Hari berlalu, aku mulai bosan tidak ada kegiatan, sementara di rumah tetap aku sendiri, belum ada juga yang menempati dua kamar kosong tersebut. Saat tiba hari Minggu, aku dapat telepon dari Annisa."Cok, dipanggil Papa," begitu kata Annisa saya telepon tersambung."Mai ngapain ya?" tanyaku."Gak tau, pokoknya datang saja," kata Annisa.Aku pun berangkat ke rumah Annisa, jalan kaki ke jalan besar baru naik angkutan kota. Baru jalan lagi ke komplek perumahan tempat Annisa tinggal.Ketika aku sampai, Pak Ali Akhir sedang duduk di teras rumah bersama Annisa."Ucok!" bapak itu memelukku."Maaf ya, Cok, jika sambutan kami kurang ramah," kata polisi tersebut."Iya, Pak,""Bagaimana, sudah dapat tempat kos?" tanya Bapak itu lagi."Sudah, Pak, ayah beli rumah," jawabku jujur."Beli rumah?" kata Annisa."Iya,""Jadi rumah kos itu milikmu?""Ya, begitulah,""Kulihat kau jalan kaki, gak ada kendaraan ya?" tanya Pak Ali Akhir lagi."Belum ada, Pak,""Itu lihat di garasi, pilih yang mana saja, amb
Ada apa dengan Supra ini? Begitu pertanyaan dalam hatiku, aku coba ketik Supra Bapak di pencarian F*, ternyata itu istilah untuk orang yang naik Supra, karena Supra model lama yang sering dinaiki bapak-bapak. Sampai Magrib, teman baruku belum pulang juga, apakah dia memang pulang kerja malam hari? Untuk bertanya tak punya nomornya, aku juga tidak tahu apa dia punya HP. Sehabis magrib, akhirnya pria itu pulang juga, aku merasa lega. "Pinjam motor bentar, beli nasi," kata pria tersebut begitu dia sampe rumah. Aku pun memberikan kunci motor. Akan tetapi, setengah jam berlalu dia belum muncul juga, aku mulai khawatir, sampai kemudian satu jam lebih. Apakah aku sudah ditipu? Tunggu punya tunggu, pria itu tidak datamg juga. Aku cuba tanya tetangga, justru aku dibilang bodoh mau saja memberikan motor pada orang yang baru kenal. Aku coba keluar rumah untuk mencari, akan tetapi sia-sia. Mungkin pria itu sudah melarikan motorku. Dengan menumpang ojek online, aku datang ke rumah Annisa, ak
"Tolonglah, Bang Ucok," kata Salsabila lagi. Jika sudah ada kata tolong, aku tak bisa mengelak lagi. Sama dengan ayah yang konon tak bisa menolak orang yang minta tolong. "Ok, tunggu di situ," kataku akhirnya.Kupesan taksi online, menuju bandara Sukarno Hatta. Cukup mahal juga ongkosnya dari tempatku. Sampai di sana, Salsabila sudah duduk menunggu di ruang tunggu. Begitu Aku datang, dia membentangkan tangan hendak memeluk. Aku menolak dengan cara menunjukkan telapak tangan. "Bang Ucok, akhirnya kita di sini, ini kota yang bebas, takkan ada yang nyinyir jika berpelukan," kata Salsabila. "Aku tak mau dipeluk bukan karena takut nyinyiran orang, tapi takut murka Allah," kataku seraya menunjuk ke atas. "Bang Ucok, Bang Ucok," "Terserah kamu mau bilang kampungan atau apa, tapi saya tetap tidak pacaran, tolong menjauh," kataku lagi ketika Salsabila mulai merapatkan tubuhnya. "Okeh, okeh," "Sekarang kamu mau diantar ke mana?" "Ke tempat Abang lah," "Memangnya kami tidak punya
Aku terus berzikir sampai tiba waktu salat Magrib, setelah itu azan lagi dan jadi imam lagi. Apakah orang-orang di daerah ini super sibuk semua, yang ikut salat magrib berjamaah terhitung dengan jari, itu pun kebanyakan anak-anak. Aku jadi tertantang menghidupkan mesjid ini.Setelah selesai salat Magrib, aku pulang ke rumah, sebelum sampai ke rumah, aku dicegat seorang bapak-bapak."Hei, sini dulu," katanya."Iya, Pak," jawabku seraya menghentikan motor."Jangan pulang ke rumah dulu, Kamu dicari orang," katanya seraya menyebut nama salah satu organisasi kepemudaan."Waduh, ngapain, Pak?""Tidak tahu, makanya, kalau pendatang Itu tahu diri," katanya lagi-lagi."Terima kasih, Pak, permisi," kataku serata menghidupkan motor kembali. Saat tiba di rumah, sudah ada beberapa orang di depan rumahku. Beberapa pria berpakaian loreng khas organisasi kelompok Pemuda."Assalamualaikum, sapaku dengan sopan,""Waalaikum salam," jawab salah satu pria tersebut. Sepertinya Pria ini ketuanya."Ada apa
Semenjak kejadian itu, ada yang berubah, setiap aku lewat hendak ke mesjid, para tetangga akan menyapa ramah. Tetangga sebelah rumah jadi tiba-tiba rajin antar makanan, seperti pagi itu, aku baru pulang dari mesjid. "Bang Ucok, ini sarapan," kata ibu tersebut seraya memberikan seporsi bubur ayam.Entah kenapa makanan di kota ini sangat sulit cocok di lidahku, bubur ayam ini pun justru aku jijik melihatnya saja, wujudnya seperti muntahan kucing, sama sekali aku tidak selera. Akhirnya Bambang yang makan."Bang Ucok, bagaimana caranya Abang Ucok bisa panggil polisi, langsung Kapolres yang datang?" tanya Bang Bambang lagi itu, Saat itu dia lagi makan bubur ayam pemberian tetangga."Jangan panggil Abang napa, Bang, panggil saja Ucok," kataku. Satu lagi kebiasaan orang di sini yang membuat akun risih, semuanya manggil Bang, Mas, sama ibu-ibu pun manggilnya Bang, padahal di kampung kami, panggilan Abang Itu untuk orang yang lebih tua, di sini ibu-ibu pun manggilnya Bang, untuk sesaat aku ja
Baru sebulan di sini, aku sudah dapat beberapa tawaran, jadi pengurus masjid ada juga yang masuk ormas. Tak ada yang bisa kuterima, jadi marbot masjid, aku khawatir tidak bisa di masjid terus karena harus kuliah. Jadi anggota ormas, sungguh itu bertentangan dengan prinsip hidupku.Tak ada yang kuterima, akan tetapi aku berjanji jika ada waktu akan selalu hadir dibmesjid untuk salat berjamaah.Hari itu aku pertama masuk kuliah, ada acara ospek yang mengharuskan aku memakai pakaian putih hitam. Ospek berjalan lancar tak ada kendala berarti. Di kampus aku berkenalan dengan orang dari berbagai daerah Indonesia. Ada yang lucu, saat aku ditanya seorang mahasiswa baru."Suku Batak ya, logatmu kek Hotman Paris?" begitu dia bertanya."Iya," jawabku singkat."Kok Islam? kan Batak?" tanyanya lagi.Ternyata biarpun pun sudah mahasiswa masih banyak orang yang salah paham tentang suku Batak."Batak itu suku, bukan agama, Batak bukan berarti kristen," jawabku."Minangkabau itu juga suku, Aceh juga
Aku jadi bimbang juga, kalau kamar itu kubuka dengan kunci cadangan, itu melanggar prinsip hidupku yang tidak menggangu hak orang lain. Kamar itu sudah mereka sewa dua hari, sudah pula kuterima uangnya. Akan tetapi .... "Kita dobrak saja, Cok, jangan-jangan gadis itu dikorbankan," kata Bambang lagi. "Gak boleh begitu, mereka memang berhak kunci kamar itu sampai besok. Sudah mereka bayar," kataku lagi. "Jadi bagaimana, Cok, jujur saja aku tidak bisa tenang ini, bagaimana bisa tidur jika di sebelah ada babi ngepet," kata Bambang lagi. "Kok babi ngepet?" "Gadis itu bawah lilin ke kamar, yang pria pergi entah ke mana," kata Bambang. "Udah, kita cari dulu mereka," kataku kemudian. "Di mana mau dicari, Depok ini luas lo," "Kita cari saja," kataku kemudian. Kami pun keluar rumah, dengan mengendarai Supra, kami keliling-keliling di seputar daerah tersebut. Saat pertama masuk kemari, pria itu sempat memberikan nomor telepon. Coba kutelepon, akan tetapi tak diangkat. Kukirim pesan wa
Ketika sampai di rumah, penasaran juga ada apa di dalam kamar tersebut, apakah gadis itu masih ada di dalam atau bagaimana. Kucoba intip dari lubang kunci, akan tetapi tidak ada apa-apa yang terlihat. Tak ada celah lagi untuk melihat.Sementara Bambang mondar-mandir di rumah, dia tak bisa tenang."Udah, Bang, tidur saja, besok mau kerja," kataku kemudian."Mana bisa tidur jika begini, Cok," jawabnya. Sejujurnya aku juga tidak bisa tidur, terbayang gadis itu dalam kamar dikurung. Sementara kamar itu tidak ada AC atau kipas angin. Mereka juga tak ada bawa kipas angin. Terbayang alangkah panasnya di situ."Coba ketuk pintunya?" kataku kemudian.Bambang mendekat ke pintu tersebut, lalu..."Tok,tok,tok."Tak ada apa-apa, gadis itu mungkin tidak ada di dalam. Dia mungkin sudah pergi, aku masih belum percaya ada orang yang mau ditumbalkan, juga tidak percaya dengan yang namanya uang gaib.Malam itu benar-benar meresahkan, Aku juga tak bisa tidur, sampai jam setengah sebelas, tak ada aktivi