmi jadi suami, Ma. Masih tunangan. Itu aja terpaksa!" jawab Keyla jengkel. Bibirnya monyong sampai lima senti.
"Good morning, my wife," ucap Stevan yang mengecup kening Keyla."Hmmm? Jam berapa sekarang?" tanya Keyla dengan nada suara yang masih mengantuk. Matanya terasa berat dan bengkak karena acara malam pertama mereka yang gagal. Meskipun begitu, Stevan sama sekali tidak kecewa. Dia bisa mengerti Keyla dan tak menyalahkan istrinya karena kehilangan keperawanannya sebelum mereka menikah."Tujuh," balas Stevan menyingkirkan helaian rambut di kening Keyla dengan lembut. Dan tanpa sadar, Keyla mendekatkan bibirnya pada bibir Stevan yang kemerahan."Aku malu sekali. Seharusnya aku bangun lebih pagi daripada kamu.""Mandilah. Setelah itu kita sarapan." Stevan berkata kemudian berniat beranjak dari ranjang."Tunggu!" Keyla memegangi tangan lelaki itu yang terasa dingin dan Keyla bisa merasakan otot-otot tangan Stevan yang kuat. "Kamu marah?"Sejenak lel
Langit begitu cerah hari ini. Kebiruan dan diiringi awan yang berarak mengikuti ke mana angin hendak berhembus. Quebec telah memasuki musim gugur. Dedaunan yang menguning mulai jatuh perlahan satu demi satu. Dan di sana, di bawah pohon yang daunnya pasrah tersapu angin ada Awan yang sedang bermain dengan kelinci putih kesayangannya."Tidak ikut bermain, Key?" James memberikan sekaleng minuman dingin padaku. Aku menggeleng dan pria itu hanya tersenyum. Kami duduk di anak tangga sambil melihat Awan yang berlari ke sana ke mari dengan teriakan-teriakan gembira. Suara cemprengnya seperti mentari di atas sana. Memberikan cahaya pada kegelapan. Menghangatkan jiwa-jiwa yang dingin serta kesepian."Apa kamu yakin tidak ingin pulang ke Indonesia, Key?" James memulai pembicaraan karena dari tadi kami hanya berdiam tanpa sepatah kata. Dan hal itu, sudah lumrah diantara kami. James yang tak.banyak bicara, dan aku yang telah k
"Jadi berangkat ke Afrika, James?" tanyaku pada James.Kami sedang makan malam. Nasi goreng sayur kesukaan Awan. "Iya. Aku berangkat besok." James meneruskan mengunyah makanan di mulutnya sementara Awan langsung berhenti menyendoki nasi di piringnya."You can't go to any where, Papa!" protesnya lalu turun dari kursi dan mendekati Papanya dan memasang wajah melas. Matanya berkaca-kaca dan bersiap untuk meledakkan tangisnya.Sejak masih bayi, Awan memang sangat dekat dengan James. Meskipun ia bukan ayah biologisnya tetapi pria yang kini berusia 40 tahun itu mencintai Awan melebihi ayah kandungnya sendiri.Saat itu, ketika usia kehamilanku memasuki empat minggu dan tetangga menemukanku pingsan di halaman rumah, barulah aku tahu kalau ada jabang bayi di rahimku. "Selamat Key. Kamu sedang hamil," ujar Erika. Dia asli orang Indonesia yang memiliki suami orang Kanada. Erika sudah lama berte
"Apa Awan sudah tidur, Key?" bisik Erika agar tak membangunkan Awan yang sedang terlelap."Iya. Dengarlah napasnya. Sangat tenang," balasku tak kalah pelan. Pangeran kecilku berada di tengah, sedangkan Erika di sebelah kiri dan aku sendiri di sebelah kanan dipan. Gara-gara cerita hantu kami tidak berani tidur sendiri di rumah. Itu sebabnya kami memutuskan untuk tidur bersama."Key, saat besok temanku datang, menginaplah di sini. Setidaknya sampai James pulang.""Baiklah. Ini semua salahmu, Erika.""Ya. Dan aku minta maaf. Kukira kamu pemberani.""Itu hanya pikiranmu saja. Sebenarnya aku sangat penakut pada hal-hal seperti itu. Aku berharap James cepat-cepat pulang jadi aku tidak akan menyusahkanmu.""Apakah pintu depan dan belakang sudah kukunci, Key?" Erika mulai terlihat panik.&nb
"Apakah dia sudah tidur?" tanya Stevan kaku."Ya. Dia kelelahan setelah bermain dan membantuku membersihkan rumah Bunny. Sekarang, pulanglah ke rumah Erika." Aku mengusir Stevan yang telah menemani Awan bermain dan membantu mengangkatnya yang tertidur di sofa."Apa kau mengusirku?" tanya Stevan lagi seperti enggan kembali ke rumah Erika. Terlihat sekali bahwa ada hal yang ingin dia katakan padaku."Tidak baik seorang laki-laki berada di rumah seorang perempuan bersuami yang suaminya sedang tidak ada di rumah!""Kita belum pernah bercerai."Tak mau membangunkan Awan yang terlelap, aku mengajak Stevan untuk keluar kamar. "Pergilah. Aku tak mau Erika berpikir macam-macam," kataku sambil membuka pintu. Aku tak mau ia terlalu lama di sini. Hal itu hanya ingin membuatku marah atas apa yang terjadi di masa lalu. Aku b
"Dia pasti kelelahan." James mengusap dahi Awan yang sudah tertidur pulas. Setelah makan siang tadi ia bermain dengan Bunny di halaman belakang."James ....""Hmmmm?""Aku ingin bicara."Kami pun berjalan keluar kamar agar tidak membangunkan Awan. "Apa kau mau teh?" tawarku ketika kami di dapur.Ia menggeleng. "Duduklah." James menepuk-nepuk kursi agar aku duduk di sebelahnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" lanjutnya lagi sambil menatap ke arahku yang terus menunduk. "Bicaralah, Key," ucapnya halus. Digenggamnya tanganku dengan hangat."Steve ... aaad," jawabku terbata. Aku tak yakin apakah harus menceritakan hal yang sebenarnya padanya atau tidak. Ia lalu bangkit dari kursinya kemudian memelukku. Dan untuk bertama kalinya aku sedekat itu dengannya. Mendengar detak jantung serta hembusan napasnya.
Sebelum menandatangani surat cerai, Stevan memberi beberapa persyaratan. Aku dan Awan harus tinggal di rumahnya selama satu minggu dan setelah bercerai dia boleh menemui Awan kapan saja. Aku mengiyakan karena aku juga tidak ingin terlalu alot saat bernegoisiasi. Aku ingin pernikahanku dengan James berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan yang berarti.Meskipun tadinya Mama tidak setuju, setelah dibujuk James akhirnya Mama tak bisa menolak lagi. Entah apa yang James katakan pada Mama. Karena, jarang sekali ia mau menurut dengan usul orang lain."Mbak Key!" teriak bibi sambil berlari ketika melihatku turun dari mobil. Kami berpelukan sesaat sebelum air mata kami sama-sama tertumpah. Bibi adalah salah satu orang yang aku rindukan ketika berada di Quebec. Masakannya, tawanya yang renyah, dan perhatiannya yang hangat."Mbak Key. Selamat datang kembali," ucap Bapak denga