Masih dengan pelariannya, Elvina terus menyusuri jalan untuk bersembunyi. Ia masuk ke pekarangan area hotel yang terbengkalai. Rasa takut segera ia tepis demi bersembunyi dari preman-preman itu.Sorakan yang masih jauh namun dapat ia dengar segera ia sempatkan untuk mencari bantuan. Rasa takutnya sempat mereda ketika seseorang akan datang untuk menolongnya.Namun, ia terlena sekarang. Ia berhenti terlalu cepat sehingga pengejaran berhenti. Ia telah diketahui berada di rumah yang sama dengan para preman itu.Menirukan suara kucing sempat membuatnya aman hingga akhirnya sebuah petaka menjebaknya di sana. Suara notifikasi pesan di ponselnya membuatnya ketahuan dan tak lagi bisa menghindar.Ia ditarik paksa sekarang. Kedua kakinya ditarik begitu saja sehingga badannya harus merasakan sakit yang teramat sebab bergesekan dengan lantai kotor dan basah itu."Berani ya kamu!" teriak pria itu segera menjamah seluruh badan Elvina dan menemukan ponsel wanita itu."J-jangan!" pintanya namun tidak a
Ai terkesiap ketika ia bangun dan sadar jika kakinya tertimpa sesuatu yang cukup berat. Perasaan curiga itu memaksanya untuk membuka mata dan menyadari jika suaminya telah berani tidur seranjang dengannya.Ingin marah, namun ia tidak ada keberanian. Sampai akhirnya, ketika akan memulai aktivitasnya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya polos sekarang, kedua matanya menyipit bersamaan dengan ingatan gambaran kejadian tadi malam. Dengan langkah perlahan, ia masuk ke kamar mandi dan berdiam diri cukup lama di sana. Ia juga menyadari sesuatu yang berbeda dengan langkahnya yang terasa sakit. Hal itu semakin jelas ketika ia mengingat bercak darah di atas kasur. Ah, tak dapat dipungkiri lagi rasa kecewanya sekarang. Ia telah melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan oleh keduanya. Lalu mengapa harus ia yang menggoda pria itu? Bukankah ia tidak tahu menahu hal semacamnya?Merasa dunianya telah hancur, ia menyalakan shower yang mengeluarkan air dingin, menyiram tubuhnya yang benar-be
"Berhentilah dari pekerjaan gelapmu itu, Elvina." Danny memberikan saran yang sebenarnya sangat ingin dilakukan oleh wanita itu.Namun, ia masih belum bisa melakukannya sebab targetnya belum benar-benar terpenuhi. "Aku mau mengumpulkan uang sebelum membuka usaha nantinya. Semua uangku telah habis untuk membayar hutang temanku."Danny terdiam. Ia tidak begitu tertarik dan penasaran akan masalah yang dihadapi oleh wanita itu."Aku punya sahabat yang sangat aku sayangi. Kami sudah berteman sejak kecil. Dia punya jalan hidup yang lebih sulit daripada aku. Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu, dia didiagnosa mengidap penyakit kanker darah. Dia masih hidup sampai sekarang, sudah sembuh. Tapi, aku harus kabur dan menanggung semuanya. Aku ingin dia hidup bahagia dengan keterbatasan yang dia miliki."Terdiam sesaat sebab tengah merasakan kesedihan yang teramat."Aku tidak apa-apa jika harus menanggung semuanya. Tapi, aku juga sangat ingin dia hidup untuk berpuluh-puluh tahun lagi. Kelak, ketik
Melihat dan merasakan tingkah Ian yang tidak lagi begitu buruk, Ai menjadi sedikit terharu dan ingin membalas perbuatan itu. Pagi itu, ia bangung dan lalu bergegas mencari resep kopi yang disukai oleh Ian.Dalam jangka waktu tiga puluh menit, ia mendapatkannya dan segera kembali ke kamar hotel. Ia juga dengan sengaja masuk ke kamar mandi dan membuat Ian mengambil pesanan yang baru saja diantarkan oleh pelayan."Kenapa lama sekali di kamar mandi? Kamu mau bunuh diri lagi?" tanya Ian yang ternyata memilih untuk tidak melanjutkan tidurnya."Tidak." Ai menggeleng."Terima kasih untuk pesanan kopinya. Pasti sulit ya mendapatkannya?""Tidak terlalu. Aku, em ... taunya dari Papa," balas wanita itu berbohong. Ia tidak pernah menanyakan hal itu pada orang lain dan memang mempelajari sendiri tentang kopi favorit suaminya dari bekas minumannya."Oh, jadi dari Papa," sahut pria itu tampak tersenyum geli.Bagaimana tidak, ia tahu jelas jika istrinya tengah berbohong sekarang."Apa rasanya enak?""H
Ana kembali dibuat kesal ketika Deon masih berani menghampirinya. Ia sudah sangat tidak ingin bertemu pria itu sebab benar-benar menjadi mimpi buruk di siang dan malamnya.Rald yang sejak tadi berada di ruang istirahat tentu saja mendengar percakapan di antara mereka. Ia juga tersentak setelah mengetahui sifat buruk Ana yang ternyata memang benar adanya.Sebuah gelas ditarik kemudian dilemparkan ke arah kepala Deon hingga benda itu pecah. Kepala pria itu tampak terluka dan mengeluarkan darah sebagai pertanda.Tak berhenti sampai di sana. Ana juga berusaha mendorong Deon hingga membuat kaki pria itu menginjak pecahan kaca."Aw," desisnya."Makanya jangan idiot! Aku sudah menyuruhmu pergi dari tadi. Pergilah, sana, sana!""Ana, tapi aku tidak bisa jauh-jauh darimu. Aku sangat merindukanmu setiap saat. Aku tidak tau kenapa ...""Itu urusanmu, Bapak Deon yang tidak terhormat. Aku tuh jijik sama kamu. Sejak awal, harusnya kamu sadar dong, kamu dan aku beda kasta, beda segalanya. Kamu juga m
Berdandan sebisanya, Ai akhirnya menyelesaikan urusannya. Ia menatap wajah dan penampilannya cukup lama di depan kaca. Perasaannya aneh, seperti ada yang berbeda."Kenapa aku terlihat cantik?" gumamnya sedikit centik kemudian menepuk-nepuk wajahnya. Ia kemudian tersenyum, membenarkan anggapannya terhadap diri sendiri dalam hati.Beberapa saat kemudian, Ian juga telah menyelesaikan persiapannya. Ia mendekat ke arah Ai yang tampak malu dan sangat tidak percaya diri.Apalagi setelah wanita itu menatap tampilan suaminya yang terlihat sangat tampan itu. Ia mencengkeram gaunnya, merasa geram sendiri."Kamu sudah siap?" tanya Ian kemudian merapikan rambutnya tanpa memperhatikan penampilan berbeda Ai sekarang."Sudah. Tinggal pakai sepatu, kita bisa berangkat setelahnya."Mendengar hal itu, Ian bergegas menanyakan keberadaan sepatu wanita itu tanpa kata-kata. Ia kemudian meraih benda itu dan terduduk untuk meletakkan benda itu di dekat kaki Ai.Seketika, Ai merasa deg-degan dan sangat tidak ny
Elvina memeriksa seluruh bagian tubuhnya yang terasa tidak begitu sakit lagi. Walau memang di beberapa bagian masih menyisakan lecet. Entah mengapa, perasaannya tidak begitu nyaman jika harus tetap berada di tempat itu.Akhirnya, dengan membawa keterpaksaan, ia pun meninggalkan tempat itu. Di taksi, melewati jalanan yang mulai menyepi, ia mencoba menikmati suasana. Matanya ia pejamkan sambil menghirup udara yang sebenarnya tidak begitu segar.Ia tidak peduli dengan omelan sang sopir. Pada saat ini, ia hanya ingin menemukan ketenangan walau hanya sesaat sampai akhirnya mereka tiba di tujuan. Wanita itu terdiam ketika salah satu dari beberapa orang yang keluar dari daerah tempat tinggalnya tampak masuk ke mobil yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi.Wanita itu ke luar setelah limat menit kemudian. Helaan napasnya yang amat panjang menjadi sebuah pertanyaan bagi sopir yang tak dijawab oleh Elvina. Ia segera melakukan kewajibannya untuk membayar jasa sang sopir kemudian beranjak menuju
Diam dan terus diam. Rald merasa gundah dengan isi pikirannya sekarang. Ibunya telah menanyakannya beberapa kali dan sebanyak itu juga ia ingin bercerita. Namun, keraguannya amat besar.Sore itu, dengan segala pertimbangan yang telah ia perkirakan, langkah kakinya bergerak menuju ruangan kerja privat ayahnya. Ia mengetuk pintu dan segera masuk tatkala sudah diberi izin."Pah, boleh masuk?""Boleh, Nak. Kemarilah." Diko menoleh sesaat sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya."Aku ingin bicara. Apa Papah ada waktu?"Mendengar hal itu, Diko sontak menghentikan pekerjaannya. Ia benar-benar memilih sang putra sekarang. "Boleh, tentu saja. Apa itu, Nak?""Aku benar-benar tidak menguras waktu Papah?"Pertanyaan yang membuat perasaan pria itu sedikit tersentuh sebab dirinya memang selalu sibuk dengan urusannya sendiri sampai sering mengabaikan keluarganya juga."Tidak, Rald. Katakanlah, jelaskan padaku sekarang."Anak muda itu menoleh ke arah foto masa kecil Ana yang terpampang di sana, ada