“Reni, masakannya sudah siap tuh!”
Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!”Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan.“Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan juga tahu.“Sekalian, Ver. Ambilkan nasi buat Bang Dino juga!”Sukurin kamu, Vera! Aku kerjain! Dia tidak sadar saja kalau sebenarnya sedang aku perbudak. Bukan aku tega, tetapi supaya dia sadar kalau aku Reni Nirmala, bukan wanita bodoh!Dengan raut wajah ditekuk, Vera mengambilkan nasi ke atas piring Bang Dino.“Bang, sayurnya aku pindahkan ke mangkuk saja, ya? Biar gak ribet. Eh, Abang kan ... belum cuci tangan. Cuci tangan dulu gih!”“Iya, Sayang.”“Vera, lebih baik sekarang kamu istirahat saja. Kamu pasti capek habis masak, ya ‘kan?”Meskipun ada rencana terselubung untuk memberinya pelajaran, tetapi aku tetap merasa kasihan padanya. Biar bagaimana pun, Vera sekarang sedang hamil.“Ya sudah, aku mau istirahat dulu.”Mengangguk, tersenyum tipis.Setelah kepergian Vera, kupindahkan sayur sop ke dalam mangkuk. mengambil garam dan cuka, menaburkannya ke dalam sayur sop yang akan dimakan Bang Dino. Sedangkan sayur sop untukku, tidak ditaburkan. Kita lihat nanti, apa yang akan terjadi.Setelah meletakkan sayur sop jamur buatan Vera, aku kembali duduk manis, mencicipi hasil masakan selingkuhan Bang Dino.‘Ternyata rasanya lumayan lezat. Aku harus mengamankan sayur ini agar tidak dicicipi Bang Dino.’“Bang, ayok makan! Kalau dari aromanya sih lezat,” kataku menyeruput sayur sop jamur.“Eh, bener lho, Bang! Enak!”“Kalau masakan si Vera jangan diragukan lagi, Sayang. Dia memang jago masak sayur sop!”Ck, dasar Dinosaurus! Berani-beraninya dia memuji wanita lain di depanku. Ah, tapi bodo amat. Aku juga sekarang sudah tidak memiliki rasa cinta lagi. Terserah dia, mau memuji wanita manapun!“Jadi, selama ini Abang sering makan masakan buatan si Vera? Atau jangan-jangan ....” Kugantungkan kalimat, melihat reaksi Bang Dino yang hendak mencicipi sayur sop jamur buatan selingkuhannya.“Jangan-jangan apa, Sayang ...? Abang sama Vera gak selingkuh! Gak punya hubungan apa-apa!”“Memangnya tadi aku bilang Abang selingkuh sama Vera?”Nah lho, Bang Dino tergelak, dia menarik napas panjang, terlihat salah tingkah.“Eu ... bukan begitu, Sayang. Abang cuma gak mau kalau kamu berpikir buruk tentang Abang. Sayang, jujur aja, ya? Si Vera itu sekarang jelek. Jauh lebih cantik kamu.”Tersenyum, pura-pura bahagia mendengar pujian si Dinosaurus. Padahal aslinya mual dan muak!“Masa sih? Kalau begitu Abang jangan suka memuji dia dong!”“Iya, Sayang, maaf ....” Bang Dino berusaha menyentuh telapak tanganku, tetapi aku pura-pura mengambil goreng tempe.“Ya udah, aku maafin. Sekarang Abang makan, ya? Jangan lupa berdoa!” kataku sok perhatian. Bang Dino tersenyum, menganggukkan kepala. Mulutnya komat-kamit.“Kamu mau Abang suapin gak?”“Gak usah, Bang.”Aku menyantap sop jamur buatan Vera yang cukup lezat. Sedangkan Bang Dino ....“Peh, peh, peh! Sayur apaan ini? Kenapa rasanya begini? Asin, asem! Peh, peh, peh! Si Vera gimana sih? Masak sayur sop aja gak becus! Veraaa ... Veraaaa .... ” teriak Bang Dino bagai kesetanan.Pertunjukan akan dimulai.“Bang, Abang kenapa sih? Kok teriak begitu? Memangnya kenapa sopnya?” tanyaku menujukkan ekspresi terkejut. Padahal sebelumnya sudah aku duga reaksi si Dinosaurus.“Sop jamurnya gak enak, Sayang! Asin, Asem! Mana lagi si Vera? Aku harus menegurnya!”Kemarahan Bang Dino sudah berada di ubun-ubun.“Abang, Vera lagi istirahat. Kasihan dia, kecapekan. Sudahlah, habiskan saja makanannya." Aku berusaha menenangkan lelaki yang berdiri sambil mengepalkan kedua tangan.“Mana bisa Abang habiskan makanan gak enak ini? Abang mau memarahi si Vera dulu. Kamu tunggu di sini!”Bang Dino bergegas menuju kamar Vera. Secepatnya membuang sayur sop yang berada di mangkuk Bang Dino kemudian menggantinya dengan sop jamur di wadah sayur. Meletakkannya kembali ke tempat semula.Segera kususul Bang Dino yang menghampiri Vera."Kenapa sih, Mas? Ganggu orang istirahat aja!” Vera yang aku duga baru keluar kamar, bersungut. Aku berdiri di samping Bang Dino.“Kamu yang kenapa? Disuruh masak yang enak, malah masak garam dan asam? Di mana otakmu, heuh?”Astaghfirullah, setelah sekian lama tidak mendengar caci maki Bang Dino, sekarang baru aku dengar lagi. Sadis.“Kau tanya otakku di mana? Nih, di sini! Lagian, selama ini masakanku selalu enak, selalu lezat! Mas juga sering mengakuinya ‘kan?” Vera tak terima dihina demikian. Sementara waktu, aku cukup menjadi penonton saja.“Ya memang! Tapi, sekarang masakanmu gak enak! Asin, asem!”“Eh, Mas! Mungkin lidahmu saja yang mati rasa. Buktinya tadi Reni saja bilang masakanku lezat. Ya kan, Ren?” Pandangan mata Vera dan Bang Dino mengarah padaku.“Oh iya, emang lezat kok! Makanya aku juga gak ngerti, kenapa Abang bilang gak enak?”“Tuh denger!”Biaarr ... biar saja si Vera merasa aku bela. Pokoknya aku akan membalas pengkhiatan mereka dengan cara yang cantik dan ccerdik“Sini, kamu! Sini!” Bang Dino menarik pergelangan tangan Vera dengan kasar.“Bang, ingat ... si Vera lagi hamil! Jangan kasar-kasar begitu!”Hem ... luar biasa aktingku. Sejujurnya, aku senang melihat dua orang yang telah menusukku dari belakang sekarang sedang bertengkar.“Kamu jangan membela dia, Sayang! Kamu belum tahu saja kalau wanita ini telah ----“Nah ... hampir keceplosan lagi. Aku pura-pura kaget, pura-pura tak mengerti. Kulihat Vera menggelengkan kepala,“Telah apa, Abang?” tanyaku menatap lekat Bang Dino. Tentu saja dia langsung salah tingkah.“Telah ....”“Telah membersihkan rumahmu, Reni! Maksud dia, a-aku yang tiap hari membersihkan rumahmu,” jelas Vera terbata-bata.“Oohh ... aku kira apa.”Percaya dulu ... Silakan saja kalian membohongi dan membodohiku. Suatu saat, kalian berdua akan menyesal!“Mas, lepasin tanganku! Sakit tahu!” Vera berusaha meronta.“Gak bisa! Kamu harus cobain masakanmu yang gak enak itu! Ayok!”Kami bertiga melanjutkan langkah menuju ruang makan. Bang Dino menyendok sayur, menyuruh Vera mencicipinya.“Enak kok, Mas! Sayurnya enak!”Kening Bang Dino mengkerut, tampak tidak mengerti.“Bang, tadi kan aku bilang, sayur sop buatan Vera enak. Abang malah bilang gak enak.”Vera terlihat bahagia mendengar aku membelanya lagi.Bang Dino dengan kasar, mengambil sendok dari tangan Vera, lalu mencicipi sayur sop jamur tersebut.Lelaki itu terlihat keheranan dengan rasa sop jamur buatan selingkuhannya.“Enak ‘kan?”“Kok, rasanya jadi berubah?” gumam Bang Dino, mencicipi lagi.“Bukan rasanya yang berubah, tapi otakmu yang berubah, Mas!”Kali ini, Vera yang merendahkan Bang Dino. Aku memilih duduk santai, sambil meneruskan makan yang sempat tertunda.“Kamu bilang aku apa?”Tak kupedulikan pertanyaan Bang Dino untuk Vera. Biarlah, dua pengkhianat itu bertengkar.“Bukan rasanya yang berubah, tapi otakmu yang berubah, Mas!” jawab Vera dengan intonasi tinggi.PLAAAKK!Aku tersentak mendengar suara tamparan.“Dasar verek!”Ternyata, Bang Dino berani menampar Vera dan menghinanya? Wow!Aku terdiam, tidak langsung menjawab ungkapan perasaan Angga. Lelaki itu lantas mengeluarkan kotak cincin berwarna merah terang. Aku semakin terkejut dan tak percaya, kenapa Angga secepat ini melamarku?"Kalau kamu mau aku ajak menikah dalam waktu dua bulan, kamu bisa mengambil cincin ini. Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu."Pandanganku berembun. Terharu sekaligus bingung. "Angga ...." panggilku lirih. Masih berpikir kalau lelaki yang duduk di hadapanku sedang bercanda. "Aku serius, Reni. Aku benar-benar ingin menikahimu."Belum sempat menimpali ucapan Angga, pelayan restoran datang, meletakkan beberapa menu makan kami. "Kita makan dulu. Setelah makan, aku harap kamu mau kasih jawaban."Aku hanya menganggukkan kepala. Bukan aku tak suka pada Angga. Aku rasa, wanita mana pun pasti menyukainya. Angga tipikal lelaki yang sedari dulu tidak banyak tingkah. Mau bergaul dengan siapapun. Tidak melihat dia orang kaya atau orang yang tak punya. "Gimana, Ren? Kamu udah punya jawabannya?"
Sudah dua bulan aku bekerja di perusahaan Angga. Meski hanya sebagai cleaning service. Tapi, aku bahagia. Kerjaannya tidak memberatkan dan santai. Tidak seperti kerja di luar negeri. Walaupun gajinya lebih besar, tapi kerjaannya luar biasa berat. Sudah dua bulan juga kau menyandang status janda. Persidangan perceraianku dengan Dino sudah diputuskan. Sejak saat itu, aku berusaha menghindari Dino dan juga Vera. Aku tidak mau diusik oleh mereka lagi. Mungkin juga sekarang si Vera udah melahirkan. "Reni?" Saat sedang merapikan pantry, seseorang yang suaranya aku kenal memanggil."Iya, Pak Angga?" sahutku formal. Angga tersenyum, menaikkan sebelah alisnya. "Jangan panggil aku, Pak kalau kita lagi berdua, Ren."Terkekeh mendengar ucapan Angga. Dia memang selalu berkata seperti itu. Melarangku memanggilnya dengan sebutan Pak Angga. Katanya kayak ke siapa saja. Lah jelas ke atasanku. Karyawan yang posisi jabatannya tinggi saja memanggil Angga, Pak Angga. Masa aku cuma office girl memanggil
"Barang-barang furniture di rumah kamu gak dibawa semua? Kamu cuma bawa ini doang?" Tiba-tiba Angga bicara. Aku menoleh, menapat lelaki yang berdiri di dekat ruang tamu tanpa ada sofa atau televisi. Apartemen ini memang masih kosong. Belum ada barang-barang rumah tangga lainnya. "Iya. Ribet bawanya. Lagian aku kan cuma hidup sendirian. Paling nanti mau beli alat-alat dapur. Kalau sofa, gampang nyusul," jawabku membuka pintu kamar.Kalau tempat tidur aku sudah membelinya kemarin. Menyuruh penjaga apartemen untuk mengangkat ke atas. Begitu pula lemari pakaian. Selesai memasukkan kedua koper, aku keluar, ke dapur. Di sana baru ada dispenser, kompor dan magicom. "Silakan diminum," ucapku meletakkan kedua gelas di depan Angga dan Windy yang duduk di atas karpet. "Padahal bawa aja, Ren. Barang-barang di rumah sebelumnya kan milikmu," kata Angga sambil menegak air yang aku suguhkan. "Males, Ga.""Dia mah emang begitu, Angga. Orangnya gak mau ribet. Aku juga sempat mengingatkannya, bara
"Pindah? Kamu mau pindah sekarang, Ren?"Dari arah belakang, muncul Vera sambil mengelus perut buncitnya."Iya. Aku mau pindah sekarang," jawabku tanpa beban. Aku sudah tidak sabar hidup seorang diri tanpa bayang-bayang mereka berdua. Sepasang manusia yang udah putus urat malunya. "Terus kami gimana, Ren? Kamu ini kalau jual rumah kok gak mikirin nasib kami sih?"Astaghfirullah ... kok ada manusia gak tau diri seperti si Vera? Amit-amit nauzubillahiminzalik. Aku menggelengkan kepala, mendekati Vera. "Asal kalian tau, aku emang gak pernah mikirin nasib kalian. Ih, amit-amit. Kamu kok Ver, gak punya malu banget. Emang waktu kalian selingkuh, mikirin nasib aku yang bekerja di luar negeri sana? Enggak kan?"Kupelototi dua makhluk yang sifatnya melebih makhluk astral itu. Mereka benar-benar membuatku kesal dan emosi. Kalau si Vera lagi gak hamil besar, ingin sekali tangan ini menjambak rambutnya yang jarang sekali dikeramas. Aku sih bukan menghina, tapi si Vera hamil itu gak cantik sama
"Kamu jangan salah paham dulu, Ren. Aku dari dalam kamar Vera gak ngapa-ngapain. Kita cuma ngobrol aja kok. Sumpah dah." Aku tersenyum miring mendengar alasan Bang Dino. Tidak peduli juga mereka mau ngapain berduaan di dalam kamar. Toh sebentar lagi aku dan Bang Dino akan bercerai. "Bener, Ren. Aku sama Mas Dino cuma ngobrol biasa aja."Halah, si Vera juga ikut-ikutan mengelak. Aku mendekati keduanya. Memandang mereka satu persatu. "Aku ... enggak ... pe-du-li."Membalikkan badan, meninggalkan dua manusia munafik itu. Tak ingin mendengar ucapan atau alasan mereka lagi. Bodo amat. Aku melangkah ke dapur, membuat susu cokelat hangat. Entah mengapa malam ini aku tidak bisa tidur. "Ren, apa kamu gak bisa batalin jual rumah ini?" Tanpa kusadari, Bang Dino sudah berdiri di samping. Menoleh ke belakang, Vera sudah tidak ada. "Enggak bisa," jawabku singkat, mengaduk susu cokelat hangat. "Ren, aku gak mau pisah sama kamu. Kamu jangan ceraikan akulah, Ren. Aku masih cinta kamu, Ren. Masi
PoV VeraSungguh, aku tak menyangka diam-diam Reni mau menjual rumah yang baru ia dan Bang Dino bangun. Aku pikir dia tidak akan mau menjual rumah ini soalnya dibangun dari hasil keringatnya selama bekerja menjadi TKW. Ternyata tanpa aku dan Bang Dino ketahui, Reni sudah berniat menjualnya. Duh, kalau rumah ini dijual, aku mau tinggal di mana? Apalagi tadi Reni sempat bilang, katanya dia akan menggugat cerai bang Dino. Ah, menyebalkan. Kenapa semua rencanaku dan Bang Dino jadi berantakan? Ditambah sekarang para tetangga kanan kiri sudah tahu statusku yang menjadi selingkuhan Bang Dino. Aku tadi benar-benar dibuat malu sama si Reni. Gara-gara dia, warga di sini tahu kalau aku dan Bang Dino berselingkuh. Sialan!Sudah pukul sebelas malam, aku masih enggak bisa tidur. Bang Dino juga belum masuk kamar padahal tadi dia sempat bilang, katanya pengen ngobrol hal penting sama aku. Tok, tok, tok.Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Perlahan, aku turun dari ranjang, berjalan dan membuka p