[Author POV]
Drey sedang tertawa-tawa bersama Zany di lowson lobby kampus membicarakan tentang kelucuan hari ini yang terjadi pada Zany, tanpa sengaja mata Drey melihat istrinya berjalan di depan lowson, dia melihat dari kaca sampai Auryn menghilang dari pandangannya.
Tanpa Drey sadari, dia terdiam hingga melamun. Tidak bergeming. Tawanya telah mereda seketika saat melihat Auryn melewati lowson.
Zany sang lawan bicara Drey langsung menatap Drey bingung apa yang terjadi padanya. “Kenapa?” tanya Zany sembari meminum teh kotak. Mereka sedang duduk di dalam lowson, duduk di kursi yang disediakan di sana.
Drey masih tidak bergeming.
Kening Zany berkerut. “Hei, Drey! Kenapa?” ulang Zany.
Drey terkesiap, kesadaran telah pulih dan langsung memandang Zany, salah tingkah. “T-tidak, bukan apa-apa,” jawabnya.
Zany menjadi curiga, dia ikut memalingkan wajahnya ke ara
[Auryn POV]Drey mengirim pesan usai mata kuliah selesai. Drey menyuruhku untuk menunggu di depan gerbang kampus, mungkin mengajak pulang bersama setelah beberapa hari ini kita tidak pulang bersama lagi. Tidak ada raut senang, aku hanya menunggu Drey dengan tatapan datar dan berdiri di depan gerbang.“Ryn?”Aku menoleh ke sumber suara. “Hm, Dave, ya?” Di sana ada Dave, mahasiswa yang pernah menyatakan cinta kepadaku. Ini pertama kalinya dia menyapaku. Aku menatapnya intens dan heran. Ada apa?Dave mendekatiku. “Kamu bahagia dengan pernikahanmu?”Aku mengernyit heran. Tiba-tiba Dave melontarkan pertanyaan itu. Untuk apa dia bertanya seperti itu?“Ba-bahagia kok,” jawabku dengan nada sedikit gemetar. Aku menetralkan nada suara agar Dave yakin dengan jawabanku. “Ada apa, Dav? Tumben.”Dave menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tak apa. Aku hany
Hatiku seperti tertusuk beribu-ribu panah dan menancap pada relung hati. Rasanya mau pingsan saja.Aku tidak bisa lagi menahan mendungan air mata yang kini telah memenuhi pelupuk mata. Demi Tuhan, pemandangan yang selama ini tidak pernah aku duga, pemandangan yang selama ini aku tidak diharapkan telah di depan mataku sendiri.Pemandangan itu sangat menyakitkan bagiku. Pemandangan yang membuat hatiku hancur berkeping-keping, sangat hancur.Aku menangis terisak. Air mata bercucuran deras, hingga pandangan aku buram. Aku seka air mata yang memenuhi pelupuk mata dengan kasar.Drey sejak tadi mengeratkan genggaman pada tangan kiriku, berharap genggaman itu menguatkan hatiku. Nyatanya tidak sama sekali. Dengan keberanian aku datang ke rumah mama Katerina, walaupun hatiku sama sekali tidak kuat untuk menahan nestapa.Aku sudah tidak mampu lagi menahan isak tangis, terisak pilu melihat pemandangan itu. Tangan dan bibirku bergetar hebat. Drey yang be
“Aku belum siap Papa pergi, aku sayang papa.”Tante Arumi mengandeng tanganku. Langkah kakiku begitu terasa berat saat menuju di mana Papa akan di makamkan hari ini, di kuburan terdekat. Aku masih tidak rela atas kepergian papa yang begitu saja tanpa terduga.Aku masih terpukul. Aku masih syok.“Ayo, sayang ke sana,” ajak Arumi agar berdiri tepat di pemakaman papa. Jasad papa berada di peti akan di kubur bersama tanah dan peti.Aku, Kak Anna dan Mama Katerina tidak bisa manahan tangis saat papa akan di kubur bersama peti putih. Tiba-tiba Kak Anna merengkuh tubuhku, kita saling membagi kesedihan dan kekuatan setelah sekian lama tidak saling berpelukan.Pemandangan itu begitu menyakitkan.Tangisku pecah kembali ketika papa benar-benar sudah terkubur di dalam sana. Pandanganku memburam, kepalaku pusing, dan dadaku sesak. Aku tidak kuat untuk berdiri. Sesaat aku meliha
“Sudahlah, kamu jangan nangis. Kamu jadi terlihat lebih cantik.”“Pa-pa ....”“Iya, sayang? Berhentilah menangis.”“Ja-jangan pergi.” Aku tergagap dan mencoba menyentuh tangan papa.“Tidak ada yang abadi di dunia, sayang. Tapi papa nggak pergi, papa selalu ada di samping kamu. Walaupun kamu nggak bisa liat papa.”“....”“Selamat tidur, putriku.”“Pa-papa ....”Aku melihat papa semakin menghilang dari pandanganku. Aku berusaha meraih tangan papa, menyentuh kulit papa. Tapi sama sekali tidak bisa disentuh, usahaku nihil. Papa semakin mengabur, terlihat samar-sama lalu menghilang.“Papa, jangan pergi! Papa jangan bercanda, plissss! Ini nggak lucu, Pa!” Dengan sekuat tenaga aku berteriak memanggil papa. “PAPAAAAAAA!!!!”....“Hahhh!”
[Flashback on]“Selamat sayang atas pernikahanmu.”Ucapan selamat dari papa, papa orang pertama yang teristimewa saat mengucapkan selamat karena saat itu papa berkata :“Sayang kamu tau nggak?”Aku menggeleng.“Papa itu pengen gendong cuci sebelum Papa tua, kalau Papa tua nggak bisa main sepeda sama cucu-cucu papa dong. Segera bikinin Papa cucu yah, kalau bisa bikinin cucu yang banyak. Papa bakalan seneng karena nanti rumah Papa ramai menjadi keluarga besar, nggak bakalan sepi hahaha. Papa udah nggak sabar pengen gendong nih.Aku waktu itu mencubit lengan papa karena merasa malu saat papa mengatakan itu di depan keluarga Drey. Ingin mengendong cucu? Duh, baru saja menikah di hari pertama. Papa sudah meminta cucu segala.“Papa apa-apaan, sih!” bisikku malu dan kesal.“Lho, Papa, 'kan cuma minta dibuatin cucu. Emang itu salah, Ryn?”
Aku tahu tidak sepantasnya beralut-larut dalam kesedihan dan terpuruk dengan kepergian Papa. Apa gunannya terus menangis? Tangis tidak akan mengembalikan Papa.Jadi, hari ini aku memutuskan untuk kuliah kembali setelah beberapa hari cuti. Well, aku akan baik-baik saja. Jangan bersedih lagi. Aku harus bersemangat, sebentar lagi akan bertemu dua sahabatku.“Kalau udah selesai hubungi aku, ya. Nanti kita pulang bareng, Ryn. Jangan pulang sendiri dong kaya hari itu.”Aku memajukan bibir beberapa senti. Lagi pula aku pulang sendiri karena Drey tidak bisa dihubungi dan pergi entah kemana tanpa kabar.“Iya iya,” kataku. “Nanti aku telfon kalau kelas sudah selesai. Tapi kalau kamu sibuk biar aku pulang sendiri aja.”“Hari ini aku nggak sibuk, Ryn,” tutur Drey.“Kalau kamu ada urusan mendadak gimana dong? Aku bakal
Aku menghubungi Drey, katanya akan pulang bersama. Tapi Drey mengatakan saat ini sedang berada di perpustakaan, aku mengernyit. Kenapa Drey berada di sana?Sekarang kakiku melangkah memasuki ruangan perpustakaan kampus. Sepi, perpustakaan terlihat sepi saat kakiku menginjakkan lantai marmer. Bola mataku mengedar mencari suamiku, beberapa saat bibirku melengkung melihat Drey yang tengah serius membaca sebuah buku. Tanpa permisi aku langsung duduk di samping Drey, aku menyandarkan kepala di bahunya.“Drey,” panggilku seraya melingkarkan tangan di pinggang Drey dengan manja. “Aku mencarimu kemana-kemana ternyata di sini.”Drey masih terfokus pada buku. “Kenapa nggak menghubungi aku lebih dahulu sebelum mencariku. Hm?”“Oh, iya. Aku lupa,” kataku sambil meringis. “Tumben ke sini. Kesurupan apa?” Yang aku tahu, Drey memang jarang ke perpust
[Author POV]Sepanjang perjalanan, Drey melamun. Drey memikirkan kejadian tadi waktu di kantin saat makan siang. Waktu itu ....[Flashback on]Gabut. Bosan, lama menunggu makanan datang. Mata Drey menyapa ke seluruh penjuru kantin, lumayan ramai suasanya sehingga sedikit berisik dan merasa terganggu. Rasa gabut serta bosan sekarang malah menghilang saat melihat Auryn memasuki kantin tersebut dan duduk agak jauh dari posisi Drey.Sepertinya Auryn tidak menyadari keberadaan Drey tengah memperhatikannya.Drey terus memperhatikan Auryn. Wanita itu sedang asik mengobrol bersama kedua sahabatnya entah membahas apa, yang jelas Auryn terlihat tenang diantara kedua sahabatnya.Ah, kenapa Drey memperhatikan Auryn dengan sangat fokus dan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan ke arah lain, hanya tertuju pada satu wanita di sana.Tanpa sadar Drey menarik sudut bibir