Share

BAB 6 - Pertemanan Sandiwara

Tring . . .

Dering ponsel milikku berbunyi dengan nyaring, aku yang tengah pusing memikirkan masalahku tiba-tiba semakin pusing saat melihat nama yang tercantum di layer ponsel.

“Ahh . . . Elisa, pasti mereka mengajakku bertemu lagi. Padahal kan minggu kemarin kita sudah hang out bareng,” kesalku. Aku angkat panggilan itu dan suara Elisa yang lembut menyapa telingaku.

“Halo, Yu!” katanya.

“O-oh, halo Lis. Kenapa nih?” tanyaku dengan nada yang malas.

“Di Plaza XX ada event loh! Kita kan sering belanja di situ, punya member juga, katanya dapat barang gratis setiap pembeliannya. Ke sana, yuk!”

Sudah kuduga. Kali ini Plaza XX? Di sana kan mahal-mahal sekali untuk budget keuanganku yang sekarang. Gimana ini? Tapi jika aku tolak nanti Elisa berpikir aku benar-benar jatuh miskin karena keluarga Wicaksono yang bangkrut.

“Wah, sekarang banget, nih?” tanyaku berpura-pura seolah sedang sibuk.

“Iya dong! Sekarang kan weekend, terus juga persediaannya terbatas! Utami juga ikut,” ucapnya bersemangat.

Aku berpikir-pikir lagi, kami tidak mungkin hanya ke Plaza XX untuk membeli baju, pasti kami juga akan makan di restoran yang sayangnya tidak murah. Jika terus-terusan membuang uang begini, bagaimana nasib aku dan Jovan nanti?

“Yu?” tanya Elisa memastikan apakah panggilannya masih tersambung.

“E-eh, iya. Yaudah yuk! Jam 4 ya udah di tempat,” kataku.

“Oke, sip!”

Telepon pun dimatikan oleh Elisa. Aku menghela napas gusar sembari memegangi kepalaku yang berasa akan meledak. Aku tahu apa yang aku lakukan hanya membebaniku. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak bisa mempermalukan diriku di depan teman-temanku.

Aku termakan oleh ludahku sendiri.

“Sebaiknya aku segera bersiap.”

Aku bangkit dan bersiap untuk pergi bersama Elisa dan Utami. Elisa adalah sahabatku sejak kuliah, dia sudah menikah mengikuti jejakku dengan orang yang lebih tua, dia dan suaminya beda 4 tahun. Sementara Utami juga sahabatku yang merupakan adik tingkatku, dia seumuran dengan Jovan dan tengah menjalani semester akhirnya.

Aku memakai barang-barang branded yang biasanya aku pakai, memakai aksesoris emas yang tentu harganya sangat mahal. Itu semua demi agar harga diriku tidak jatuh dan aku tidak terlihat menyedihkan karena menyesali keputusanku dulu.

Aku sudah rapih dan cantik, segera aku turun menuju garasi untuk menaiki mobilku dan berangkat karena waktu sudah menunjukkan pukul 03.30.

“Ayah, Ibu, aku memang menyesal tetapi aku tidak akan menunjukkan hidupku yang tidak bahagia. Biarlah aku tetap menjaga harga diriku ini agar setidaknya aku tidak menanggung malu nanti,” gumamku lalu segera menancap gas pada mobil Pajero yang kunaiki.

-

Di Plaza XX bertemulah aku dengan Elisa dan Utami yang sudah sampai lebih dulu. Kita segera menuju store pakaian yang dibicarakan Elisa di telepon tadi. Dengan berbincang sedikit-sedikit di perjalanan menuju storenya.

“Wah, itu kan tas VV edisi limited. Aku kemarin mau beli ga kebagian loh!” ucap Elisa

Dengan nada kecewa. Lekas aku terkekeh sedikit, ini adalah tas yang sempat dia beli ketika keluarga Wicaksono belum bangkrut.

“Iya, aku beli saat launching pertama kali. Di Indonesia sendiri cuman ada 10 pcs,” kataku. Jujur di kondisi ekonomiku yang sekarang rasanya aku ingin menangis ketika mengingat berapa harga tas yang aku pakai ini.

“Benar juga, aku pernah ingin membelinya saat launching pertama kali. Tapi aku diminta member VIP oleh brand nya. Apakah yang bisa membeli itu hanya pelanggan VIP saja?” tanya Utami padaku.

“Oh, tentu saja. Itu peraturan baru yang diajukan oleh para member VIP, karena kebanyakan dari mereka menginginkan barang eksklusif yang hanya bisa dibeli oleh kalangan atas. Jadi . . . ya begitulah,” jelasku.

“Wah, bangkrutnya keluarga Wicaksono sungguh tidak mempengaruhi gaya hidupmu, ya?” tanya Elisa terkagum. Sementara aku hanya tersenyum tipis saja. Sungguh aku tidak bisa membayangkan bila mereka tahu keadaanku yang sebenarnya.

Kami sudah sampai di store tersebut, memang betul ada event dan beberapa pengunjung mengerubungi tempat itu. Elisa dan Utami nampak sumringah karena harga-harga di sana didiskon setidaknya 10% dari harga biasanya. Tentu saja itu menguntungkan karena harga barangnya yang mahal, diskon 10% terasa begitu besar. Sekali lagi, menurut kondisiku yang sekarang.

“Kapan lagi dapat brand XX dengan harga segini!” seru Elisa yang disetujui oleh Utami.

Aku membuntuti mereka sembari meneguk saliva. Bahkan untuk harga yang sudah diskon saja aku terasa berat untuk membelinya.

“Biarlah, nanti aku tinggal cari alasan saja untuk tidak membelinya,” batinku.

Elisa dan Utami mengambil satu baju yang didapatkan mereka dengan susah payah karena sempat berebut dengan salah satu pengunjung di sana. Barang gratisnya pun telah mereka ambil, kini keduanya akan berlalu menuju kasir. Namun, mereka menengok padaku.

“Eh? Kamu nggak mau beli?” tanya Elisa.

“Iya, Kak. Kok kamu tumben nggak excited gitu,” timpal Utami.

Ahh, sial! Aku harus cari alasan agar aku tidak dicurigai oleh mereka.

“A-ah, ini . . . aku sudah punya cukup banyak barang brand XX, lalu aku juga malas untuk berebut seperti kalian tadi. Lebih baik aku beli di websitenya saja,” jawabku. Padahal aslinya aku hanya tidak punya uang yang cukup untuk membelinya.

“Ohh, gitu. Tapi di website nggak ada diskon sekaligus barang gratisnya loh!” kata Elisa.

“Ah, siapa peduli? Kak elisa, kak Ayu ini kan kaya. Dia bahkan nggak perlu diskon dan barang gratisan gini, ya nggak kak?” tanya Utami.

“Hahahha, bisa aja kamu,” balasku dengan kaku.

Beruntung keduanya tidak mempermasalahkannya, walaupun wajah mereka menampakkan ekspresi aneh padaku. Selesai membeli pakaian yang Elisa dan Utami beli, aku dan kedua sahabatku pergi menuju restoran steak yang biasa kita datangi.

“Hmm . . . kalian mau makan steak lagi?” tanyaku. Tidak usah ditanya mengapa aku menanyakan hal itu, tentu saja karena aku harus menghemat uang. Steak di restoran SS sangat mahal karena dipilih berdasarkan tipe dagingnya. Aku tidak bisa memesan daging local, bisa ditertawakan aku nanti oleh Elisa dan Utami.

“Aku apa aja sih,” kata Utami menimpali.

“Biasanya kita makan steak kan? Apa mau ganti restoran? Gimana kalo Sushi ZZ?” tanya Elisa.

“Hah?!” Aku spontan memekik kaget. Elisa dan Utami pun menatapku dengan terkejut. Elisa ini, dia pasti berpikir aku yang akan mentraktir makan mereka semua, maka dari itu dia mengajukan restoran mahal karena biasanya aku tidak khawatir akan hal itu. Tentu saja jika itu dahulu, sekarang aku bahkan tidak akan sanggup untuk membayar bagianku.

“Loh, kenapa Ayu?” tanya Elisa dengan pelan-pelan.

“Pake ditanya kenapa?! Sushi ZZ kan restoran yang dilayani langsung oleh chef nya dan semua bahannya fresh. Itu adalah restoran VIP yang bahkan satu orangnya bisa habis puluhan juta hanya untuk sushi saja,” batinku menjerit.

Rasanya aku ingin kabur dengan segera dari sini. Namun, sejak awal aku menyetujui ajakan Elisa pun aku sudah salah. Aku yang memaksakan keadaan demi mempertahankan harga diriku.

“A-ah, nggak kok. Kita makan steak aja deh,” putusku pada akhirnya. Steak memang mahal tetapi tidak semahal sushi ZZ itu.

“O-okey,” balas Elisa dengan kaku.

Lekas itu kami pergi menuju restoran steak SS, tak lama kami pun sampai di restoran. Pelayan menanyakan untuk kebutuhan berapa orang agar menyesuaikan dengan mejanya. Kami duduk di indoor dengan bangku 3 menghadap ke luar jendela. Suasana restoran tak cukup ramai karena biasanya hanya para orang kaya yang ke sini.

“Silakan menunya, ingin pesan apa?” tanya pelayan tersebut menunggu dengan catatan di tangannya.

“Hmm, saya pesan Kobe Wagyu ya . . . Utami, kamu mau apa?” tanya Elisa.

Aku jujur terkejut, tetapi aku berusaha untuk menetralkan ekspresi wajahnya. Elisa ini benar-benar ya, aku tidak mengerti apakah aku baru menyadari sifatnya yang seperti ini ketika aku jatuh miskin? Dia benar-benar memanfaatkan kebaikanku, dia kira aku akan membayar semua bill nya, maka dari itu dia memesan Kobe Wagyu yang mana merupakan menu termahal di sini.

“Hmm . . . aku mau tenderloin A5 saja,” kata Utami. Utami sendiri menurutku masih dalam batas wajar, dia hanya pesan tenderloin meskipun itu juga termasuk mahal.

“Kamu, Yu?” tanya Elisa.

“Aku mau daging local,” kataku nyaris ingin menampar diriku sendiri.

Mana ada orang yang pergi ke restoran steak mahal hanya untuk memakan daging local? Benar, bunuh saja aku, bawa aku pergi dari sini. Aku benar-benar malu.

“Hahaha, bercanda mulu kamu. Cepat pelayannya nungguin,” ujar Elisa.

“Benar kok, aku bosan pesan Wagyu terus menerus. Aku ingin tahu juga rasa daging local yang dimasak di restoran mewah rasanya akan bagaimana. Bisa kan mas?” tanyaku pada pelayan itu.

Untuk sekarang itu adalah alasan paling logis agar tidak ketahuan miskin. “Oh, bisa bu!” jawab pelayan itu sembari tersenyum. Aku sendiri yakin dalam hatinya pelayan itu tengah mentertawakanku.

“Baiklah, jika itu maumu. Untuk minumannya samakan saja cola ya.”

“Baik, saya ulang ya pesanannya. Satu Kobe Wagyu, satu Tenderloin A5, satu daging local, dan untuk minuman cola,” ucap pelayan itu.

Aku mengangguk, ketika pelayan itu hendak pergi aku segera menyetopnya. “Mas, tolong bill nya masing-masing dipisah ya,” kataku.

“Oh, baik Bu!”

Elisa dan Utami menengok kepadaku dan aku melihat wajah Elisa yang pucat pasi di sana. Aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

“Mas!” panggil Elisa dengan cepat sebelum pelayan itu menjauh.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“J-jadi gini, tiba-tiba saya ingin mengganti pesanan saya. Bisa kan yang Kobe Wagyu diubah jadi Tenderloin saja?” ucap Elisa terbata-bata.

Aku tertawa dalam hati, dia jelas-jelas memanfaatkanku dengan baik selama ini. Aku yang selalu mentraktir makan kedua sahabatku itu, karenanya mereka setiap makan selalu memesan makanan yang mewah. Bayangkan jika kami jadi pergi ke sushi ZZ, mungkin Elisa akan pingsan melihat billnya.

“Jadi, Elisa bagaimana kamu akan membayar pesananmu?” tanyaku dalam hati sembari meringis miris.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jejeaja
Relate banget ya sama kehidupan nyata. Skrg apa apa gengsi digedein
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status