Share

BAB 7 - Miskin

Sembari menunggu pesanan kami sampai, kami mengobrol seperti biasanya. “Utami, bagaimana dengan pacarmu yang minggu kemarin? Apakah dia cocok sama kamu?” tanyaku penasaran. Minggu kemarin Utami membangga-banggakan pacar barunya di depan aku dan Elisa.

Aku dan Elisa tau betul bagaimana kisah percintaan Utami yang tak pernah berakhir baik. Maka dari itu kita selalu menanyakan bagaimana jalannya hubungan Utami. “A-ah? Yang minggu kemarin? Si Willy? Setelah kupikir-pikir lagi sepertinya kita tidak cocok, dia tidak suka dengan aku yang mementingkan banyak hal. Terutama aku yang selalu sibuk karena aktif dalam kegiatan kuliahku,” jawabnya.

“Wah, seperti dugaan. Nggak bertahan lebih dari seminggu?” tanya Elisa.

“Yah, begitulah.” Utami hanya tersenyum kaku. Aku tak mengerti mengapa orang yang dia temui tidak pernah cocok dengannya. Seakan ada kejanggalan yang tidak pernah diceritakan oleh Utami.

“Sebenarnya kamu sesibuk apa, sih? Toh, kamu masih bisa kumpul dengan aku dan Elisa,” tanyaku. Rasanya agak aneh saja ketika pacar Utami kekurangan waktu karena Utami sibuk, tetapi Utami sendiri selalu siap sedia saat diajak keluar olehku ataupun Elisa.

“Hmm . . . aku tidak tahu, rasanya saat aku keluar dengan kalian aku lebih nyaman dan merasa fresh dari pada keluar dengan pacarku. Di kampus pun aku begitu sibuk karena selalu menjadi andalan banyak orang meskipun aku adalah mahasiswa tingkat akhir. Aku juga sibuk menyiapkan skripsiku, rencana mendirikan start up bersama teman seprodiku, dan masih banyak lagi.”

“Awalnya aku harap pacarku memaklumi kesibukanku, tetapi nyatanya mereka tidak menerimanya dan memintaku untuk memberi mereka waktu terus menerus. Aku yang sibuk menata masa depanku tentu saja tidak bisa memenuhinya,” jelas Utami dengan panjang lebar.

Yah, Utami memang sesibuk itu. Dia selalu mengagung-agungkan sosok wanita karier, dia juga berjuang dengan keras untuk menggapai cita-citanya. Ketika mendengar cerita Utami, aku begitu iri dengan dia yang masa depannya terlihat cerah. Dia yang sudah banyak mempunyai rencana dan koneksi untuk kariernya. Sedangkan aku, memilih langsung menikah setelah lulus dan tidak bisa mencari uang sendiri.

“Irinya . . . aku sudah terlambat untuk melakukan itu semua. Kini tugasku hanya menikmati saja, urusan uang biarlah suami yang mengurus. Betul begitu, Yu?” tanya Elisa padaku sembari terkekeh. Sementara aku hanya bisa tersenyum pahit, karena nyatanya tidak seindah itu.

Dulu mungkin aku akan sangat setuju karena memang aku hanya menikmati uang yang diberikan keluarga Wicaksono sebagai jatah untuk Jovan. Sekarang, bagaimana ingin mengandalkan suami jika yang menjadi suaminya saja tidak bisa apa-apa?

“Apakah seindah itu realitanya? Bayangkan jika suami kalian di PHK dan kalian sebagai istri tidak bisa mencari uang karena terbiasa bergantung pada suami?” tanya Utami.

Sebenarnya aku tidak perlu membayangkannya karena itu sedang terjadi padaku sekarang. “Kan ada tabungan, kita masih bisa bertahan sampai suami kita mendapat pekerjaannya kembali,” kataku mencoba memberi opini yang hanyalah pembenaran belaka.

“Lalu, gaya hidup kalian? Otomatis akan berubah? Kalian harus berhemat, tidak memakan steak setiap minggunya, tidak ikut kelas premium yoga, tidak pergi ke luar negeri untuk liburan, dan tidak memakai barang branded. Dikucilkan dari kalangan sosialita . . . ahh, aku bahkan tidak ingin membayangkannya,” kata Utami dengan nada yang benar-benar khawatir.

Ahh, harusnya aku berpikir seperti Utami. Membayangkan bagaimana kedepannya jika aku menikah muda dan terjadi sesuatu yang tidak terduga. Perkataan Utami seolah menamparku dan menyudutkanku, sontak aku hanya terdiam saja.

“Maka dari itu kita harus mencari pegawai pemerintah,” celetuk Elisa.

Ya, benar. Suami Elisa adalah seorang pegawai pemerintahan yang minim pemecatan dan cenderung memiliki kehidupan finansial yang stabil.

“Tapi, pegawai pemerintahan tidak mendapat gaji yang besar. Aku selama ini penasaran bagaimana kamu mendapatkan barang-barang branded sementara rumahmu saja biasa saja,” kata Utami.

Entah kenapa perkataan Utami sekarang terasa lebih menusuk. Apakah karena aku sudah jatuh miskin? Aku menjadi sensitive jika menyinggung ekonomi. Namun, yang dikatakan Utami tidak salah. Rumah Elisa biasa saja, Elisa tinggal di perumahan kelas menengah dengan mobil dinas yang bahkan bukan miliknya. Terlihat wajah Elisa sedikit pias, tetapi dia tetap mengumbar senyumnya. Aku tidak tahu apa yang wanita itu pikirkan.

“A-ah, suamiku mempunyai bisnis sampingan. Dia biasanya berinvestasi dan memilliki saham di beberapa perusahaan. Aku memang memiliki rumah yang biasa saja karena aku malas untuk membersihkan rumah yang terlalu besar. Lagi pula kami hanya tinggal berdua saja dan suamiku jarang di rumah,” jelas Elisa.

“Bukannya ada IRT? Kenapa kamu tidak menyewa saja seperti aku?” tanyaku. Walaupun sebenarnya kini IRTku aku suruh pulang kampung karena aku tidak mampu membayarnya.

“O-oh? IRT? Itu . . . itu aku hanya tidak menyukai ada orang lain di rumahku,” jawabnya. Sekarang aku menyadari, ternyata Elisa sangat pandai dalam menjawab pertanyaan yang menyinggungnya.

“Hmm, begitu? Aku kira kamu takut tidak bisa membayarnya,” balasku sedikit tertawa diikuti Elisa dan Utami.

“Hahaha, tentu saja tidak. Aku bisa mempekerjakan IRT di rumahku itu kapanpun jika akum au.”

Cukup lama kami berbincang, tak lama setelahnya pelayan membawakan makanan yang kami pesan. Walaupun daging yang kami pesan bukanlah yang paling mahal tetapi cara penyajian dan tempat yang mereka sediakan cukup menjadi alasan mengapa harga makanan di sini sangat mahal.

“Silakan pesanannya, nikmatilah dengan nyaman.” Pelayan itu pergi setelah kami mengucapkan terima kasih. Kami menikmati makanan yang kami pesan dengan khidmat. Aku memakan daging local yang sebelumnya tak pernah aku pesan.

“Bagaimana rasanya daging local?” tanya Utami dengan nada mengejek.

“Tidak buruk, ini enak,” kataku. Sekarang ini rasanya aku tidak berhak untuk menghakimi makanan disaat aku bahkan tidak mempunyai cukup uang untuk makan beberapa bulan ke depan.

“Ahh, begitu? Syukurlah,” balas Utami.

Waktu berlalu kian cepat, kami pun selesai makan dan memutuskan untuk membayar bill yang sudah dipisah. “Silakan total tagihannya, ingin menggunakan debit atau cash?” tanya pelayannya.

“Saya debit saja, ya,” kataku. Tentu saja, aku tidak bisa menggunakan kredit card karena kartuku sudah diblokir.

“Saya juga,” timpal Elisa.

“Saya scan QRIS,” ucap Utami.

Kami membayar masing-masing, harga makananku 500.000 hanya untuk 200gr daging local dan sesendok spaghetti serta kacang-kacangan. Jika bisa aku ingin memuntahkan kembali makanan yang aku pesan agar aku tidak usah membayarnya.

Saat Elisa mengeluarkan debitnya, aku dan Utami sedikit shock. Itu bukanlah debit yang biasanya kita gunakan. Beberapa bulan lalu, kita bertiga sempat menghakimi jenis debit apa yang cocok untuk kalangan sosialita. Namun, mengapa sekarang Elisa memakai jenis basic? Bahkan dia mengeluarkan tahapan Xpress yang mana itu biasanya digunakan oleh pelajar.

Setelah kami selesai bayar dan pelayan itu pergi, aku dan Utami memandang Elisa dengan tatapan bingung. “Elisa, apa itu tadi? Kamu memakai debit pelajar?” tanyaku.

“Wohoo, bukankah waktu itu kamu yang paling bersemangat menentukan kartu debit jenis apa yang pantas kita pakai? Lantas mengapa sekarang kamu justru menjilat ludah sendiri?” tanya Utami.

“O-Oh itu, itu adalah debit yang aku buat untuk anakku nanti. Kamu tau sendiri aku berencana untuk memiliki anak tahun ini,” katanya.

Aku dan Utami yakin, Elisa kini sedang merutuki dirinya yang bodoh. Mana mungkin kami percaya dengan alasan itu? “Ahh, begitu. Apakah kamu akan memberi anakmu debit saat dia masih bayi? Hahaha,” ejek Utami.

Kami bangkit dan berniat untuk pergi karena tidak ingin memperpanjang masalah hanya karena kartu debit. Terlihat Elisa yang kesal karena ejekan Utami dan Utami yang memandang remeh Elisa. Aku berandai jika mereka tahu keadaanku yang sebenarnya, apakah aku juga akan ditatap remeh seperti itu lagi? Sama seperti dulu saat aku menjadi orang miskin.

“Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi. Aku tidak mau miskin!” batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status