Share

BAB 5 - Penyesalan

Bapak dan Ibu segera memusatkan atensinya padaku. Sejujurnya, aku deg-degan untuk mengatakannya. Namun, kali ini aku akan mencoba berani dalam menyuarakan keinginanku.

“Ada apa?” tanya Bapak, Harto.

“Aku ingin menikah dengan Jovandi. Kami sudah membicarakannya dan aku menyutujuinya,” jelasku dengan singkat.

Aku melihat ekspresi kedua orang tuaku yang terkejut. “Menikah? Kamu kan baru lulus kemarin, Nak. Jovan juga belum lulus, kan?” tanya Ibuku.

Aku mengerti apa yang beliau katakan, karena aku juga mengatakan hal serupa pada Jovan sebelumnya. “Aku tahu, Bu. Tapi aku sudah memikirkannya dengan baik, dan aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Jovan.”

Bapak yang sedari tadi diam mulai mengangkat suara. “Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menikah sekarang? Apa kamu tidak peduli pada mimpimu, Nak?”

Mimpi? Memangnya setelah menikah aku tidak bisa menggapai mimpi? Aku bukannya tidak peduli pada mimpiku, aku hanya menangkap kesempatan yang ada.

“Aku berpikir, apa salahnya menikah muda? Kami berdua saling mencintai dan merasa cocok satu sama lain. Kami hanya tidak ingin membuang waktu dengan berpacaran yang tentunya tidak baik. Lalu, aku tidak berbicara mengenai mimpi. Aku hanya ingin Bapak dan Ibu menyetujui keputusanku,” kataku.

“Lagi pula, setelah menikah aku bisa menggapai mimpiku dengan lebih leluasa karena mempunyai koneksi berkat keluarga Jovan,” lanjutku.

“Nak, menikah itu bukan hanya karena sudah saling mencintai dan sama-sama cocok. Menikah itu tidak sesederhana itu, butuh persiapan yang sangat matang, butuh mental yang kuat. Kamu dan Jovan baru setahun bersama, seberapa yakin kalian untuk bisa hidup bersama selamanya? Apa kamu sudah tahu luar dalamnya Jovan seperti apa? Kamu-“

“Ibu! Bisakah kali ini kalian menuruti keinginanku? Dari kecil aku selalu menurut, bahkan untuk mimpiku, aku mengalah dan menuruti keinginan Bapak Ibu untuk menjadi seorang guru. Aku selama ini berjuang sendiri, aku lelah Ibu, Bapak. Keluarga Jovan itu kaya raya, jika menikah dengan dia, maka aku bisa mewujudkan segala keinginanku yang tak pernah terwujud dari dulu,” potongku karena sudah bosan mendengar nasihat ibu yang selalu menentang apa yang aku mau.

Ini pertama kalinya aku memotong Ibu yang sedang berbicara. Aku sungguh takut melihat Bapak yang sudah melotot. Ah, persetan dengan semuanya, untuk kali ini saja aku ingin menjadi anak pembangkang.

“Ayu! Sejak kapan kamu tidak bisa dinasihati? Apakah seperti itu yang Bapak dan Ibu ajarkan kepadamu selama ini? Lagi pula kamu itu hanya akan menyesalinya jika sekarang kamu memutuskan untuk menikah dengan lelaki yang baru kamu kenal hanya karena dia kaya!” sentak Bapak sampai membuatku terjingkut kaget.

Aku bangkit berdiri karena merasa tidak ada yang mengerti aku. “Bapak dan Ibu memang selalu seperti itu, apakah aku tidak berhak untuk memilih jalanku sendiri?”

Lekas mengatakan itu, aku berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuaku yang memangil-manggil namaku dengan keras. Memangnya apa salahnya dengan menikah muda? Toh, hidup kami akan terjamin karena keluarga Wicaksono adalah konglomerat. Aku juga yakin Jovan adalah pria baik yang akan menyayangiku lebih dari siapa pun.

“Aku benci mereka semua! Aku ingin menikah karena aku sudah lelah hidup susah!” Aku menyembunyikan wajahku di dalam bantal, merasa kesal pada orang tuaku yang selalu saja egois.

“Bapak bilang aku hanya akan menyesal jika menikah sekarang? Apakah mungkin manusia akan merasa menyesal jika hidupnya bahagia? Aku tidak akan menyesal karena tentu saja aku bahagia, sebab uang adalah alasan seseorang bahagia.”

Dulu aku menentang dengan sangat keputusan Ibu dan Bapak. Merasa keputusanku yang gegabah waktu itu adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku sudah kena batunya, Tuhan sudah menegurku dengan cara yang paling pedih.

“Mas, kita mau hidup gini terus?” tanyaku pada Mas Jovan. Kami sudah setahun menikah dan Mas Jovan baru lulus kuliah. Dia terus-terusan di rumah tanpa berusaha untuk bekerja.

“Apa sih kamu ini? Aku sudah berusaha!” tukasnya dengan kasar.

Benar, di tahun pertama pernikahan kami Keluarga Wicaksono bangkrut. Setahun yang indah berlalu dengan singkat dan sekarang aku harus menerima kenyataan jika apa yang dikatakan Ibu dan Bapak adalah benar.

Kini aku menyesal telah melanggar kata-kata mereka. Meminta pertolongan pada Ibu dan bapak pun rasanya aku malu. Namun, sudah beberapa bulan berlalu setelah bangkrutnya keluarga Wicaksono, Mas Jovan tidak pernah berusaha bekerja untuk menafkahiku selaku istrinya.

“Berusaha? Kamu selama ini hanya makan tidur menghabiskan tabungan kita yang nggak seberapa itu!” sentakku membantah. Aku sudah kesal melihat tingkah Mas Jovan yang kelewat santai. Dia hanya mengandalkan tabungan yang aku sisihkan setiap bulan saat keluarga Wicaksono masih dalam kejayaannya.

“Ayu! Aku ini baru lulus kemarin, memangnya kamu kira gampang mencari pekerjaan? Kalo gampang kamu saja yang kerja sana!” katanya dengan lagak meremehkan.

Aku tertegun mendengarnya, tidak pernah aku mendengar Jovan berkata kasar kepadaku baik selama pacaran atau menikah. Namun, apa ini? Dia membentakku dan bahkan menyuruhku untuk bekerja?

“Nggak salah kamu nyuruh aku kerja, Mas? Terus tugas kamu sebagai suami apa?” tanyaku yang sedang menahan tangis.

Sakit rasanya ketika Jovan berubah dengan singkat hanya karena tidak memiliki uang dan kekuasaan seperti sebelumnya. Keluarga Wicaksono sudah lepas tangan terhadap kehidupan anak-anaknya, bahkan Jovan yang katanya adalah anak kesayangan disingkirkan begitu saja.

“Ahh! Kamu ini memang tidak tahu diri ya? Dulu kamu bahkan bisa dibeli hanya dengan janji-janji manis. Kamu ini matre dan murahan! Aku tahu, sejak awal kamu menikah denganku hanya ingin mengincar harta keluargaku, kan? Setelah keluargaku bangkrut kamu berniat meninggalkanku, benar kan?!” teriak Jovan dengan emosi.

Aku menutup mulutku tak percaya pada apa yang aku dengar dari mulut Jovan. Lekas setelah mengatakan itu Jovan pergi dari hadapanku. Aku terduduk lemas pada ubin lantai yang dingin.

“Ibu, Bapak . . . bisakah aku memutar waktu?” ucapku menangis dengan pilu.

Tuhan, sekarang aku menyesal. Tolong putar kembali waktu, menikah muda ternyata tidak seindah apa yang aku pikirkan dulu. Sekarang, siapa yang bisa menolongku?

Aku melihat ke sekeliling rumah yang megah ini, apakah lebih baik kita pindah saja ke rumah yang lebih kecil? Dengan keuangan yang sedang kritis dan kebutuhan hidup yang terus mengalir takkan mungkin aku dan Jovan dapat membayar seluruh tagihan rumah ini.

“Bagaimana aku harus bilang pada Mas Jovan? Aku tidak mengambil kendali penuh atas rumah ini. Namun, Mas Jovan pun tidak bisa memenuhi semua kebutuhan dasar kami. Bukankan pilihan yang tepat untuk menjual rumah ini dan pindah ke rumah yang lebih sederhana?” tanyaku pada diri sendiri.

Beruntung asset pribadi yang sudah diberikan keluarga Wicaksono kepada Jovan tidak ikut tersita karena sudah berganti nama. Kami masih mempunyai satu rumah, dua mobil, dan tabungan yang mungkin hanya cukup untuk beberapa bulan ke depan.

Walaupun Jovan tahu finansial kami sedang tidak baik-baik saja, dia seolah tidak mau peduli dan tetap menjalani aktivitas sehari-hari dengan gaya hidup yang dulu. Tentunya hal itu membuat tabungan kami semakin menipis.

“Aku harus bagaimana Tuhan? Alasan kuat untuk menikah dengan Jovan adalah karena keluarganya, lantas kini keluarganya sudah tidak seperti dulu lagi . . . apakah aku harus . . . .”

“Tidak! Tidak! Jika aku begitu berarti aku adalah wanita paling brengsek. Tapi . . . aku harus bagaimana? Haruskah aku mulai bekerja? Tapi, gaji guru memangnya cukup untuk kehidupan kami? Lalu, apakah aku yang harus banting tulang sementara suamiku bersantai di rumah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status