"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.
Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru menarik tangannya dengan kasar, wajahnya bersemu merah karena situasi yang tiba-tiba. Dengan nada penuh protes, ia bertanya, "Sekarang apa lagi?" Namun, meski Ara bertindak kasar, Aezar tetap menjawab dengan nada lembut. "Luka di kepalamu masih belum tertutup sepenuhnya. Jika kau menyentuhnya, itu hanya akan memperburuk kondisinya." Mendengar nada tulus dan perhatian itu, Ara merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya. Pipi gadis itu memanas, rona merah makin jelas di wajahnya. Perlahan, rasa bersalah mulai tumbuh di hatinya. "I-itu..." Ara berbisik, kedua jari telunjuknya bertemu di depan dada, bermain-main dengan gugup. Ia tidak berani menatap Aezar, pandangannya terkunci pada gerakan tangannya sendiri. "Ma-maafkan aku..." Aezar mengangkat satu alis, lalu tersenyum kecil. Melihat tingkah laku Ara yang polos, ia mengulurkan tangan, mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Kau tidak perlu meminta maaf... Kau tidak bersalah sama sekali." Ara mendongak cepat, menatap Aezar dengan ekspresi setengah bingung, setengah penasaran. Bibirnya tertarik ke satu sisi, membentuk senyum miring. "Jadi... Kalau aku memukulmu berulang kali, itu juga bukan salahku, ya?" tanyanya, nada suaranya penuh ironi. Aezar terdiam sejenak, menghela napas panjang dengan nada berat. Kedua tangannya memijat pelipisnya, seolah mencoba mengusir rasa pusing yang tiba-tiba datang. "Sepertinya aku sudah membuat kesalahan besar dengan mengucapkan itu..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Melihat ekspresi frustasi Aezar, Ara malah ikut-ikutan menghela napas panjang, meniru gaya pria itu. Dengan nada santai, ia berkata, "Entah bagaimana... Nasibku ini yang harus hidup berdua bersama paman aneh di tengah wabah zombie." Aezar menoleh tajam, alisnya terangkat. Dengan nada setengah kesal, ia bertanya, "Apa kau bilang?" Namun, bukannya menjawab, Ara malah tersenyum kecil, jelas menikmati reaksinya. Wajah Aezar menggelap sesaat, tetapi ia hanya menggeleng pelan, seolah menyerah pada gadis keras kepala di depannya. "Anak kecil ini benar-benar sulit diatur," pikir Aezar sambil menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Krucuuuuk... Suara itu terdengar jelas di antara keheningan. Ara tertegun, wajahnya langsung berubah merah padam. Dengan kedua tangannya, ia memegangi perutnya yang berbunyi nyaring, seolah-olah memohon makanan. Dalam hati, ia merutuk. "Kenapa harus sekarang, perutku?! Kau benar-benar memalukan!" Di hadapannya, Aezar berusaha keras menahan tawa. Ia menutup mulut dengan tangan kanannya, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum di balik jemarinya. Bahunya sedikit bergetar, menandakan bahwa ia hampir kehilangan kendali. "Pfft..." Suara kecil lolos dari bibirnya, cukup untuk membuat Ara semakin kesal. "Hmp!" Ara membuang muka, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Wajahnya yang sudah memerah kini tampak makin cerah, seperti tomat matang. Ia mengerutkan alis, pura-pura marah, padahal yang sebenarnya ia rasakan hanyalah canggung. "Cup... cup... cup..." Aezar mengejek sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya meledek. "Kau lapar, ya?" tanyanya dengan nada penuh godaan, menepuk-nepuk kepala Ara dengan lembut seperti orang dewasa menenangkan anak kecil yang menangis. Ara mendengus, masih enggan menatapnya. Dengan nada tajam, ia menjawab, "Sudah tahu, bertanya!" "Baiklah, itu kebiasaanmu. Kau selalu sulit mengatur emosimu saat sedang lapar," ujar Aezar sambil menghela napas pelan, seolah sudah hafal betul dengan kebiasaan Ara. Setelah berkata demikian, ia berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Dengan gerakan santai namun terukur, Aezar membuka pintu lemari dan mengeluarkan sebuah jaket kulit hitam yang terlihat kokoh. Ia menggoyangkan jaket itu sedikit sebelum mengenakannya, membiarkan kilau permukaan kulitnya memantulkan cahaya redup di kamar. Ara terdiam, matanya membelalak saat melihat jaket itu. Pikirannya langsung melayang ke dunia game yang ia kenal. "I-itu... Itu kan..." gumamnya pelan. Ia ingat betul, Aezar di dalam game selalu memakai jaket itu setiap kali hendak mengendarai motor. Bahkan, jaket itu menjadi ciri khasnya—tanda kehadirannya yang penuh karisma sekaligus bahaya. "Kenapa dia memakai jaket itu di sini juga? Ini terlalu mirip..." pikir Ara, bingung sekaligus penasaran. Aezar menyelesaikan persiapannya dengan rapi, merapikan kerah jaket dan mengencangkan resletingnya hingga setengah dada. Dengan nada ringan namun penuh tekad, ia berkata, "Aku akan keluar sebentar untuk mencari makanan." Ara menoleh dengan cepat, kali ini wajahnya tidak hanya menunjukkan rasa kesal, tetapi juga kekhawatiran. "Tunggu! Kau akan keluar? Bukankah kita ada di tengah wabah zombie? Di mana kau akan mencari makanan? Di minimarket?" tanyanya setengah panik dan bingung. Aezar mengangkat alis, tersenyum tipis, lalu mengacungkan ibu jarinya. "Pintar," jawabnya pendek. Ara membelalakkan mata. "Heeeeh!" Seruan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Ia sangat mengenal misi semacam ini—mengambil makanan dari minimarket di tengah wabah zombie adalah bagian dari game yang selalu ia mainkan. Namun, sekarang semua itu terasa nyata. Aezar mengaitkan resletingnya dan menariknya ke atas dengan gerakan cepat. "Baiklah, tunggu aku di sini. Jangan pergi ke mana-mana," katanya sebelum beranjak menuju pintu. "Tapi... Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ara dengan nada ragu, suaranya pelan namun cukup terdengar. Ia memiringkan kepalanya, memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Aezar menoleh ke arahnya, wajahnya menunjukkan senyum kecil yang penuh keyakinan. Ia tak menjawab pertanyaan Ara secara langsung, hanya mengangkat jaketnya sedikit sambil berkata, "Jangan khawatir, aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini." Ara menelan ludah, matanya terus memandangi punggung Aezar yang kokoh dan tegap. "Tapi ini dunia nyata, bukan game..." bisiknya dalam hati, meski tak berani mengatakannya dengan lantang. Tanpa berkata lebih banyak, Aezar melangkah keluar dari kamar, menutup pintu perlahan. Suara klik pintu yang tertutup itu membuat hati Ara semakin tak tenang. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan pikiran yang kalut. "Semakin dilihat... Kenapa dia semakin terlihat seperti... seperti karakter di dalam game itu?" pikir Ara, kebingungan melanda dirinya lagi. Dengan tangan di dada, ia berbisik, "Tolong kembali dengan selamat..." Kini, Ara hanya duduk di kamar, pandangannya tertuju pada pintu yang baru saja tertutup. Rasa bingung dan khawatir menggelayuti pikirannya. "Apakah dia benar-benar bisa kembali dengan selamat?" pikirnya, memandangi bayangan Aezar yang perlahan menghilang dari ingatan.Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe