Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah.
Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat berlari ke arahnya, mulutnya menganga, siap menerkam. Dengan cekatan, Aezar meraih pistol dari balik jaketnya menggunakan tangan kiri. Tanpa mengurangi kecepatan motornya, ia membidik dengan presisi yang sempurna. "Matilah," gumamnya rendah, penuh keyakinan. Dor! Peluru melesat, menembus udara, dan mengenai kepala zombie itu tepat di tengah dahi. Suara tembakan bergema, disusul suara tubuh zombie yang terhempas ke aspal. Darah mengalir deras, membentuk genangan merah gelap yang menciptakan pemandangan mengerikan di bawah cahaya bulan. Aezar memiringkan stang motor dengan cepat, menghindari tubuh tak bernyawa yang tergeletak di jalan. Namun, ancaman belum selesai. Dari segala arah, zombie terus berdatangan, mengepungnya seperti kawanan serigala lapar. Dor! Dor! Dor! Rentetan tembakan terdengar, setiap peluru menemukan sasarannya tanpa meleset sedikit pun. Meskipun hanya menggunakan tangan kiri untuk menembak, akurasi Aezar sempurna, seolah tubuhnya telah dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sepanjang hidupnya. Sementara itu, tangan kanannya tetap kokoh menggenggam stang motor, mempertahankan kendali dengan presisi luar biasa. --- Di balkon rumah, Ara berdiri dengan teropong di tangannya. Matanya membulat penuh antusias, mengikuti setiap gerakan Aezar dari kejauhan. "Woah! Sangat keren!" serunya, kagum, tanpa menyadari dirinya berbicara pada udara kosong. Ia memutar lensa teropong, memperbesar gambar hingga dapat melihat setiap detail aksi Aezar dengan lebih jelas. Bayangan Aezar di tengah kegelapan, dikelilingi zombie yang mencoba merobeknya hidup-hidup, terlihat seperti adegan epik dalam game. "Ini seperti menonton adegan live-action dari game favoritku... Tapi lebih menegangkan, karena ini nyata!" gumamnya, matanya tak lepas dari sosok Aezar yang terus bergerak gesit di medan berbahaya itu. Saat seorang zombie mencoba melompat dari sisi kanan motor, Ara tanpa sadar menahan napas. Namun, sebelum zombie itu sempat mencapai Aezar, sebuah peluru sudah lebih dulu menghentikan gerakannya di udara. Zombie itu jatuh dengan bunyi keras ke tanah. "Ayo, Aezar! Kau pasti bisa!" bisik Ara penuh semangat, meskipun ia tahu pria itu tidak bisa mendengarnya. Angin malam yang dingin bertiup, tetapi Ara tetap berdiri di sana, memandangi perjuangan Aezar. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak—antara rasa kagum, ketakutan, dan sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa semuanya terasa seperti mimpi yang berubah menjadi kenyataan?" Namun, Ara tahu satu hal. Ia tak bisa memalingkan mata dari Aezar. Tidak sekarang. Tidak saat pria itu mempertaruhkan nyawanya di luar sana. Dor! Dor! Dor! Suara tembakan bergema di sepanjang jalan yang dipenuhi zombie. Aezar terus melaju dengan motor sportnya, memacu kendaraan di antara gerombolan mayat hidup yang tak henti mengejarnya. Peluru dari pistolnya melesat dengan presisi, menumbangkan setiap zombie yang berani mendekat. Namun, malang tak dapat ditolak—ban belakang motornya melindas mayat salah satu zombie yang terkapar. Seketika, keseimbangan motor terganggu. Ckkrrrttt! Ban motor tergelincir. Motor itu berputar liar sebelum akhirnya terlempar, membuat tubuh Aezar ikut terhempas ke aspal. Ia terseret beberapa meter, sementara motornya meluncur ke arah yang berlawanan. Tubuhnya terasa panas akibat gesekan dengan aspal, tapi Aezar tak punya waktu untuk merintih. Sadar bahwa dirinya berada dalam bahaya, ia segera bangkit meski tubuhnya terasa remuk. Jaket hitamnya kini robek di beberapa bagian, memperlihatkan luka-luka yang mengeluarkan darah segar. Sialnya, pistol yang selama ini menjadi andalannya juga terlepas dari genggaman dan entah jatuh di mana. "Sial!" geram Aezar sambil mengamati sekitarnya dengan cepat. Namun, tak ada waktu untuk mencari senjatanya. Seorang zombie melompat ke arahnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek dagingnya. "Ekkhhh!" Aezar dengan cepat menahan kepala zombie itu dengan kedua tangannya. Wajahnya memerah karena tenaga yang ia kerahkan untuk melawan makhluk itu. Gigi zombie hampir menyentuh kulitnya, tapi dengan kekuatan yang tersisa, ia mendorongnya mundur. Zombie itu terhuyung ke belakang. Tapi sebelum ia bisa kembali menyerang, Aezar menerjang maju, memegangi bahu zombie dengan kuat. Ia membenturkan lututnya berkali-kali ke perut makhluk itu dengan keras. Buagh! Buagh! Zombie itu terbatuk, mengeluarkan cairan busuk berwarna merah kehitaman dari mulutnya. Dengan satu dorongan kuat, Aezar melemparnya ke tanah, membiarkannya terkapar tak berdaya. Belum sempat ia menarik napas, teriakan brutal terdengar dari arah samping. "Rrrraaaawwwwrr!" Seorang zombie berlari ke arahnya dengan tongkat baseball di tangan, siap menghantamnya tanpa ampun, gerakan larinya terlihat sangat brutal dan abnormal, berbeda jauh seperti zombie lainnya. Namun, Aezar tak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Sebaliknya, ia menyeringai, senyumnya penuh percaya diri. "Ayo," gumamnya dengan nada menantang. Aezar berlari ke arah zombie itu, semakin mendekat dengan langkah mantap. Saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah... Buagh! Aezar melompat sedikit, mengarahkan tendangan tinggi ke tengkorak zombie tersebut. "Haaah!" Tendangannya telak menghantam kepala zombie itu. Makhluk itu langsung terhempas ke tanah, kepalanya pecah menghantam aspal keras. Darah dan serpihan tengkorak berserakan di sekitar tubuhnya yang tak lagi bergerak. Aezar membungkuk, mengambil tongkat baseball dari tangan zombie itu. Ia memutar-mutar tongkat tersebut di tangannya, merasakan keseimbangan yang sempurna. "Lumayan," gumamnya pendek, sebelum kembali berlari menuju minimarket. Namun, baru beberapa langkah, seorang zombie besar dengan gerakan brutal tiba-tiba melompat dari balik kendaraan yang terbakar. "Graaahhh!" Zombie itu langsung menangkap Aezar dengan kedua tangannya, memeluknya erat seperti ingin meremukkan tubuhnya. Aezar terkejut sejenak, merasakan kekuatan monster itu yang jauh lebih besar dibandingkan zombie biasa. Tapi, meskipun tubuhnya terasa terjepit, ia tidak kehilangan akal. "Heh, kau pikir aku mudah dihancurkan?" bisiknya sambil menyeringai dingin, matanya penuh amarah. Dengan sekuat tenaga, Aezar mengangkat tongkat baseball di tangannya, bersiap memberikan perlawanan terakhir yang mematikan. "Rasakan ini, zombie yang jelek!"Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe