Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."
*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi." "Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya? "Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya." "Tidak perlu. Ini sudah biasa." "Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir. "Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan aku terbiasa dan akan sembuh sendirinya sebelum sampai ke rumah sakit." Gea mengambil tisu lagi, melipatnya menjadi kecil dan meletakkan di lubang hidungnya. Ahsin teringat kejadian malam tadi. Ia yang mengantar Gea ke rumah sakit dan satu orang keluarga pun tidak ada yang muncul. Bei sibuk mengurus adik ipar. Karena penasaran, ia menyuruh Ferry menyelidiki latar belakang Gea. "Nona Gea menjalani kehidupan yang sangat sulit," lapor Ferry. "Ibunya Atmiati Mas'ud pendiri perusahaan Zurra. Ibunya meninggal saat Nona Gea berusia 6 tahun. Setahun kemudian ayahnya menikah dengan membawa Sinta yang usianya hanya selisih beberapa bulan. Usia 14 tahun Nona Gea dikirim ke luar negeri. Nona Gea bertemu dengan tunangannya saat di luar negeri, kemudian pulang ke Jakarta karena saat itu kondisi perusahaan Prayoga memburuk." Ahsin menatap perempuan yang tidak sadarkan diri itu. Meski orang asing, ia dapat merasakan bagaimana sulitnya berjuang di luar negeri, apalagi Gea dikirim saat usia masih muda. Dia beruntung dikirim saat usia kuliah dan tentu uang saku lebih dari cukup dibanding Gea. "Nona Gea dan Bei bekerjasama mengelola perusahaan Prayoga hingga sampai sekarang Prayoga memiliki nilai pasar di atas rata-rata. Dan barusan diadakan pesta pertunangan …." "Cukup!" Mendadak ia merasakan luapan emosi yang membuat Ferry kebingungan. Pikiran Ahsin kembali. Ia menatap lembut perempuan pingsan malam tadi yang sekarang menjadi istrinya. "Mulai sekarang, aku akan melindungimu. Siapapun tidak boleh ada yang menganiaya kamu." Gea tersenyum. "Terima kasih. Jangan khawatir. Aku bisa melindungi diri sendiri. Aku bukan Gea yang dulu lagi. Aku sudah muak dengan sikap mereka." Ahsin mengelus pelan rambut Gea. "Aku percaya kamu. Namun, aku juga ingin menjadi orang yang diandalkan." Gea membuka mulutnya, tetapi tertahan karena dering ponsel Ahsin. "Tua muda, sertifikat villa di puncak sudah siap dikirim." "Tidak perlu. Batalkan." Ahsin menutup ponselnya. "Ayo, kita pulang!" ""Gea! Gea, Sinta bilang kau sudah menikah. Beraninya kau mengkhianatiku." Tiba-tiba Bei muncul dengan wajah marahnya. Ia hendak menarik lengan Gea, tetapi segera ditepis Ahsin. Tak hanya di situ, sebuah tinjauan juga melayang ke wajah Bei. Payung yang sejak tadi melindungi Gea terlepas dan melayang jauh ditiup angin. "Gea!" "Siapa dia?" tanya Ahsin sambil menoleh pada Bei yang tersungkur ke tanah. "Dia mantan tunanganku. Oh belum, mantan pacarku." "Apa maksudmu?" tanya Bei sambil bangun. Ia hendak menyerang Gea, tetapi lagi-lagi keduluan Ahsin dan seketika tubuhnya terpental. "Apa maksudnya? Secara harfiah kita sudah putus. Sekarang kau bisa dengan Sinta. Mau seranjang atau terbang bersama itu terserahmu." "Mengapa mulutmu selalu bau busuk?" Sekali lagi Ahsin mengambil kerah kemeja Bei dan siap melayangkan tinjunya, tetapi ditahan Gea. "Sudahlah. Kau akan kena masalah jika dia kenapa-kenapa," bujuk Gea. Ahsin melepaskan pegangannya. "Kali ini kau beruntung dan ambil jalan memutar jika bertemu denganku." Ia menarik lengan Gea dan segera membawanya pergi. "Gea, aku akan membayar semua perlakuanmu. Laki-laki liar itu akan meninggalkan kota ini!" kecam Bei dengan gemertak rahangnya. *** Gea termangu duduk di sofa. Hari yang melelahkan. Tak sampai 48 jam ia telah mengalami banyak hal. Melihat foto perselingkuhan, dirinya yang nyaris tewas, bertemu seorang kakek baik juga menikah dengan laki-laki asing. Ahsin, ia mengeja nama itu dalam hati. Meski baru bertemu, tetapi Ahsin terus membelanya dibanding Bei. Kenyataan ini menyadarkannya lama hubungan tidak menjamin seseorang akan menjadi sebuah prioritas. Pintu kamar mandi terbuka, tanpa dapat dicegah matanya menoleh. Ahsin dengan santainya keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. “Kenapa kau tidak mengenakan pakaian?” tanya Gea gugup. “Aku tidak melihat ada pakaian.” Gea mendeham. Ia merutuki mata lancangnya mencuri pandang roti sobek di dada Ahsin. “Maaf. Nanti aku pesankan untukmu. Kau naiklah dulu.” Ahsin mengangguk. “Kau juga istirahatlah lebih awal.” Gea mengangguk cepat. Ia semakin tidak bisa mengendalikan kedua tangannya yang gemetaran. Mengapa laki-laki ini begitu peduli dengan kesehatannya? Ia membuka ponselnya. Memesan beberapa potong pakaian di toko terdekat melalui website. Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” .“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta