Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?”
Ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong meja. Ia siap menggores di buku itu, tetapi mendadak otaknya tumpul. Ia menutup buku, mengembalikan ke kolong meja, kemudian menyandarkan punggungnya. “Gea … Gea … Apa yang telah kau lakukan?” rutuknya. Bel berbunyi. Ia bergegas membuka pintu dan menerima pesanannya. Yang membuatnya bingung, apakah harus mengantar langsung ke kamar atau memanggil Ahsin. “Ah, sudahlah, mungkin dia sudah tidur,” gumamnya sambil menaiki anak tangga. Tepat di depan kamar, langkahnya memelan. Pintu ternyata tidak ditutup. Ia kembali gugup, ternyata Ahsin belum tidur, sedang bersandar dengan masih bertelanjang dada. Tidak ada kesempatan buatnya untuk mundur karena Ahsin sudah melihat kedatangannya. “Ini pakaian untukmu sudah datang. Semoga cocok di badanmu.” Ahsin berdiri menyambutnya. Spontan Gea berpaling. Ia menyerahkan kantong kertas itu dengan berpaling. “Kau cobalah.” “Mmm …,” sahut Ahsin dengan anggukan sambil mengambil kantong itu. Gea bergegas keluar, tetapi lengannya ditarik Ahsin. “Kamu tidur di mana?” “Aku … aku akan tidur di kamar tamu,” sahut Gea tanpa berani menatap. Ahsin menyeretnya hingga ke ranjang. “Ranjang ini cukup besar. Kita bisa tidur bersama.” Posisi Ahsin yang di atas membuatnya semakin gugup. “Baik … baik …,” sahutnya sambil melemparkan sandalnya, bergeser ke samping, kemudian menutupi diri dengan selimut. Ahsin tersenyum dengan tingkah istrinya. Betapa ia sangat berhasrat menggoda, terlebih lagi memang halal untuknya. Namun, ia harus menyabarkan diri. Membiarkan semuanya berproses secara alami. Menunaikan kewajiban dan mendapatkan hak dengan kerelaan hati. Ahsin mengambil piyama tidur di salah satu kantong kertas itu. Gea membelakanginya dengan memejamkan mata, tetapi ia dapat melihat jelas tubuh itu yang masih bergetar. Ia naik ke atas ranjang dan merapatkan badannya ke punggung Gea tanpa memeluk. “Ahsin, ini sudah cukup. Jangan membuatnya ketakutan,” batinnya. *** Sayup terdengar azan. Perlahan Gea membuka matanya. Tepat di depannya Ahsin yang terlelap. Ia mengerjapkan mata untuk memastikan ini bukan mimpi. Alis tebal berpadu sempurna dengan hidung mancung, lekukan mata yang dalam dan bulu mata panjang. Bibir tipis merah, berpadu dengan dagu sedikit runcing dan geraham yang kokoh. "Kok bisa ada kuli setampan ini? Bahkan kulitmu lebih halus dari punyaku," gumam Gea. Sepasang mata itu bergerak dan perlahan membuka. Gea segera memejamkan matanya. Mendadak dadanya berdegup kencang, bagai maling tertangkap basah. Degup dada semakin tak tertolong ketika sentuhan lembut membelai rambutnya. "Gea, sudah azan," bisik Ahsin. Bulu kuduk Gea merinding. "Gea." "Aku mens," sahut Gea sambil berbalik. "Begitu? Kalau begitu tidurlah." Dengan mata terpejam Gea merasakan pergerakan Ahsin yang turun dari ranjang kemudian keluar kamar. Seketika ia menghempaskan napasnya. Beberapa detik kemudian bibirnya tersenyum. Sentuhan sebentar itu benar-benar membuatnya ingin tersenyum. "Gea!" rutuknya sambil menyelimuti diri dengan selimutnya. Di luar Ahsin meneruskan kegiatannya sebagai seorang muslim, menunaikan salat Subuh sebentar, kemudian melengkapi dengan wirit dan doa. Setelah selesai ia mengambil ponselnya dan melakukan panggilan telepon. "Ferry, jemput aku dan bawakan beberapa pakaian." *** Sinar matahari menembus dinding kaca, menyapa lembut wajah Gea. Matanya terbuka, senyum mengembang meski tanpa mengerti apa sebab. Beberapa detik kemudian senyum itu surut setelah menyadari keanehan dalam dirinya. Sejak kapan ia bisa bangun tidur senyaman ini? Dengan sedikit memaksa memori ia baru teringat sebelumnya sempat bangun dan pertama kali saat bangun tidur melihat seorang laki-laki. Ia bangun dan sedikit merenggangkan tubuh. Benar-benar menyegarkan. "Sepertinya tidurku nyenyak sekali malam tadi. Kapan terakhir bisa tidur senyenyak ini? Kenapa?" gumamnya. "Karena ada Ahsin?" Ia bergegas menyingkap selimut dan keluar kamar. "Ahsin?" Tidak ada orang. Ia mempertajam pendengaran, berharap ada bunyi air di dalam kamar mandi. Nyatanya sunyi. Ia memutar pandangannya dan menemukan sepotong cake, segelas susu dan selembar kertas di atas meja. "Maaf, tak bisa menemanimu sarapan. Ada yang harus kukerjakan. Kuharap kau bangun sebelum susu ini dingin." Gea menoleh ke arah jam dinding. Terlihat jarum pendek menunjuk angka enam, sedang jarum panjang ke angka empat. Ia menyentuh gelas yang sudah dingin. "Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus." ***“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta